Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Laras membuka matanya. Tenggorokannya terasa kering. Gadis itu bangkit dari ranjangnya dan melangkah menuju dapur. Ruang dapur begitu gelap. Disentuhnya saklar dapur yang berada di dekat pintu. Lampu pun menyala.
"Geez!" pekiknya terkejut ketika melihat sosok Ben yang tengah duduk di mini bar yang ada di tengah ruangan sembari memegang sebotol minuman beralkohol yang sepertinya whiskey. "You scared me, Ben." Laras berjalan melewati lelaki itu menuju ke arah kulkas.
Ben terkekeh. "Sorry, Laras," ujarnya.
Laras mengambil sekotak jus jeruk dan menuangkannya ke dalam gelas. Diteguknya dengan cepat cairan segar berwarna kuning itu untuk membasahi tenggorokannya yang kering.
Ben memandang gerak-gerik Laras hingga gadis itu merasa risih sendiri. Senyum Ben tersungging.
"Kenapa kau melihatku begitu? Apa aku terlihat aneh?" tanya Laras seraya memeriksa diri sendiri. Mencari-cari apakah ada yang salah dalam dirinya.
"You look good, Laras," ujar Ben membuat dada Laras berdesir.
Ben meletakkan botol whiskey yang dipegangnya ke atas meja bar. Kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Laras. Dada Laras berdebar kencang. Tenggorokannya tercekat seketika dan membuatnya sulit untuk menelan ludah.
Ben mendekatkan wajahnya ke wajah Laras. Nafas beraroma alkohol yang berat itu menyapu wajah Laras. Gadis itu mundur selangkah namun tangan Ben meraih pinggangnya dan menariknya ke dalam pelukannya. Ben ******* bibirnya seketika hingga Laras tak sempat menghindar.
Sesaat Laras menikmati ciuman bibir Ben yang hangat. Ini kedua kalinya mereka berciuman, dengan Ben yang berada dibawah pengaruh alkohol. Tangan Ben mulai nakal dan bergerak menuju dadanya dan meremasnya pelan. Laras tersadar dan menepis tangan Ben.Mendorong tubuh lelaki itu kasar.
"Owh Laras, ayolah, kenapa kau menolakku?" pinta Ben memelas. Matanya menatap Laras sayu.
"Kau sedang mabuk, Ben," ujar Laras sembari berjalan meninggalkan tempat itu. Namun dengan cepat Ben meraih tangannya.
"Lepaskan!" seru Laras. Ben melepaskan cekalan tangannya dan membiarkan Laras pergi.
Laras menutup pintu kamarnya rapat-rapat.
Gadis itu menyandarkan tubuhnya di pintu sembari menghela nafasnya dalam-dalam.
Matanya terpejam. Jantungnya berdetak dengan cepat. Digigitnya bibir yang tadi bersentuhan dengan bibir Ben. Tak bisa dipungkiri Laras berusaha sekuat tenaga melawan godaan untuk bercumbu dengan lelaki itu. Namun Laras sadar, Ben melakukan itu dengan banyak wanita, dan Laras tidak ingin terperangkap oleh perasaannya sendiri. Laras begitu takut dengan rasa sakit hati.
***
Setelah menunggu Lupita masuk kerja kembali, Laras berpamitan pulang dengan Madame Rose. Sore ini adalah jadwalnya untuk berlatih tari di Konjen.
Laras memakai mantel dan syalnya kemudian keluar dari rumah Madame Rose.
"Laras .. wait!" seru seseorang. Laras menghela nafas berat. Gadis itu sudah bisa menebak siapa si pemilik suara.
"Aku antar ya, please .. jangan menolakku kali ini," pinta Ben seraya menekan tombol remote mobilnya yang terparkir di depan rumah.
"Tidak perlu, Ben," ujar Laras, menoleh ke arah Ben sekilas, kemudian melanjutkan langkahnya.
"Aku ingin meminta maaf untuk tadi malam!"
seru Ben. Langkah Laras terhenti. Gadis itu membalikkan badannya. Memandang ke arah lelaki tampan bermata biru itu.
"It's okay .. you're drunk anyway .. you didn't really know what you were doing," sahut Laras datar. Mencoba menyembunyikan kecamuk dalam dadanya.
