Mentari Resto
Airin menempatkan diri di samping Rain setelah dari toilet.
"Maaf, kami makan duluan," ujar Rain merasa tidak enak, karena sudah mulai makan tanpa menunggu Airin. Tangannya kini telah menyuapkan salad ke dalam mulut.
"Tidak masalah. Maaf terlalu lama di kamar mandi," balas Airin sambil mengamati Zia yang duduk di depannya, sedang fokus dengan spaghetti carbonara favoritnya.
Spaghetti carbonara juga makanan kesukaan Keano. Airin gelang-geleng kepala, jika mengingat Zia sangat mirip dengan Keano. Termasuk kepribadian juga kesukaan. Padahal mereka belum pernah bertemu sama sekali.
"Sttt... " Rain menyenggol pelan lengan Airin.
"Apa, Mas?"
"Humm.... " gumam Rain menunjuk-nunjuk pipinya sendiri berniat memberitahu jika di pipi Airin ada sebutir nasi yang menempel, karena mulutnya sedang penuh.
Airin melotot sambil menggeleng. Kemudian memakan nasi goreng pesanannya lagi sambil memperhatikan Zia.
"Hasii...."
Kata itulah yang dapat ditangkap oleh telinga Airin dari mulut Rain yang sedang penuh. Masih dengan jari telunjuk menunjuk pipi kanannya.
"Jangan di sini, Mas. Malu," sahut Airin yang sama sekali tidak nyambung.
Rain memelototinya, kesal.
"Iya, deh," balas Airin yang membuat Rain lega karena paham dengan instruksinya.
Namun reaksi Airin selanjutnya malah di luar dugaan. Bukannya menyingkirkan nasi yang bertengger di pipi. Wanita itu malah mendekatkan wajahnya ke pipi Rain yang ditunjuk tadi.
Cup!
Kecupan singkat mendarat di pipi Rain. Membuat pria itu terhenyak, dan langsung menelan makanan di mulut tanpa mengunyahnya lagi. Pipinya kini sudah semerah tomat.
Setelah mampu mengembalikan kesadaran, Rain langsung celingukan.
Berharap orang-orang di sana tidak melihat ulah mereka tadi. Namun sialnya pengunjung sekitar malah senyum-senyum memperhatikan mereka.
Rain mendelik. Langsung meraih dagu Airin agar menatap ke arahnya, lalu mengusap pipi Airin dengan lembut, menyingkirkan nasi si biang kerok itu. Kini Airin yang tersipu dengan perilaku manis Rain.
Zia yang sudah memperhatikan tingkah dua orang dewasa di hadapannya menyeletuk dengan muka polos, "Bunda sama Om Rain pacaran, ciee...."
...***...
Airin memandangi wajah teduh Zia yang tenang tertidur pulas dalam belaiannya. Tersenyum kecil mengingat kejadian di resto tadi. Gadis kecil itu sukses membuat Rain salting dengan celotehannya.
Mungkin Airin perlu mempertimbangkan lamaran yang beberapa bulan lalu sempat Rain ajukan. Namun luka di masa lalu lagi-lagi mampu membuat dinding pertahanannya semakin kokoh.
Bukannya masih menaruh rasa pada sang mantan. Airin hanya trauma, takut jika ia terlalu menyayangi seseorang, orang itu perlahan akan meninggalkannya. Cukup seperti ini saja dulu.
Airin sudah menganggap Rain seperti kakak kandungnya sendiri. Lagipula, dari dulu ia ingin sekali memiliki saudara, namun harapan itu harus pupus karena takdir berkata lain.
Airin sudah sangat bersyukur dengan kehidupannya sekarang. Memiliki anak yang pandai dan pengertian.
Malaikat kecilnya tumbuh dengan baik meski tanpa kehadiran seorang ayah. Tak jarang Zia menanyakan perihal kemana ayahnya pergi. Membuat Airin kelabakan menjawabnya.
Seolah pertanyaan itu adalah soal ujian yang sulit untuk dijawab. Jika bisa, Airin ingin melewatkan pertanyaan itu dan memilih menjawab pertanyaan yang lain.
