Keano duduk di sebuah bangku taman yang tak jauh dari area tempat tinggal Airin. Ia bermaksud mengembalikan dompet, sekaligus melihat keadaannya.
Akan tetapi, Keano tidak cukup beruntung kali ini. Rumah Airin kosong. Dia pasti sedang bekerja. Keano tak bisa mengambil resiko untuk menyusulnya ke tempat kerja. Bukannya berduaan dengan Airin, baku hantam yang ada.
Apalagi dengan suasana hatinya yang sedang tak karuan saat ini. Mungkin dengan mudahnya ia akan mengirim orang lain ke surga.
Monolid eyes-nya tak sengaja memperhatikan seorang gadis kecil yang sedang bermain dengan sepeda mininya.
Memperhatikan ukuran sepeda yang sudah terlalu kecil untuk dinaiki itu, memancing kekehan gemas dari bibirnya.
Sejenak Keano melupakan kejadian tadi pagi yang cukup membuatnya syok. Ia masih berpikir keras, bagaimana dirinya bisa berbuat zina dengan sang mantan istri?
'Ingat zina, hah?! Lalu apa yang kau lakukan pada Airin dulu?' Akal sehat Keano mulai menunjukkan aksinya.
Keano tersenyum getir, kemudian ia kembali mengingat-ingat. Ia merasa semua aman-aman saja sebelum ....
Kopi!
Keano baru teringat jika ia merasakan hal yang aneh setelah meminum kopi buatan Celia.
Ular piton sialan!
Dug!
Keano memukul bangku taman itu dengan kepalan tangannya yang sudah mengeras. Matanya tampak berapi-api dengan gigi bergemeretak.
"Om, kenapa?"
Suara imut itu seketika mengalihkan atensi Keano. Urat-urat kecil yang tadi tercetak di dahinya seketika menghilang saat melihat sepasang mata bulat bening itu tengah menatapnya dengan polos.
Pipi chubby gadis kecil itu seolah-olah mampu membuat siapa saja yang memandang tak tahan ingin mencubit, saking gemasnya.
"Om, lagi marahan sama temennya, ya?" tanya gadis kecil itu lagi. Kini sepeda super mininya sudah ia parkir di dekat bangku.
Keano hanya diam saja menyaksikan tingkah gadis kecil itu, ia sedang berusaha menaiki bangku taman yang ukurannya lebih tinggi dari tubuhnya itu.
Tak terasa sudut bibir sedikit terangkat, sebelum tangannya terjulur untuk membatu gadis kecil itu duduk di sampingnya.
"Om bantu," ujar Keano.
"Terima kasih, Om."
"Sama-sama."
"Um, sebenarnya kata bunda, aku tidak boleh berbicara dengan orang asing," tutur gadis kecil itu sambil memainkan kakinya yang menggantung.
Keano mengerutkan dahinya.
"Orang tuamu kemana? Bagaimana bisa mereka membiarkan anak sekecil ini bermain di luar rumah sendirian."
"Mereka sedang bekerja, Om. Aku di sini menunggu kak Nisa. Sepertinya aku terlalu kencang mengayuh sepeda hingga meninggalkan kak Nisa di belakang." Gadis cilik itu mengadu sambil menunduk dalam, bibirnya sudah melengkung. Sepertinya ia hendak menangis.
"Om antar pulang, mau?" tawar Keano, mencoba menenangkan anak itu agar tidak menangis.
Jika sampai menangis keras, ia takut menjadi bahan tontonan orang-orang, yang malah akan menganggapnya sebagai penculik anak, bahkan lebih parahnya pedofil.
Gadis kecil itu menggeleng.
"Aku tidak boleh mempercayai orang asing," ujarnya dengan suara sengau.
Keano menghela nafas.
"Jangan menangis. Kalau begitu kita kenalan dulu. Kenalin, nama Om, Keano. Namamu siapa?" tanya Keano sambil mengulurkan tangannya, menatap lembut gadis kecil yang sudah akan menumpahkan air matanya itu.
Gadis kecil itu mengawasi Keano dengan tatapan menyelidik, sebelum menyambut uluran tangan dengan ragu-ragu, sembari berucap, "Namaku Zia."
Deg!
Seperti ada kupu-kupu berterbangan di dalam dada. Hati Keano tiba-tiba saja merasakan kehangatan. Debaran jantungnya serasa bertalu-talu. Seperti ada suatu perasaan aneh saat bersentuhan dengan tangan mungil Zia.
Kenapa ia merasakan seperti baru saja menemukan barang yang hilang? Bahagia, tapi juga haru.
"Baiklah Zia, ayo, Om antar pulang. Tuh, lihat. Langitnya mulai mendung sebentar lagi pasti hujan," ajak Keano yang sudah beranjak dari tempat duduknya.
