Bukannya mengantar ke rumah, Keano justru membawa Airin ke sebuah apartemen tempatnya menginap. Pria itu tampak sedikit sumringah, karena Airin tak menolak ajakannya sama sekali.
Ceklek.
Setelah membuka pintu dengan susah payah, karena Airin masih setia berada di gendongannya, Keano segera mendudukkan Airin di atas sofa.
Wajah Airin masih dipenuhi air mata yang sedari tadi tak surut-surut. Keano segara pergi ke dapur untuk mengambilkan segelas air untuk wanita itu.
"Minum dulu, Rin," tawarnya, menyodorkan segelas air putih.
Prang!
Airin menepis gelas di hadapannya. Lalu berdiri dengan tatapan marah.
"Sudah aku bilang berapa kali. Tolong jangan usik ketenanganku. Berhentilah menghantui kehidupan yang sudah susah payah kubangun. Kau dengar?! Apa kau belum cukup puas dengan ulahmu yang sudah menghancurkanku selama ini, huh?!" tukas Airin, dengan penuh penekanan di setiap kalimatnya.
Ia terlalu kalut dengan kedatangan Keano yang tiba-tiba. Takut hal ini akan berdampak pada kehidupannya dan Zia. Sebisa mungkin ia menyingkirkan pria begajulan di depannya itu dari kota ini.
Keano yang melihat reaksi di luar harapan itu hanya bisa mematung di tempat dengan mulut menganga, namun tidak ada satu patah kata pun keluar dari bibirnya.
Airin mencoba mengatur nafasnya kembali.
Ruangan kembali senyap. Keduanya saling pandang dalam keterdiaman. Mata Airin mulai memanas, sepertinya air bening akan mengalir kembali. Bibirnya sudah mulai bergetar.
"Aku berusaha, tapi seakan-akan tangan dan hatiku ini punya pikirannya sendiri," kilah Keano, memecah keheningan.
"Apa maksudmu menyusulku kemari? Kau membuntutiku? Oh, apakah pekerjaanmu sekarang menguntit orang lain?"
"Bukan--"
"Sudahlah. Aku tidak butuh penjelasan apa pun darimu. Aku mau pulang," pamit Airin sambil berlalu.
"Oh iya .... " Airin berbalik menatap Keano.
Plak!
"Akh!"
Keano memegangi pipinya yang panas akibat tamparan keras Airin yang tiba-tiba, membuatnya tak bisa menghindar.
"Itu untuk mas Rain," imbuh Airin sebelum melangkah menuju pintu.
"Tunggu, Rin!" Tangan Keano segera menahan kepergian Airin.
"Lepas!" titah Airin tanpa berbalik.
"Ada yang ingin aku tanyakan."
"Maaf, aku tidak mau dengar. Tolong lepas!" Airin menarik-narik tangannya, namun percuma. Cengkeraman tangan Keano lebih kuat.
"Apa maumu?!" Akhirnya Airin berbalik dengan tatapan membunuh. Wajahnya sudah merah padam menahan kesal.
"Kenapa hingga sampai saat ini kau belum menikah?"
Deg.
Mata Airin terbelalak mendengar pertanyaan itu.
'Darimana Keano bisa tahu hal itu?' batin Airin terkaget.
"Apakah ... Kau masih menungguku?" tanya Keano dengan raut penuh selidik.
Airin tersenyum remeh, menyembunyikan perasaannya yang sedang panik.
"Jangan bermimpi."
"Bukankah itu mimpi kita berdua?" Keano mulai mengungkit masa lalu.
Airin tersenyum kecut.
"Ya, itu mimpi kita. Tapi dulu, sebelum kau menghancurkan semuanya."
"Airin, aku bisa jelaskan. Please, kali ini tolong dengarkan aku."
"Tapi tolong lepaskan tanganku. Ini sakit," cicit Airin sambil menggoyang-goyangkan tangannya yang mulai tidak nyaman.
Bukannya cengkeraman Keano yang menyakitinya. Tapi, sentuhan itu kembali membuat jantungnya berulah. Tak bisa dipungkiri, jika bersentuhan dengan pria yang sudah merenggut kesuciannya itu, selalu bisa membangkitkan desiran aneh dalam hatinya.
Desiran halus yang menjalar hingga ke seluruh tubuh. Membuat setiap syarafnya menegang. Jantung serasa bekerja lebih keras. Hingga membuat nafasnya memburu.
"Maaf .... " Keano melepas cengkeramannya.
