"C-Celia .... "
Airin menatap wajah wanita yang paling dia benci sedang menarik kasar tangannya.
"Celia, lepas! Cakarmu melukai tanganku!" bentak Airin yang sudah berhasil melepaskan diri dari cengkeraman rubah itu.
Celia berbalik dengan wajah tak bersahabat sama sekali mendengar bentakan Airin.
"Cakar?!" Sebelah alis Celia mulai menukik.
"Maaf, keceplosan." Airin hampir tertawa keras menyadari kesalahan ucapannya barusan.
Juga ekspresi kesal Celia yang entah kenapa malah lucu di matanya.
"Eh, pelakor! Ngaca! Di rumahmu ada kaca kan? Oh, mungkin kau tak punya rumah. Makanya kegatelan merayu suami orang demi mendapatkan rumah. Iya?!"
"Suami orang? Keano maksudmu? Aku pikir kalian sudah bercerai."
"Jangan pura-pura bodoh! Kau yang menggodanya agar menceraikanku. Dasar wanita tidak laku. Tak punya martabat. Bahkan gembel di jalanan sana derajatnya lebih tinggi dari pada kamu." Celia mendorong badan Airin dengan telunjuknya.
Airin segera menepisnya.
"Jaga ucapanmu! Aku tidak seburuk itu. Aku juga tak tahu-menahu tentang perceraian kalian. Jadi jangan asal tuduh. Sepertinya kau yang harusnya berkaca. Siapa yang merebut bekas orang lain di sini?!" tantang Airin yang sudah berkacak pinggang.
Tak terima dengan ucapan Airin barusan, Celia mendorong badan wanita di depannya dengan keras.
Brugh!
"Awh!" pekik Airin merasakan bagian belakangnya sedikit nyeri.
"Rasakan! Kau pantas menerima itu, dasar wanita penggoda!" Celia tersenyum puas.
Ia melangkahi Airin yang terjatuh di hadapannya, berniat menghampiri Keano yang masih mematung di tempat. Namun dengan cepat Airin menjegal langkah Celia dengan kakinya.
Membuat wanita yang menggunakan rok kurang bahan itu tersandung dan terjerembab dengan lutut menjadi tumpuannya.
Menyadari situasi yang sudah tidak kondusif, Keano segera menghampiri kedua wanita yang saling memandang penuh kebencian itu. Tak memperdulikan tatapan aneh orang-orang yang sudah menjadikan mereka objek tonton gratis.
Keano sudah tiba di lobi, dimana dua wanita itu sama-sama terduduk di atas lantai. Dia lantas membantu Airin berdiri, membuat Celia semakin geram.
"Murahan!" cerca Celia mencoba berdiri, dengan tetap menatap tajam Airin yang kini sudah berdiri tegap.
"Menyingkirlah!" ketus Airin mendorong Keano menjauh. Tak ingin membuat suasana semakin kacau.
"Aku bisa gila jika terus ada di sini." Airin memilih pergi meninggalkan mereka, sebelum para penonton sempat membeli popcorn.
"Hey! Berhenti, dasar pelakor. Aku belum selesai denganmu!!" teriakan Celia mampu mengalihkan atensi orang-orang sekitar, mereka menatap tajam wanita yang diteriaki pelakor sambil berbisik-bisik ria.
Keano lagi-lagi malah menahan tangan Airin.
"Biar aku antar pulang. Aku yang membawamu dalam situasi ini," tawar Keano.
"Lepas!" Airin menghentakkan tangannya, dengan bahu yang mulai bergetar.
"Keano!" Celia mencekal satu tangan Keano yang bebas.
"L-lepas, Ke .... " Airin sudah kesulitan menahan air bening itu agar tidak jatuh.
Bahkan suaranya sudah terdengar parau.
Tatapan cemooh dari orang sekitar membuat mental Airin kembali down. Dada yang terasa sesak membuatnya hampir limbung saat Keano sudah melepas genggaman tangannya.
Keano ingin membantu Airin, namun posisinya sekarang sangat tidak menguntungkan. Celia terus saja menarik tangannya tak mau kalah. Wanita itu memang keras kepala.
Airin segera berlari keluar apartemen meski di luar awan sudah mulai menggelap. Sepertinya akan turun hujan.
