...I.B.U.S.A.M.B.U.N.G.U.N.T.U.K.A.N.A.K.K.U...
...“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri-diri mereka, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya, Allah mengampuni semua dosa, sesungguhnya Dialah Zat yang Maha pengampun lagi Maha Penyanyang. Maka, kembalilah kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datangnya azab kemudian kalian tidak dapat lagi mendapatkan pertolongan.”...
...(QS. Az-Zumar [39];53-54)....
***
Anak-anak dengan seragam sekolah berlari dengan riang kesana-kemari tak mempedulikan teriakan orang tua mereka yang meminta untuk berhati-hati.
Masa anak-anak adalah masa dimana kita tak memikirkan hal yang rumit, hanya tidur siang yang menjadi masalah terbesar anak-anak.
Elea tersenyum getir, sorot matanya penuh penyesalan. Apakah taubat yang selama ini ia lakukan telah diampuni? Selalu saja benaknya berkata, belum.
“Bunah!” teriak gadis kecil yang tak lain adalah Cila. Sosok yang sedari tadi Elea tunggu.
Hari ini Cila memakai seragam sekolah dengan rambut yang terurai rapi. Penjepit bunga tulip tersampir ditelinga gadis kecil itu.
“Halo Sayang, duh peri kecil bunda hari ini sangat cantik.” Puji Elea, ia ambil Cila ke dalam gendongan.
“Sudah lama, Neng?”
“Enggak, Bi. Tadi habis dari toko baru kesini. Aku kira telat ternyata masih sepi.” Jelas Elea, Bi Mia hanya mengangguk. Tersenyum tipis saat melihat Cila yang memeluk Elea dengan erat.
Sejak pagi tadi, anak itu terus saja mengoceh untuk berangkat lebih awal. Tak sabar ingin ketemu bunda katanya.
Pesan yang Elea kirim seakan menjadi penyemangatnya saat berangkat ke sekolah. Bagaimana tidak, bundanya berkata jika tidak bisa datang ke rumah dan sebagai gantinya Elea akan menemani Cila disekolah.
“Itu siapa Cila?” Tanya guru perempuan saat melihat Elea. Sekarang Cila lebih berani maju ke depan kelas. Bahkan dengan antusias mengangkat tangan saat guru memberi pertanyaan.
“Bunah Tila.” Jawabnya dengan bangga.
“Wah, Bunda Cila cantik ya?”
Cila mengangguk dengan cepat “Tantik kaya Tila.” Guru tersebut tersenyum, ia temukan karakter Cila yang baru. Dulu Cila sosok yang acuh bahkan cenderung pasif, hanya aktif dengan orang terdekat saja.
“Bunah hebat, Bunah tuala. Tila mau tadi kaya bunah!” Cila terus mengoceh dan tak jarang ia memamerkan Elea pada teman-temannya.
Bundaku hebat, bundaku juara, bundaku cantik dan sebagainya.
Elea dan Bi Mia sedang duduk disebuah kursi kayu taman dekat sekolah Cila. Bel pulang telah berbunyi, mereka menunggu jemputan.
Percakapan ringan terjadi, Elea juga sempat menanyakan perihal apakah Cila sudah bercerita apada ayahnya mengenai Elea. Belum adalah jawaban yang terlontar dari mulut Bi Mia.
Jika Cila belum bercerita, lantas mengapa kemarin laki-laki itu sempat menolongnya?
Tak sadar, Elea berulang kali mengusap pipinya yang ngilu. Entah berapa balon yang ia tiup.
Tadi, ada kegiatan bersama orang tua. Elea bertugas meniup balon dan Cila bertugas mengumpulkan balon tersebut ke dalam keranjang.
“Sakit, Neng?” Tanya Bi Mia
“Sedikit ngilu, Bi.”
“Bunah takit?” Cila mendekat saat mendengar bundanya kesakitan.
“Gala-gala Tila yah? Maafin Tila Bunah, tangan tinggalin Tila.” Pelukan erat memekik leher Elea. Basah, saat Elea rasa setelah mendengar isak tangis dari mulut Cila.
Elea terkejut “Kata siapa bunda ninggalin Cila?”
“Kata temen Tila, kalau nakal nanti bunahnya pelgi ninggalin Tila. Tila bikin bunah takit, Tila nakal, huaaaaa”
“Bunda enggak akan ninggalin Cila kok, Sayang.”
“Benelan?”
“Iya Sayang,”
“Tapi Bunah takit,”
“Kata siapa? Bunda ga sakit, Bundakan kuat.”
“Benel?”
“Iya,”
“Tila tayang bunah, bunah nanti tangan tinggalin Tila.”
“Iya Sayang.”
Elea mengambil jari kelingking Cila dan mengaitkan dengan jari kelingkingnya. “Janji jari kelingking,”
“Tanti tali kelingking.” Cila mengulang kata-kata Elea.
Elea menengok ke arah Bi Mia, lalu menatap Cila dan berkata “Tapi ada satu syarat.”
“Talat, apa itu Bunah?”
Elea menjelaskan bahwa syarat adalah sesuatu yang haris dipenuhi dengan perjanjian tidak boleh diingkari, Cila mengangguk tanda mengerti.
“Talatnya apa Bunah?”
“Cila jangan cerita ya sama Papih kalau Cila ketemu bunda.”
Cila terdiam sejenak sedang Elea dan Bi Mia saling berpandangan. Keduanya sempat mencari-cari jawaban jika Cila bertanya kenapa.
Dugaan salah, Cila justru mengangguk “Katian Bunah, Bunah pati takut tama Papih.”