Airin pun bisa bernafas lega. Hormon menyebalkan dalam tubuh mulai menghentikan aktivitasnya.
Drrtt... Drrttt...
Tiba-tiba ponsel Keano bergetar.
"Tunggu sebentar."
Keano memeberi isyarat agar Airin tetap berada di tempat, sementara dirinya melangkah mendekati jendela di ujung ruangan untuk mengangkat telepon.
"Huhh!"
Airin mendengus kesal sambil melipat tangannya di depan dada.
Airin menghentak-hentakkan kaki. Semakin kesal menunggu Keano yang tak kunjung menyudahi sambungan teleponnya.
'Sialan dia. Emosiku sedang menggebu-gebu, dia malah enak-enakan ngobrol di telpon,' batin Airin, kesal.
"Ke ... Aku tak punya waktu banyak. Pekerjaanku masih menunggu. Aku pamit!" teriak Airin yang sudah jenuh.
Tanpa menunggu jawaban, ia langsung keluar dari ruangan.
"Airin! Tunggu!"
Keano segera menyelesaikan panggilannya kemudian menyusul Airin.
"Tunggu, Rin," cegah Keano yang sudah mensejajarkan langkahnya.
"Maaf, aku sibuk." Airin tetap melangkah tanpa memperdulikan pria di samping yang sedang mengeluarkan jurus tatapan mautnya.
"Tak adakah kesempatan untukku, Rin? Sekali saja. Aku masih mencintaimu."
Airin menghentikan langkahnya, kemudian menoleh ke arah Keano dengan cepat.
"Lupakan cinta. Setiap kata yang keluar dari mulutmu itu semuanya sudah basi."
"Kenapa kau belum menikah? Dan siapa yang kau panggil sayang di telpon waktu itu? Apakah dia—"
"Kenapa? Apa pedulimu?!"
"Tentu saja aku peduli. Apakah kau sesayang itu padanya, hingga kau mengacuhkan perasaanku?"
"Apa kau bercanda? Tentu aku menyayanginya melebihi siapapun di dunia ini," jawab Airin tak percaya dengan yang Keano tanyakan.
Tentu saja. Karena yang menelponnya adalah Zia. Mana mungkin seorang ibu tak menyayangi darah dagingnya sendiri. Menurutnya pertanyaan Keano sangat konyol.
"Aku tak tahu jika kau bisa menyayangi seseorang sebesar itu."
Keano tersenyum miring. Membuat Airin meradang. Enak saja pria itu seenak jidat meragukan rasa sayangnya pada anak sendiri. Apa dia tidak punya cermin di rumah?
"Kau pikir siapa yang sudah membuatku kuat selama ini? Kau sudah menyakitiku teramat dalam, Ke. Kalau tidak ada dia, mungkin aku sudah hancur. Bisa-bisanya kau meragukan rasa sayangku padanya," sungut Airin yang sudah menaikan nada bicaranya satu oktaf.
Keano mendengus, seolah putus asa.
"Kupikir, aku bisa memperbaiki kesalahanku padamu ... " lirihnya.
"Tidak akan ada yang berubah, Ke. Kita sudah mempunyai kehidupan masing-masing. Kembalilah pada kehidupanmu tanpa aku. Begitu pula biarkan aku tenang dengan hidupku yang sekarang."
"Tapi, Rin .... " Keano meraih kedua tangan Airin, menariknya agar menatap kedua monolid eyes-nya yang mulai memerah.
"Please, Ke. Lepas! Jangan seperti ini..." Airin menunduk, takut tak kuat iman, karena terhipnotis dengan ekspresi wajah Keano yang dari dulu mampu membuat hatinya luluh.
'Airin. Kau tak boleh lemah!' tekad Airin dalam hati.
"Lepaskan tangan kotormu dari Keano!" teriak seseorang yang entah datang dari mana.
Sret!
Tiba-tiba orang itu menarik kasar tangan Airin agar lepas dari genggaman Keano. Pria itupun sama terkejutnya dengan aksi makhluk tak diundang tersebut.
Keano memandangi punggung wanita yang sedang menyeret paksa Airin agar menjauh darinya.
"C-Celia .... " gumamnya, dengan raut wajah tercengang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Bunda Abizzan
Tolong Keano, kamu cuma bawa masalah utk Airin, jadi please pergi jauh-jauh
2022-06-26
1
Author yang kece dong
Semangat kak author 💪🤗
2022-06-22
2
Nona_Sulung
dassar kepedean
2022-06-11
1