Ibu Sambung Untuk Anakku

Ibu Sambung Untuk Anakku

Awal Pertemuan

...Manusia diciptakan tidak dengan sempurna...

...Tapi manusia diciptakan untuk saling menyempurnakan...

...Menjadi pekengkap tulang rusuk hingga menjadi pasangan...

...Entah hanya pasangan dunia atau sampai pasangan akhirat...

...Yang jelas, selalu berjalan sesuai garis edarnya...

...Tak mampu dipungkiri ataupun dihindari...

...Sama, seperti pertemuan yang menjadi awal dari sebuah takdir...

...I.B.U.S.A.M.B.U.N.G.U.N.T.U.K.A.N.A.K.K.U...

...Jilbab adalah suatu keharusan bagi perempuan umat muslim dan tidak ada kaitannya antara jilbab dengan sikap. Kamu boleh memaki saya, tapi tidak dengan jilbab saya...

...~Elea...

***

Plak, lima jari membekas di pipi mulus seorang perempuan. Elea Anindya Dilla, perempuan cantik berkulit putih itu terhunyung saat mendapat serangan tak terduga dari seorang laki-laki. Peniti yang melekat di pashminanya terlepas, perempuan itu meringis sembari memegangi jilbabnya.

“Dasar perempuan tidak tahu malu! lo kira gue akan tertipu dengan wajah yang sok alim itu!” ia menarik anak kecil yang sedari tadi bersama Elea.

“Apa tubuh lo itu gak berfungsi sampai-sampai harus menculik anak kecil, mengandalkan kepolosan mereka lalu meminta jaminan!” tukasnya lagi. Elea mendongak, manik matanya bertemu dengan kornea mata laki-laki itu.

Semelintir angin berhembus menerpa kulit Elea, membuat pergerakan pada kain penutup kepalanya yang hampir jatuh.

Tak ada rasa kasihan bahkan menyesal diwajah laki-laki didepannya setelah mulutnya berujar kata yang menusuk bagai sembilu.

“Apa maksud kamu?” suara Elea bergetar dengan air yang merembes begitu saja dari pelupuk matanya hingga jatuh mengenai ujung flatshoes berwarna abu yang ia pakai agar senada dengan warna jilbab.

“Bunah!” panggil anak kecil yang berusaha menggapai Elea namun pergerakannya tertahan. Tubuh kecilnya disembunyikan dibelakang tubuh tegap sang ayah. Ia mengintip dari balik kaki yang menutupi pandangannya, mengamati wajah Elea yang sudah basah karena air mata.

“Berani sekali lo nyuruh anak gue untuk memanggil lo bunda, memangnya lo siapa? perempuan tidak tahu diri yang berlindung dibalik jilbab. Cuih, lo dan hijab lo itu sama-sama menjijikan!” semburat wajahnya memerah dengan rahang yang mengeras, buku-buku tangannya yang sudah memutih karena kepalan yang keras.

“Jilbab adalah suatu keharusan bagi perempuan umat muslim dan tidak ada kaitannya antara jilbab dengan sikap. Kamu boleh memaki saya, tapi tidak dengan jilbab saya!”

Sakit karena tamparan fisik juga ditambah dengan tamparan batin. Perkataan laki-laki di depannya mampu menusuk qalbu.

Bukan salah jilbabnya dan bukan salah pakaiannya. Elea hanya berusaha menutup aurat dan menjalankan kewajiban sebagai seorang umat islam.

“Berani sekali lo menentang gue, HAH!” suaranya naik 3 oktaf hingga memekik telinga Elea.Ia sempat terjingkat dan mundur satu langkah.

“Pih, itu Bunah. Kenapa bunahnya dibentak?” monolog sang gadis kecil dengan isak tangis sambil menggoyang-goyangkan kaki ayahnya. Ia kembali ingin menghampiri Elea namun lagi-lagi tubuhnya dicekal sang ayah.

“Itu bukan bunda, sayang. Bunda sudah disurga.” 

Laki-laki itu berjongkook menyamaratakan tubuhnya dengan sang anak yang Elea ketahui anak tersebut bernama Cila. Interaksi keduanya tak terlepas dari pandangan Elea. Terlihat sang ayah mengusap puncuk kepala sambil sesekali mengecup kening anaknya sangat berbeda dengan sikapnya tadi kepada Elea.

Niat hati tak ingin mengganggu momen orang tua dengan anak, “Tunggu, jangan pergi! lo pikir gue akan melepaskan lo begitu aja setelah lo hampir menculik anak gue.” Ia menarik kasar tangan Elea yang sudah beberapa langkah menjauh.