"Jadi sebagai tanda permintaan maafku, biarkan aku mengantarkanmu pulang, please." Ben menyatukan kedua telapak tangannya memohon.
Laras menghela nafas kembali. Kemudian mengiyakan permintaan Ben. Lelaki itu tersenyum sumringah, lalu segera membukakan pintu mobil untuk Laras.
Beberapa saat kemudian keduanya telah berada di dalam mobil.
"Kau bisa antarkan aku ke Konsulat Indonesia," ujar Laras ketika Ben mulai mengemudikan mobilnya.
"Owh .. why?" tanya Ben.
"Aku ada acara di sana."
"Boleh aku tahu acara apa itu?"
"Hanya latihan menari saja."
"Owh .. kau seorang penari?"
"Bukan secara profesional, hanya sekedar hobby. Beberapa waktu yang lalu ada temanku sesama orang Indonesia yang memintaku untuk bergabung dengan team mereka untuk pertunjukan di malam puncak perayaan ulang tahun Columbia," terang Laras.
"Benarkah? Bagus sekali .. kau tahu Rebellion juga akan tampil malam itu?" tanya Ben dengan mata berbinar.
"Yeah, aku tahu," jawab Laras.
"Ini mungkin hanya kebetulan, sepertinya team kalian akan menjadi penari latar untuk salah satu lagu yang akan kami bawakan," ujar Ben membuat mata Laras membulat.
"Ohya?" tanya Laras tak percaya.
"Yeah .. that's great, right?"
Laras mengangguk lalu tersenyum. Dadanya kembali berdesir. Kenapa lelaki ini begitu mempesona, batinnya. Laras berusaha menepis pikiran-pikiran aneh yang mulai menguasai otaknya.
"Laras, kurasa kita sudah sampai." Suara Ben membuyarkan lamunan Laras.
"Owh, okay .. thanks, Ben," ucap Laras sembari membuka pintu mobil.
"See you tomorrow, Laras," kata Ben yang membuat Laras sedikit kaget. Namun gadis itu hanya tersenyum dan kemudian menutup pintu mobil. Ben menunggu hingga Laras masuk ke dalam gedung bercat abu-abu itu, lalu mengemudikan mobilnya meninggalkan tempat itu.
***
"Laras .. duh lama banget gak ketemu," sapa Maya ketika Laras tiba di sebuah ruangan yang cukup luas. Ada beberapa wanita Indonesia seumurannya di sana. Laras menyapa mereka satu persatu dan memperkenalkan diri.
"Iyaa nih, May .. kamu sehat kan?" tanya Laras sembari membuka mantelnya dan meletakkannya di tempat gantungan mantel.
"Ya beginilah .. ohya aku belum kasih tahu, kemarin panitia telfon aku, kita tuh bakal jadi penari latar di salah satu lagu yang dibawain sama The Rebellion," ujar Maya.
"Iya aku tahu .. emm maksudku, aku mikir gitu sebenernya." Laras buru-buru meralat ucapannya. Tidak mungkin kalau Laras mengatakan pada Maya kalau Ben telah memberitahunya. Akan panjang nanti penjelasannya.
"Konjen sih udah ngehubungin menejernya The Rebellion buat jadwalin latihan bareng."
"Latihan bareng?"
"Iyalah Laras, ya kali mau spontan aja di atas panggung gitu."
Laras meringis. Pertanyaan bodoh, batinnya.
"Besok latihannya di studio mereka jam 10 pagi, kamu free kan?" tanya Maya.
"Aku besok gak ada kuliah sih, paling berangkat kerja jam 3 sore."
"Aman kalau gitu."
Pantas saja Ben bilang "see you tomorrow" tadi, batinnya. Laras tersenyum kecil. Ada rasa hangat yang menyeruak memenuhi dadanya. Tapi kembali ditepisnya rasa itu. Semakin dia memelihara rasanya terhadap lelaki itu,semakin sakit nantinya. Laras tahu dan Laras sadar akan itu. Laras sadar siapa Ben dan sebaiknya dia menjaga jarak saja dengan lelaki itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
Theresia Setyawati
kuat kuat Laras...
2022-06-19
0
྅≞⃗ Yudho☘️"ķïťå"
didadaku ada namamu
2022-04-16
0
Chanik Lestari
keputusan yg tepat laras " menjaga jarak "
2022-04-04
0