"Tapi, Om .... "
"Tapi apa lagi?"
"Zia pernah dengar kak Nisa nyanyi, kalau mendung itu belum tentu hujan, Om."
Keano tertawa keras sambil geleng-geleng dibuatnya, bahkan ujung matanya sampai mengeluarkan air mata. Entah itu air mata kebahagiaan atau apa. Perasaan Keano tak bisa dijelaskan saat ini.
'Anak siapa sih ini? Pinter banget. Orang tua bodoh macam apa yang tega mengacuhkan anak selucu ini demi pekerjaan.' Keano bermonolog dalam hati.
"Yuk, Zia. Om antar. Kamu ingat jalan pulangnya, kan?"
Zia berpikir sejenak, kemudian menggeleng. Kini bibir mungil itu sudah melengkung lagi. Mata beningnya pun mulai berkaca-kaca.
...***...
Di sebuah sungai di pinggir kota, seorang wanita sedang mengamati air yang beriak akibat terpaan angin.
Pandangannya lurus ke depan, tak memperdulikan tatapan nakal dari para lelaki yang berlalu lalang di sana. Bagaimana tidak?
Wanita itu mengenakan pakaian yang sangat minim. Atasan lengan pendek berwarna hitam dengan belahan dada sangat rendah, yang dipadu dengan rok levis mini berwarna navy. Terlihat cantik, namun sexy.
"Kamu jahat, No. Tak bisakah memberiku sedikit rasa cintamu itu? Setidaknya balaslah semua yang sudah kuberikan selama ini padamu. Itu saja, sudah cukup bagiku. Semua yang aku korbankan selama ini seperti tak ada harganya di matamu. Segalanya. Harta, cinta, tubuhku, bahkan seluruh hidupku .... " lirihnya.
Tak terasa air mata kesedihan berlinang di kedua pipi mulus Celia, yang ia rawat sedemikian mahal hanya untuk seorang yang terkasih.
Sudah sedari pagi setelah keluar dari unit apartemen Keano, ia terus saja mengurung diri dalam kamar hotel yang dipesannya. Setelah bosan, kini Celia melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak di pinggir sungai, yang tak jauh dari tempatnya menginap.
Berjalan seorang diri dengan berderai air mata. Nampaknya ia harus menyesal karena penghianatan yang dilakukan di masa lalu, membuatnya kini tak memiliki seorang sahabat pun.
'Cinta memang butuh pengorbanan, meski persahabatan jadi taruahan,' pikirnya.
Teman, tentu saja punya. Namun mereka hanya datang ketika membutuhkan, tidak lebih.
"Apa sebenarnya yang dimiliki oleh Airin namun tidak ada padaku? Hingga membuatmu begitu memuja wanita itu, Keano ...."
"Bahkan saat ber cinta pun kau terus memanggil namanya."
"Arghhh!"
Celia melempar batu yang baru saja dipungutnya ke dalam air, sebelum kembali berjalan tanpa arah tujuan yang jelas.
Hingga bulan kini telah menggantikan tugas matahari. Lampu-lampu penerangan pun mulai dinyalakan.
Langkah kakinya sudah mulai goyah, pandangan Celia akhirnya tertuju pada sebuah bangunan mewah dengan gemerlap lampu warna warni di bagian depannya. Berniat singgah sebentar di sana.
Klub malam itulah yang kini menjadi tempat melepas segala kesedihannya. Menari meliukkan badan, membaur dengan banyaknya manusia yang mengikuti irama musik yang memekakkan telinga. Euforia yang sangat mampu mengalihkan segala beban hidup yang dirasa.
Saat sudah sedikit lelah, Celia pun menuju salah satu tempat duduk yang ada di ujung ruangan. Ditemani dengan beberapa botol minuman beralkohol.
Entah sudah berapa banyak cairan yang ia masukkan ke dalam mulut untuk melegakan dahaganya. Kepalanya sudah sangat pusing. Mata pun serasa berkunang-kunang.
Sebelum ia hilang kesadaran, segerombolan pria sudah mendekatinya dengan senyuman lebar mereka.
" Hai, Honey. Mari, kita main-main sebentar," ajak salah satu dari mereka yang sudah mengalungkan lengannya di pundak Celia.
Aksi itu disambut gelak tawa dari teman-temannya yang lain.
"Sikat, Bos."
Celia hanya bisa tersenyum miring menanggapi mereka, sebelum pandangannya benar-benar menggelap.
Brugh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Author yang kece dong
Lanjut kakak Ran maru 🤗😍
2022-07-08
2
Nona_Sulung
kamu hanya memiliki raganya cel. tp tdk dg hatinya💔
2022-06-23
1
lazy
nah! inget mase taubat nasuha sana!!!
2022-06-21
1