Pertemuan Kedua Akankah Jadi Pertemuan Terakhir?

...   I.B.U.S.A.M.B.U.N.G.U.N.T.U.K.A.N.A.K.K.U...

...Nyatanya uang atau harta tak menjamin attitude seseorang...

***

“Mending lo balik dulu, gue udah ijin sama Pak Botak kalau lo lagi ga enak badan.” karena sudah beberapa kali take dan Ardha tetap tidak fokus, akhirnya Fatih melakukan konspirasi bawa Ardha sedang sakit.

“Yaudah buru balik!” Ardha beranjak dari kursi kayu sambil menyisir rambutnya ke belakang.

“Pura-pura lesu somplak!” Fatih melirik ke kiri dan ke kanan. Memastikan jika Pak Botak jauh dari pandangan. Akan jadi masalah jika mereka berbohong dan pura-pura jika Ardha sakit.

“Mau gue sakit, sekarat bahkan mati sekalipun, muka gue tetap ganteng blo.”

“Rese lo,” Fatih mendengus, ia mendorong kasar tubuh Ardha hingga terjungkal.

“Lo nyetir sendiri dulu, gue ada urusan sama Pak Botak bahas kontrak lo.” Ucap Fatih yang sudah berjalan beberapa langkah. 

“Sakit blo!” umpatan Ardha tak terdengar ditelinga Fatih, karena laki-laki itu sudah melangkah menuju gerombolan staf yang bertugas. 

Ardha menuju area parkir sambil memakai masker dan topi hitam andalannya. Tak lupa earphone yang ia selipkan ditelinga kiri dan kanan, berjalan dengan elegan.

“Ardha!”

Langkah Ardha terhenti saat lengannya dipegang, sedikit melirik lalu kembali melangkah.

“Ardha! Kok ga brenti sih. Kamu sakit yah? Sakit apa? Perlu aku antar ke rumah sakit?” Sovia terus mengoceh dan menyeimbangi langkah Ardha yang besar. 

Sovia cantik, elegan dan yang pasti banyak laki-laki yang dengan terang-terang menyukainya. Tapi bagi Ardha tak ada yang mampu menggantikan posisi Mita dihatinya dan Sovia bukan tipenya.

“Ardha, dengerin aku dong!” Sovia menarik earphone yang tadi melekat manis ditelinga Ardha sehingga membuat Ardha berhenti dan menatap lawan bicaranya.

“Apa?”

“kamu sakit? Kok ga bilang sih sama aku? Apa perlu aku antar ke rumah sakit?” Sovia menyentuh dahi Ardha dengan punggung tangannya. Tak perlu berjinjit, karena Sovia memiliki tinggi diatas rata-rata.

 “Gak perlu!” earphone yang berada ditangan Sovia dengan cepat berpindah. Sovia terkejut, karena Ardha langsung melongos begitu saja.

Sovia tak menyerah, ia sedikit berlari saat Ardha menekan tombol dikunci mobil miliknya.

“Aku antar ke rumah ya? kamu lagi sakit, aku khawatir kamu kenapa-kenapa di jalan.”

“Gue bisa sendiri.” 

Ardha mulai kesal, sampai kapan perempuan itu mengganggunya. Sudah jelas Ardha membangun benteng antara mereka tapi Sovia terus mengikisnya. Bahkan tak segan membuat jarak dengan jalan lain yang membuat Ardha semakin muak. 

“Aku ga bisa biarin kamu pulang gitu aja, aku ga tenang Arda.”

“Lo siapa?”

“Aku?”

Tak ada jawaban, hanya pandangan menusuk yang Sovia dapat.

“Ak-aku Sovia.” Cicitnya pelan.

“Siapanya gue?”

Sovia diam, mulutnya tak mampu berujar. Ia menatap ke sembarang arah, mencari jawaban yang bahkan ia pun sudah tahu.

“Bukan siapa-siapa gue.” tekan Ardha.

Mobil berwarna putih milik Ardha melaju meninggalkan Sovia yang masih diam mematung. Tangannya bergetar menahan amarah. Sovia tak mau berhenti sampai disini, ia yakin pasti sedikit lagi hati Ardha akan menghampirinya. Ia hanya bersabar dan.... sedikit lagi.

**

Ardha berada di depan pintu, tangannya sejenak terhenti tepat pada gagangnya. Ia terus berpikir keras alasan apa yang cocok ia jadikan alas an agar Cila tak terus-terusan merengek minta mama baru. 

“Papih! Pulang tepat?” Cila yang tadinya duduk sambil menggambar diruang tamu, berlari saat melihat Ardha membuka pintu. 

Senyumnya merekah, pipi gembulnya seakan ikut bergerak bersamaan langkah kaki yang terus mendekati Ardha. 

Bagi Ardha,Cila adalah kebahagiaannya. Ia berjanji pada Mita, mendiang istrinya untuk memprioritaskan kebahagiaan Cila. Memenuhi segala kebutuhan materi yang Cila mau. 

“Anak Papih cantik banget hari ini.”

“Tiap hali Tila tantik.” Ardha terkekeh. Sifat Cila sebelas dua belas dengannya jika soal memuji diri.

“Papih,Tila mau bunga yang banak. Tila mau tepuluh, buat ditana, tana, tana, tana tuga” tangan mungil Cila menunjuk tempat meja makan, meja ruang tamu, kamar bahkan toilet untuk diletakkan bunga.

“Kenapa tiba-tiba minta bunga? Biasanya minta boneka tikus?” 