“Awww, sakit!” rintihan Elea tidak dihiraukan, laki-laki itu justru menarik secara brutal hingga jilbab yang dikenakan Elea terlepas dari kepalanya.

Sementara Cila terus merengek mengikuti langkah ayahnya sembari meminta untuk melepaskan perempuan yang ia panggil bunda.

“Jilbab saya!” Elea hendak berbalik memungut jilbabnya namun cekalan dilengannya terlalu kuat jika dibandingkan dengan tenaganya.

“Saya mohon, biarkan saya mengambil jilbab saya!” Elea memelas, namun laki-laki itu terus menyeretnya. Untung posisi mereka sedang berada di parkiran jadi tak banyak orang yang melihat.

Elea terus diseret hingga melewati beberapa mobil yang terparkir.

Bugh, tubuh Elea didorong masuk ke dalam mobil dengan kasar, hingga rok yang ia pakai tersingkap sampai area paha. Belum sempat berkata, pintu mobil sudah tertutup dengan keras.

Elea hanya menatap nanar dari balik pintu mobil yang sudah terkunci, laki-laki diluar sana terlihat sedang mengotak-atik layar handphone. Elea masih melihat dengan jelas guratan disekitar pelipisnya yang masih mengeras.

“Ada apa ini, Nak?” tanya wanita paruh baya setelah hampir 10 menit Elea memasuki mobil. Posisinya memang diluar tapi Elea dapat menangkap dengan jelas ucapan perempuan itu.

Elea tak lagi menghiraukan pembicaraan mereka. Yang ada dibenaknya sekarang hanya bagaimana caranya ia kabur dari situasi ini. Dijelaskan pun kejadian yang sebenarnya pasti laki-laki itu tak akan mempercayainya. Ingin meminta bantuan pun juga percuma dengan handphone yang tidak memiliki daya.

Tak lama pintu mobil diketuk, Elea tak sadar entah berapa lama ia melamun.

Deg

Polisi, aliran ditubuhnya seakan terhenti. Panas dingin, dengan keringat yang mulai membasahi bercampur air mata yang belum kering di pipi. Tangannya gemetar, bahkan kerongkongan seakan tercekat. Elea ditarik dan dipaksa keluar dari kendaraan beroda empat tersebut.

“Kami akan segera menindaklanjuti, tapi kami masih perlu bukti yang kuat karena video rekaman yang bapa kirim masih belum bisa kami jadikan acuan. Untuk sementara kami akan menahannya, hukuman akan dijatuhkan sampai kami menemukan bukti yang kuat.” ucap seorang polisi dengan nametag Supriyanto. 

Rupanya sebelum menampar Elea, laki-laki tadi terlebih dahulu merekam lewat ponsel, sehingga terlihat jelas bagaimana pergerakan Elea saat bersama dengan Cila. Bagaimana perempuan itu menggandeng dengan erat tangan Cila seakan tak ingin melepaskan bocah tersebut.

“Baik, pa! segera beri saya kabar!” 

“Ayo ikut saya!”

“Tapi saya tidak bersalah, Pak! Saya mohon jangan bawa saya.”

Elea sejenak menoleh ke arah laki-laki yang telah melaporkannya dengan tatapan memelas, namun tak ada rasa belas kasihan dimata laki-laki itu, ia justru enggan untuk bersitatap dengan Elea.

“Bunah, tangan pelgi!” Cila merengek dan memberontak minta diturunkan dari gendongan yang Elea duga adalah neneknya.

 

“Pak saya mohon, cabut tuntutan bapak. Saya tidak bersalah, Pak. Saya hanya membantu anak bapak.”

Elea berlutut memegang kaki laki-laki itu sambil terisak. Ia seka, dengan pergelangan tangan yang memerah, lalu pandangannya mendongak saat ada tangan yang memintanya berdiri.

Bukan laki-laki itu, melainkan seorang polisi yang memegang lengannya dan mulai menyeret masuk ke dalam mobil polisi dengan warna merah putih.

“Bunah, tangan tinggalin Cila!” suara teriak anak perempuan itu dengan isak tangis, ia masih berada digendongan neneknya. Terus meronta meminta Elea untuk tidak pergi.

Namun sayang, tubuh perempuan yang ia panggil dengan sebutan bunda itu terus menjauh hingga tak menyisakan walau hanya bayangan.

“Apa benar, perempuan itu penculik, Ar?” tanya Mama Nira, ibu dari Ardhana Kavin, biasa dipanggil Ardha. Mereka sudah beranjak pulang dan sekarang berada dalam mobil.