Airin terlalu sibuk menata hatinya, hingga ia tak menyadari seseorang berhoodie hitam yang berdiri tak jauh dari gedung apartemen, sedari tadi menatap tajam ke arahnya.
Di bawah naungan pekatnya awan yang kini sudah mencurahkan air beningnya ke bumi, Airin berjalan sendirian, membiarkan tubuhnya di basahi air hujan.
Menarik nafas dalam untuk menghirup aroma rumput dan tanah yang basah, merasakan segarnya air yang menerpa wajah.
Setelah sekian lama ia tak menikmati rinai hujan seperti ini. Sembari merentangkan tangan, Airin menengadah.
Hujan semakin deras. Tak terasa air matanya tiba-tiba mengalir tanpa bisa dihentikan. Airin pun tak berniat menghentikannya, toh dia menangis di tengah hujan.
Ia menikmati hujan kali ini, karena mereka bisa menyamarkan bulir air mata yang jatuh tanpa ijin.
Merasakan hujaman air yang lama-lama terasa menyakitkan di wajahnya, tapi tentu tidak sesakit hatinya sekarang. Kata-kata kejam dari mulut Celia masih terngiang-ngiang di telinganya.
'Benarkan, hujan itu menyakitkan.' simpulnya dalam hati.
Mereka mampu menyakiti secara fisik dan mental. Kenangan akan mereka terus menghantui Airin hingga saat ini.
Airin tersentak, karena hujan yang tiba-tiba berhenti.
"Apa? Sudah reda. Kenapa secepat ini? Padahal tadi sangat deras," gumamnya sembari membuka mata.
Airin merasa ada yang janggal. Maka ia menoleh ke belakang, manik coklatnya yang sembab langsung bertemu dengan netra teduh yang selama ini selalu sukses membuat hatinya menghangat.
"R-Rain?" Airin terbata.
'Kenapa Rain selalu datang di waktu yang tepat?' batin Airin, speechless.
Seperti malaikat berpayung yang selalu menyertainya dimana pun ia sedang membutuhkan tempat untuk bernaung.
"Aku melihat mobil pria yang membawamu tadi di apartemen sebelah sana. Aku pikir—"
Dug!
Airin menabrakkan dahinya di dada bidang Rain. Membuat pria itu tidak jadi melanjutkan ucapannya. Ia menunduk, menatap pucuk kepala Airin yang basah dengan nanar.
Ia tahu, Airin sedang bersedih.
"Tak usah khawatir, aku sudah menyediakan bahu yang kuat untuk menahan kesedihanmu, bersandarlah," tawar Rain, sambil membenarkan payung yang ia bawa agar cukup untuk menaungi Airin dan dirinya.
"Aku hanya ingin mendamaikan luka yang dia tinggalkan. Tapi kenapa sesulit ini?" racau Airin disela isakannya.
Kini baju Rain sudah basah, terkena tetesan air mata juga rambut Airin. Pemandangan itu tak lepas dari mata tajam seseorang di seberang sana. Orang berhoodie hitam itu terus saja mengawasi pergerakan incarannya.
Airin tak pernah ragu ataupun sungkan jika menangis di depan Rain. Seolah Rain-lah tempatnya menumpahkan air mata.
"Berdamailah dengan perasaanmu sendiri. Tidak baik terus menyimpan dendam dalam hati. Tak perlu juga terus mengutuk keadaan. Mari pulang. Akan aku buatkan cokelat panas," ajak Rain yang merasakan tubuh Airin sudah mulai menggigil kedinginan.
Nampaknya payung yang ia bawa tak mampu menghalau dinginnya udara yang semakin menusuk kulit hingga merasuk ke dalam tulang.
Berbeda sekali dengan dua insan yang sedang berada di dalam kamar apartemen. Bernaung di dalam selimut tebal yang menghangatkan tubuh polos mereka.
Ruangan semakin panas tatkala wanita itu dengan agresif bergerak di atas tubuh polos rekan bergulatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Bunda Abizzan
Airin, Qonita datang lagi...
Please ah, lupalan si Kekeke itu.
2022-07-13
1
Bunda Abizzan
Ampun dah 🤨
2022-07-13
1
Bunda Abizzan
🥴
2022-07-13
1