Namun Zia tak akan puas jika belum mendapatkan jawaban yang logis.
"Ayah sedang pergi bekerja. Tapi jangan khawatir, ayah akan pulang suatu hari nanti."
Hanya kalimat itu yang Airin sanggup katakan pada Zia. Berharap agar putrinya mampu melanjutkan hidup tanpa ada kebencian yang tumbuh di hati pada sosok sang ayah.
Karena kebencian melahirkan dendam. Airin tak sanggup jika putrinya akan menjadi seorang pendendam.
"Semoga ayah di sana baik-baik saja. Supaya pekerjaannya cepat selesai, lalu pulang ke rumah. Zia rindu sama ayah," balas Zia kala itu.
"Bunda juga rindu."
Airin tak sengaja mengucapkan kalimat itu, ia hanya mengikuti kata hati.
Airin menatap hangat wajah malaikat kecilnya. Anugerah Tuhan paling berharga yang dititipkan kepadanya di tengah kesukaran hidup yang dijalani.
Disaat Airin merasa dunianya sudah hancur, Zia hadir membawa serta semangat yang pernah pudar. Zia lah alasan Airin bisa bertahan hingga saat ini.
Menyesal dulu pernah hampir merenggut hak hidup anaknya sendiri, karena tekanan dari banyak pihak.
Apalagi statusnya yang hamil di luar ikatan pernikahan. Pandangan masyarakat sekitar yang suka menghakimi tanpa tahu duduk permasalahan adalah alasan utama bisikan setan mampu menembus pikirannya.
Di lain tempat, namun masih di kota yang sama.
Seorang pria baru saja merebahkan diri di atas ranjang apartemen yang disewanya.
Perjalanan jauh menggunakan mobil membuat punggungnya terasa hampir remuk.
Pria itu mengamati nomor yang berjajar di layar ponselnya. Ragu, apakah ia harus menelpon, atau mengirim chat, atau bahkan tidak menghubunginya sama sekali.
"Kenapa aku seperti seorang pengecut?" gumamnya.
Pip.
Dengan jempol sedikit bergetar, pria itu memencet tombol yang menghubungkannya dengan seseorang.
Tuuttt... Tuuttt... Tuuttt...
Panggilan tersambung, namun tidak ada yang mengangkatnya.
Pip.
Pria itu lantas segera memutus panggilan sambil bernafas lega.
"Baiklah, dia sudah tidur," ujarnya, tersenyum lega.
Setelah mengucapkan kalimat itu, tiba-tiba ponselnya berdering. Matanya langsung terbelalak menatap nama orang yang sedang menghubunginya.
Drrttt... Drrttt...
"What?! Airin telfon balik?!"
Kamar Airin.
Drrttt... Drrttt...
Ponsel di atas meja nakas bergetar. Membuat Airin tersentak dari lamunan. Alisnya tertaut saat mengamati nomor tak dikenal baru saja menghubunginya.
Berpikir jika nomor itu mungkin saja milik salah satu pelanggan Rain Cafe, tempatnya bekerja. Airin pun segera menghubunginya balik.
"Halo? Assalamu'alaikum?" sapa Airin, saat orang di seberang sana mengangkat telfonnya.
Sunyi. Tak ada jawaban.
"Maaf, dengan siapa, ya? Apakah ada perlu dengan--"
Tut. Tut. Tut.
"Eh?" Airin mengamati ponselnya sejenak.
"Mungkin salah sambung," tebaknya, sebelum kembali mendekap tubuh mungil Zia yang mampu membuat hatinya tenang hingga ikut terlelap dalam kehangatan.
Sangat berbeda dengan seseorang di seberang sana yang hatinya sedang berkecamuk, gelisah tak karuan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
tria sulistia
ada satu kata yang kurang kak ran
2022-06-28
1
Bunda Abizzan
Ayolah Airin, coba buka hatimu utk selain dia
2022-06-26
1
Bunda Abizzan
Oh Airin, rasa cintamu lebih besar dari rasa bencimu akibat ulah laki-laki itu.
2022-06-26
1