Tangan kecil Cila mengusap pipi Elea. Hangat, dan rasa nyaman saat jari mungil Cila menyentuh kulit Elea.
Rasa yang entah kapan menyelimuti keduanya. Pertemuan tak terduga mampu menghadirkan rasa baru pada sosok yang tak terikat darah.
Obrolan terakhir karena supir sudah datang dan Cila beserta Bi Mia bergegas masuk ke dalam mobil. Anak itu terus melambai sampai Elea hilang dari pandangannya.
Arda, menguasai pikiran Elea saat itu juga.
Apa yang sebenarnya laki-laki itu pikirkan tentangnya? Elea memandang jaket yang ia simpan dalam tasnya. Ingin ia kembalikan lewat Bi Mia, tapi entah mengapa hatinya berkata untuk jangan.
**
“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri-diri mereka, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya, Allah mengampuni semua dosa, sesungguhnya Dialah Zat yang Maha pengampun lagi Maha Penyanyang. Maka, kembalilah kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datangnya azab kemudian kalian tidak dapat lagi mendapatkan pertolongan.” (QS. Az-Zumar [39];53-54).
Kalimat penutup dari pengajian yang Elea hadiri. Air matanya menetes dibalik helm bogo berwarna coklat. Jari-jarinya menggenggam tuas motor dengan erat.
Cuaca malam itu mendung, namun tak terlihat dari kegelapan. Elea menepi dipelataran mini market. Badannya tak basah, karena berhenti sebelum hujan.
Hawa malam ditambah dengan guyuran hujan menambahkan kesan dingin, bahkan aroma pekat dari aspal tercium dengan jelas.
“23 ribu,”
Elea mengambil uang berwarna biru dan menyerahkannya pada kasir. 4 bungkus roti dan satu botol minuman telah berada dalam kresek putih.
Elea keluar mini market dan mulai mencari sosok yang sedari tadi mencuri perhatiannya.
Anak kecil yang sedang berlindung dibalik becak reotnya. Hujan sudah reda, namun anak tersebut tak bergeming dari tempatnya.
“Dek!” panggil Elea.
Anak tersebut menoleh, pandangannya lemah bahkan terdapat lobang dibeberapa tempat pada baju yang ia pakai.
“Sudah makan?”
Anak tersebut menggeleng “Belum,” lanjutnya.
“Mau roti?”
Elea menyerahkan kantong kresek, cukup lama dan tak ada pergerakan dari anak tersebut.
“Kenapa?” Tanya Elea.
“Buat aku, Tante?” Elea membalas dengan anggukan.
“Gratis?” tanyanya kembali.
Elea tersenyum simpul sambil mengangguk “Iya, buat kamu.”
“Terimakasih banyak, Tante.”
Hanya dengan beberapa bungkus roti dan segelas minuman mampu menciptakan kebahagiaan dimata orang lain. Meski menurut kita tak banyak, justru terlihat berharga dimata mereka.
“Selamat malam,” sapa seorang laki-laki yang berdiri tak jauh dari posisi Elea. Suaranya, Elea seperti pernah mendengar sebelumnya.
“Kamu!” dengan tubuh yang refleks, Elea sedikit menjauh. Sedangkan laki-laki tersebut sudah berdiri disamping Elea.
“Ada sedikit rejeki buat kamu,” diambilnya beberapa lembar uang 50 ribu dari dalam dompet dan mengadahkan ke telapak tangan anak laki-laki tadi.
Responnya sama saat Elea memberi roti. “Buat aku, Om?”
“Tentu,”
“Om gak ada maksud untuk culik aku kan? Aku miskin, Om, orang tuaku sakit gak punya uang buat nebus aku,” tuturnya, sungguh menyanyat hati.
“Hadiah buat kamu,”
Elea terus mengamati percakapan 2 laki-laki di depannya.
“Hadiah? Emang aku ngapain, Om?”
“Hadiah karena kamu sudah jadi anak yang berbakti, berguna buat orang tua kamu,”
“Beneran, Om?”
“Iya,”
“Om gak bercanda?”
“Tidak,”
“Terimakasih banyak, Om.”
Anak tersebut mengayuh becaknya dengan girang setelah berpamitan. Pancaran kebahagiaan tercetak dengan jelas diwajahnya.
“Hai!” laki-laki tersebut menghalang pergerakan Elea yang hendak menghidupkan motor maticnya.
“Masih ingat gue?” tanyanya.
“Mau apa?”
“Menyambung tali silaturahmi,”
Elea menyerngit “Maksudnya?”
“Baikan! Gue minta maaf kalo pertemuan kita sebelumnya kurang mengenakan,”
“Kamu ngikutin saya?”
“Ga sengaja liat,”
Elea hanya mendengus “Pamer,”
Laki-laki didepannya hanya acuh sambil mengangkat bahu.“Gimana? Kita temenan?” tanyanya.
“Enggak!”
“Kenapa? Apa gue terlalu tampan sampai membuat lo minder?” sambil menggulung kemeja yang ia pakai, laki-laki tersebut kembali menatap Elea.
“Gak tertarik!”
Dengan cepat Elea memutar kunci yang sedari tadi sudah terpasang ditempatnya, menghidupkan lalu menarik tuas hingga motor tersebut berjalan menjauh.
Sedang laki-laki tadi hanya diam sambil terus menatap punggung yang semakin tek terlihat.
“Jutek tapi bikin deg-degan!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
RAMBE NAJOGI
ayooo othor keceh, jangan klamaan smedinya ya ...awok awok
2022-06-30
3