“Mama punya pirasat kalau dia perempuan baik-baik. Buktinya Cila kelihatan nyaman sama dia, bahkan tidak pernah mama lihat Cila sampai menangis seperti tadi.” 

Mama Nira memandang cucunya yang sudah terlelap dipangkuan Mia, baby sitternya. Pada saat kejadian ia sedang berada di toilet, Mia membereskan peralatan Cila yang tertinggal di meja caffe, sedangkan Ardha, lelaki itu sedang membayar kasir. Awalnya Cila bersama Ardha, tapi sosok Elea mempunyai daya tarik bagi Cila.

“Mama jangan terlena sama luarnya, kita tidak tahu bagaimana dalamnya. Bisa jadi dia komplotan penjahat, kasian kalau dibiarkan banyak memakan korban.”

“Apa sebaiknya kita dengar dulu penjelasan perempuan tadi.”

“Sudah jelas kalau dia penculik, Ma, dari gelagatnya saja sudah keliatan dan Ardha yakin itu.”

“Tapi, Ar, kita tidak bisa melihat hanya disatu sisi. Bagaimana kalau perempuan tadi memang orang baik.”

“Ardha malas debat Ma, capek!” ketus Ardha, ia memilih untuk fokus mengemudi. Sedangkan Nira hanya menghelas napas. Dijelaskan dan diberitahu pun percuma, ia tahu anak satu-satunya itu memang keras kepala.

Mereka telah sampai diperumahan elite dengan lantai dua disertai gerbang yang tinggi menjulang, yang sengaja dibuat untuk privasi. 

Rumah dengan gaya ala Eropa, pijakan terbuat dari marmer yang langsung dipesan dari Thailand semakin memberi kesan mewah.

Ada garasi disisi kiri dan taman disisi kanan rumah. Bukan taman seperti kebanyakan yang penuh dengan bunga, dipekarangan tersebut justru penuh dengan alat bermain anak-anak dengan dilengkapi beberapa gazebo untuk berteduh.

“Biar Cila hari ini tidur sama mama, kamu pasti capek.” Ardha mengangguk, ia benar-benar merasa lelah hari ini.

Sepulang dari Syuting, ia harus memenuhi permintaan Cila yang ingin makan bersama diluar sebagai hadiah karena anak itu telah bisa mengikat tali sepatu sendiri. Dan diakhiri dengan kasus penculikan.

Ardha melangkah naik ke lantai atas sedangkan Nira ke arah kamar tamu diikuti dengan Mia yang sedang menggendong Cila.

Nira memandang Cila yang sudah terlelap di atas kasur, lalu mengusap pelan puncuk kepala cucunya. Kasihan, karena cucunya tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. 

Berkali-kali Nira mengenalkan Ardha dengan anak temannya namun respon anaknya selalu membuatnya kesal. Tak ada satupun wanita yang membuatnya tertarik dan selalu membuat alasan bahwa Cila tak ingin mama baru.

Sudah hampir 15 menit memejamkan mata, namun kantuk tak kunjung datang. berulang kali Ardha mengambil posisi ternyaman, tetap saja bayang-bayang perempuan itu mampu meyapu seluruh isi pikirannya. Ditambah dengan ucapan mamanya, mampu membuat Ardha bimbang. 

Bagaimana jika perempuan itu memang orang baik? Raga yang lelah bisa membuatnya tak mampu berpikir jernih dan langsung menyimpulkan apa yang ia lihat.

Seharusnya ia sadar fungsi diciptakannya telinga. Untuk apa diciptakannya indera tersebut jika hanya mata yang diberi kesempatan.

Ardha tiba-tiba mengambil posisi duduk dan segera mencari handphonenya. Cctv, bagaimana bisa ia lupa, caffe itu pasti punya cctv. Ia menekan nomor asistennya untuk mengecek cctv di caffe tersebut.

Terpopuler

Comments

Fia Falah

Fia Falah

baru kali ini baca novel bab 1 udah ilfeel sama tokoh cowoknya.. ga ada pembenaran satu pun dari sikapnya apalagi klw sampai bersatu sama pemeran cewek iyuhh banget..

2022-10-13

3

Nurjani Lambu

Nurjani Lambu

saya mampir kk

2022-10-06

0

Devi Sihotang Sihotang

Devi Sihotang Sihotang

cerita baru awal udah menyiksa... ga punya hati sampai jilbab seorang muslimah di lepas seperti tu... manusia biadab...

2022-09-25

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!