Mama tirinya Lintang masuk ke dalam kamarnya Lintang, membawakan minuman dan camilan. Wanita berwajah lembut itu langsung masuk ke dalam kamar yang terbuka lebar kedua daun pintunya itu, dengan senyum hangatnya.
Lintang yang mengira bahwa papanya berselingkuh dengan ibu tirinya itu di saat Mama kandungnya masih hidup, selalu bersikap acuh tak acuh dan seringkali berkata dan bersikap kasar pada ibu tirinya itu.
Itulah kenapa, Lintang tidak memberikan respons apapun saat ibu tirinya meletakkan nampan yang berisi dua gelas es sirup dan tiga toples kecil yang berisi aneka camilan di atas meja, sambil berkata, "Lintang, es sirup kesukaan kamu dan camilan kesukaan kamu udah Ibu siapkan untuk menemani kamu belajar dan Pak Guru, silakan dicicipi"
Chandresh menoleh ke ibu tirinya Lintang dan berkata, "Terima kasih, Bu" Chandresh lalu menoleh ke Lintang dan menatap Lintang dengan tidak suka saat ia melihat Lintang tidak memberikan respons apapun.
"Lintang? Kenapa diam saja?" Chandresh menatap Lintang dengan heran.
Ibu tirinya Lintang menghela napas panjang laku berkata, "Nggak papa, Pak. Selamat belajar" Ibu tirinya Lintang kemudian berputar badan dan keluar dari dalam kamarnya Lintang.
Chandresh menghela napas panjang dan bertanya ke Lintang, "Kenapa kamu seperti itu? Mana Lintang yang dulu......."
Lintang langsung mengangkat wajahnya yang merengut dan mata menyipit karena, kesal.
Chandresh langsung menghentikan kalimatnya karena kaget menerima tatapan menakutkan secara tiba-tiba.
Lintang kemudian berkata, "Memangnya Bapak tahu Lintang itu seperti apa? Dulu kita hanya kenal selama tiga hari dan itu cukup membuat Bapak kenal siapa Lintang?"
"Tapi, kamu nggak boleh nggak sopan pada orangtua dan itu ......"
"Dan aku nggak butuh ceramah dari Bapak. Bukankah kimia itu butuh konsentrasi karena banyak hapalannya? Jadi, Ssssttt! Jangan banyak bicara lagi! Saya butuh konsentrasi" Lintang lalu menunduk untuk menatap kembali buku paket kimianya.
Chandresh hanya bisa meraup wajah tampannya lalu menghela napas panjang. Lalu bergumam di dalam hatinya, Dasar anak liar.
Dalam perjalanan pulang, Chandresh dikejutkan dengan bunyi nyaring ponselnya. Chandresh segera meminggirkan mobil sedan keluaran tahun 2005-nya yang masih belum lunas cicilannya itu, untuk mengangkat panggilan yang masuk ke dalam ponsel pintarnya.
"Halo?"
Suara wanita yang terisak-isak menangis, langsung menusuk telinganya Chandresh.
Chandresh menautkan alisnya dan bertanya, "Saya bicara dengan siapa?"
"Ini aku, Chan. Shinta"
Chandresh langsung membeku tak berdaya mendengar nama Shinta, setelah bertahun-tahun lamanya, nama itu sudah mulai memudar dari hati dan pikirannya.
Di sela isak tangisnya, wanita yang masih tersambung di ponselnya Chandresh berucap, "Bisakah kamu datang ke sini? Aku butuh pertolongan kamu"
"Empat tahun kau menghilang dan memilih Papaku. Kau tinggalkan luka yang sangat dalam di hatiku dan sekarang...........kau berani meneleponku?" Chandresh berucap dengan hati yang terasa sesak di saat luka batinnya kembali menguak segar.
"Maafkan aku. Aku butuh kamu. Hanya kamu yang aku punya saat ini. Kalau kamu tidak datang hari ini, maka besok kau akan menerima kabar bunuh diriku"
Chandresh menghela napas panjang, lalu berkata, "Baiklah. Share lokasi kamu setelah aku tutup panggilan ini! Aku akan ke sana" Klik! Chandresh mematikan sambungan ponsel itu dan menunggu Shinta mengirimkan lokasi keberadaannya Shinta.
Setelah mendapatkan lokasi tersebut, Chandresh lalu meluncur ke sana.
Chandresh tertegun melihat pintu sebuah apartemen terbuka lebar. Chandresh mengetuk pintu itu dan langsung bersikap waspada saat ia mendengar bunyi derap langkah kaki telanjang berlari ke arahnya.
Chandresh terkejut setengah mati, saat dirinya dipeluk oleh seorang wanita yang tampak berantakan. Chandresh langsung memegang kedua bahu wanita itu dan mendorongnya pelan, menunduk untuk melihat wajah wanita itu, "Shinta?!" Chandresh semakin terkejut melihat wajah wanita yang berani memeluknya tanpa permisi.
Shinta semakin menundukkan wajahnya dan menangis sesenggukkan.
Chandresh langsung melepaskan kedua bahunya Shinta dan mundur ke belakang sebanyak dua langkah dengan tanya, "Ka.....kamu ke....kenapa ada di kota ini? A....apa si tua brengsek itu, juga ada di dalam?"
Shinta masih menundukkan wajahnya dan menggelengkan kepalanya dengan isak tangisnya.
Chandresh meraup wajah tampannya dengan kasar, mengelus kepala botaknya dengan tangan kanan berada di pinggangnya, lalu bertanya dengan nada lirih, "Apa yang terjadi?"