Cila menggeleng, “Tila mau bunga, bial tantik.” lagi-lagi Ardha terkekeh, ia merasa lega. Lebih baik minta bunga daripada minta mama baru. Mungkin karena ada siaran televisi yang Cila lihat menayangkan serial kartun bunga, pikir Ardha.

“Den Ardha sudah pulang?” Bi Mia datang dengan segelas susu vanila kesukaan Cila. Ia sedikit terkejut saat melihat sosok Ardha yang sudah ada dirumah sebelum magrib, tak seperti biasanya, pikir Mia.

“Ijin pulang, Bi.” Ardha mengambil susu vanilla dari tangan Bi Mia dan membawa Cila naik ke lantai atas, tempat kamar anak itu. Sedangkan Bi Mia membereskan gambaran Cila yang berserakan di atas meja.

Kamar dengan nuansa biru langit ditambah dengan taburan gambar bintang. Boneka tikus diberbagai tempat, meja hingga lemari. Setiap kali Ardha ke luar kota, selalu saja gadis itu minta oleh-oleh boneka tikus. Lucu katanya, Ardha sampai heran dimana letak lucunya. 

“Papih, nanti Tila mau tepit lambut ada gambal bunga banak ya?”

“Iya.”

“Kaos kaki bunga, Lampu bunga, telimut bunga....” Cila terus mengoceh, ia menyebut benda apa saja yang ia lihat untuk diganti dengan bunga. Sedangkan Ardha hanya mengangguk sambil terus mengusap puncak kepala Cila agar anak tersebut tertidur, untunglah gumamnya.   

**

Disebuah pusat perbelanjaar yang berada ditengah kota menjadi sasaran tempat Elea berbelanja. Mencari-cari pembalut yang biasa ia pakai. Sungguh memalukan sekali, datang bulan disaat sedang diluar dan tak ada persediaan pembalut.

Rok plisket berwarna lilac yang ia pakai pun juga kena imbasnya. Elea menggerutu, kenapa ia sampai lupa dan tidak membawa persedian pembalut di dalam tas.

Berjalan dengan hati-hati sambil menutupi noda dengan tas yang ia pakai. Elea berjalan mendekat ke arah kasir. 

Brak,

Elea terjerembab saat dua anak kecil berlarian kesana kemari, secara otomatis sekarang Elea menjadi pusat tontonan. Menunduk sambil berdiri perlahan, Elea mengusap lututnya yang terasa ngilu.

“Astaghfirullah,” pekik Elea saat sebuah lengan melingkar diperutnya. Secara refleks berbalik dan memukul sosok yang berada dibelakangnya dengan tas.

“Akhhh, lo gila apa!”

“Kamu!” laki-laki dengan kaos berwarna cream dipadukan dengan celana jeans hitam selutut, jangan lupakan topi serta masker pusakanya, Ardha.

Tak ada sahutan dari mulut Ardha, ia hanya fokus mengusap lengan yang terasa sakit akibat pukulan tiba-tiba dari Elea. Sedangkan Elea mengatup rapat bibirnya sambil terus mengamati Ardha.

“Ka-kamu mau apa?”

“Menurut lo?” tutur Ardha dengan ketus.

Elea dengan cepat menangkupkan tangan di depan dada sambil mengamati sekitar. Seketika ia menjadi takut.

Aneh, bukankah tadi ramai kenapa mendadak sepi.

“Dasar perempuan aneh!” Ardha pun melongos sambil meneteng botol minuman menuju kasir.

Elea berusaha memahami situasi, laki-laki itu tiba-tiba memeluknya dan mengatakan bahwa ia aneh. Bukankah ia yang aneh? Elea mulai meraba perutnya.

Deg, apa ini?

“Jaket?” gumam Elea, jaket siapa? Apa mungkin jaket laki-laki tadi? 

Berarti laki-laki itu...

“Tunggu!” 

Elea bergegas meletakkan pembalut ke dalam rak dan melangkah keluar saat Ardha hendak masuk ke dalam mobilnya.

“Tunggu, ini-saya-anu...” 

“Gue ga punya banyak waktu!”

“Kalo lo mau bahas masalah ganti rugi karena kejadian waktu itu, cepat sebutin lo mau apa?”

Menusuk ulu hati Elea yang terdalam, apakah ia terlihat seperti orang yang suka memanfaatkan keadaan. Ia sudah melupakan kejadian yang lalu dan ia juga tak sengaja bertemu dengan laki-laki ini.

Nyatanya uang atau harta tak menjamin attitude seseorang

“Ti-tidak perlu, saya hanya mau mengembalikan ini. Saya tidak mau berhutang budi.” 

Ardha tertawa sinis, “Ga perlu, gue ga mau pake bekas lo.” 

Seperti ada yang meghantam peredaran darah Elea, hatinya semakin terasa sakit. Sebegitu hinakah ia dimata laki-laki ini. Apa salahnya? Bukankah seharusnya ia yang marah atas kejadian yang lalu? Lalu apa maksud laki-laki ini mengikat jaketnya pada Elea? 

“Saya harap ini pertemuan kedua dan terakhir kita. Saya tidak mau lagi berurusan dengan orang seperti kamu dan jangan khawatir, jaket ini akan saya buang sendiri.”

“Its oke.”

Elea menghela napas saat mobil Ardha menghilang dari pandangannya. Pantaskah ia berkata seperti itu, lalu bagaimana dengan.... ingatan Elea kembali pada kejadian beberapa hari lalu, dirumah besar siang itu.

Terpopuler

Comments

RAMBE NAJOGI

RAMBE NAJOGI

ilih, sok Sokan. giliran dah bucin baru tau rasa hmmm

2022-06-28

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!