Shinta secara perlahan mengangkat wajahnya, menatap Chandresh dengan ragu.
Chandresh berkacak pinggang dan mendelik, "Astaga, Shinta! Untuk apa kau memanggilku kemari kalau kau hanya diam saja kayak gitu? Apa yang terjadi? Katakan!"
Shinta berkata dengan suara lemas, "Masuklah dulu! Aku akan ceritakan semuanya"
Chandresh seketika membenci hatinya karena hatinya bertindak tanpa seijin akal sehatnya. Hatinya menuruti permintaanya Shinta, melangkah masuk ke dalam untuk mendengarkan apa yang sebenarnya terjadi padahal akal sehatnya berkata tinggalkan saja Shinta, toh masalahnya Shinta bukan tanggung jawabnya Chandresh.
Chandresh duduk dan menunggu Shinta memunguti benda-benda bukan pecah belah yang tergeletak di atas lantai.
Setelah meletakkan kembali benda-benda yang berjatuhan pada tempatnya, Shinta duduk di depannya Chandresh dan berkata, "Papa kamu, pergi meninggalkan aku"
"Tapi, kenapa? Bukankah kalian saling mencintai?" Chandresh berucap dengan terus menatap Shinta.
"Iya. Setelah bercerai dengan Mama kamu, Papa kamu menikahiku. Dan saat tahu kalau aku telah merebut suami orang, Mamaku malu dan bunuh diri. Aku sebatang kara saat ini. Dan di dunia ini, aku hanya mengenalmu, Chan" Shinta mengusap kedua pipinya yang penuh air mata.
"Kenapa pria brengsek itu meninggalkanmu? Dan sudah berapa lama ia meninggalkanmu?"
"Dia meninggalkan aku karena, wanita lain. Aku divonis dokter tidak bisa punya anak dan dia kecewa. Dia sudah kehilangan kamu, dia ingin anak dariku, tapi aku tidak bisa memberinya seorang anak. Untuk itu ia mencari wanita lain. Seminggu yang lalu, dia menceraikan aku dan pergi meninggalkan aku demi wanita itu"
"Itu karma, Shinta. Kita tinggal menunggu si brengsek itu memperoleh karmanya sendiri"
"Iya, kamu benar. Aku yang bersalah telah merebut Papa kamu dari Mama kamu dan aku lebih cepat mendapatkan karmaku" Sahut Shinta dengan wajah menunduk dan kembali menangis terisak.
Chandresh mendapatkan kembali luka batinnya terbuka lebar dan menyegar kembali luka itu, namun luka batin itu juga menyembulkan kembali rasa cintanya pada Shinta. Chandresh memang belum bisa mencintai wanita lain, karena dia sangat mencintai Shinta. Chandresh tertegun melihat Shinta terus menangis di depannya, dan rasa cinta yang kembali muncul di hatinya, membuat ia bertanya dengan nada lirih, "Lalu pertolongan macam apa yang kau inginkan dariku?"
"Papa kamu meninggalkan apartemen ini untuk aku dan sejumlah uang untuk hidup aku selama setahun sebelum aku dapat pekerjaan. Apa kau bisa Carikan aku pekerjaan?"
Chandresh menghela napas panjang dan bertanya, "Apa pendidikan terakhir kamu?"
"SMA" Sahut Shinta.
"Kenapa kau bodoh sekali? Kenapa kau tidak kuliah? Pria brengsek itu sangat kaya, kenapa kau tidak minta dikuliahkan sama si brengsek itu?"
"Papa kamu pencemburu, dia hanya ingin aku berdiam diri di rumah"
"Dasar bodoh!" Chandresh bergumam kesal dan sebenarnya gumaman itu tidak ia tujukan untuk Shinta, melainkan untuk dirinya sendiri. Seharusnya dia memaki Shinta, menghukum Shinta dengan cara membiarkan hidup Shinta hancur berantakan sama seperti Shinta telah menghancurkan hidup dia dan mamanya, tapi dia justru bersimpati pada Shinta
"Iya, aku memang bodoh" Sahut Shinta.
Chandresh menghela napas panjang, dan berkata, "Aku akan carikan kamu kerjaan di hotel tempat aku bekerja. Tapi, aku nggak bisa terus membantu kamu dan aku hanya akan ada di hotel, hari Sabtu dan Minggu saja, karena hari Senin sampai Jumat, aku mengajar. Aku guru SMA, sekarang ini"
"Terima kasih, Chan"
"Kamu sudah makan?" Chandresh tersentak dengan sendirinya saat mulutnya menanyakan hal itu.
Sial! Kenapa aku menanyakan hal itu? akal sehatnya Chandresh mendelik ke hatinya Chandresh karena kesal.
"Belum"
Chandresh menatap Shinta cukup lama untuk mempertimbangkan pendapat dari akal sehatnya ataukah kata hatinya yang harus ia ikuti. Dan akhirnya Chandresh berhasil mendengarkan akal sehatnya, ia berdiri dan berkata, "Aku ada urusan. Aku pergi sekarang. Aku akan kabari besok, soal kerjaan" Dan tanpa pamit, Chandresh bergegas keluar dari dalam apartemennya Shinta.
Beberapa menit kemudian, Chandresh duduk bersandar di jok mobilnya, dan berkali-kali menghirup napas dalam-dalam, menghembuskan napas itu pelan-pelan, lalu memejamkan mata dan bergumam, "Kenapa aku harus bertemu lagi dengannya?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Author yang kece dong
Semangat kak 🤗
2022-08-18
0
Eva Santi Lubis
mawar buat mu thor
2022-06-21
1
Rahma AR
🥰
2022-06-20
1