Airin POV
Sedikit terkejut, saat pria batu itu membawaku ke sebuah mansion. Setelah insiden paksa memaksa yang menguras emosi, akhirnya aku bersedia masuk ke dalam kediamannya yang terkesan mewah namun sepi.
Kemana orang tua Keano? Bahkan di dalam aku tak menjumpai siapapun, termasuk pelayan atau ART. Apakah setelah berpisah dengan Celia, pria batu itu hidup seorang diri?
Aku diarahkan menuju kamar di lantai dua. Keano menyuruhku untuk berganti pakaian dengan dress yang tadi sempat dibelikannya untukku.
Menolak pun percuma, dia itu batu yang benci penolakan.
Astaga! Dress ini kurang bahan apa gimana? Kenapa kecil sekali. Pasti Keano sengaja ingin mengerjaiku.
Huh, dasar menyebalkan! Sepertinya ada yang salah dengan kepalanya.
Ceklek.
Aku terkejut mendapati Keano yang sudah duduk di atas ranjang sambil mengamatiku keluar dari kamar mandi, dengan seringai setannya.
"Wow," gumamnya, dengan tatapan menggoda yang terus mengamatiku intens dari atas ke bawah.
Ingin kucolok saja mata kurang ajar itu. Ya, walau tak bisa dipungkiri jika dia pernah melihatku tanpa busana sekalipun. Tapi itu dulu. Sekarang kita hanya dua orang asing yang tidak sengaja dipertemukan oleh waktu.
Ku pikir dengan penghianatan yang dilakukannya dulu, aku sudah move on sejak memutuskan untuk pergi dari hidupnya. Tapi, siapa yang harus aku bohongi? Hatiku?
Nyatanya bayang-bayang dirinya masih saja hadir berseliweran dalam mimpiku selama ini. Meski ada perasaan marah, kesal, dan benci, namun terkadang rasa itu hilang karena rindu. Apalagi saat melihat buah cinta kami yang bisa dibilang sangat mirip dengannya.
Bagaimana aku bisa melupakan seseorang jika replikanya saja selalu ada di dekatku?
"Aku mau pulang."
Ya, aku harus segera pulang sebelum semuanya semakin rumit. Berurusan dengan manusia berhati batu benar-benar menguras emosi dan tenaga.
"Kita makan dulu, ya? Aku sudah memesan beberapa makanan untuk kita," tawar Keano, sembari mengendikkan kepalanya pada plastik besar di atas karpet bulu.
Ya ampun, bahkan aku sampai lupa dengan cacing di perut yang sudah mulai menabuh genderang perang.
Aku mematung di tempat. Bahkan setelah sekian lamanya, dia masih begitu perhatian padaku. Tapi aku tak boleh masuk ke dalam perangkapnya lagi.
Bisa saja ini hanya strategi marketing untuk menggaet hatiku agar jatuh ke dalam hatinya kembali. Dasar makhluk sok manis. Aku harus waspada. Sudah cukup pria seenaknya itu memporak-porandakan kehidupanku.
Keano mengeluarkan satu persatu kotak makanan yang ia pesan. Salah satu menunya yang dibungkus dengan plastik mika, mampu mengalihkan atensiku.
"Tidak usah. Aku tidak lapar, " tolakku berbohong.
Padahal aku sudah hampir ngiler melihat makanan yang dipesan olehnya.
Ekor mataku terus mencuri pandang ke salah satu makanan di sana. Oh, terong balado. Sudah lama sekali aku tidak memakanmu.
Terakhir, saat masih tinggal seorang diri di apartemen dan saat itu aku masih berstatus sebagai pacar Keano. Ah, sial kenapa juga dia masih ingat makanan kesukaanku?
Stop! Flashback masa lalu itu lama-lama mengganggu pikiranku saja.
Kruyukk Kruyuukk..
Bunyi perut yang terdengar sangat nyaring. Aku terbelalak ketika para cacing biadab di perutku mulai berulah. Benar-benar mengajak perang mereka ini.
Keano melihat ke arahku sambil tersenyum miring. Wajahku sudah panas dibuatnya.
"Kalau lapar bilang. Sini dong, makan sama-sama. Tidak aku tambahkan racun atau obat perangsang, kok. Tenang saja," ujarnya santai.
Keano sudah duduk di atas karpet sambil memindahkan nasi dari kotak ke atas piring yang tadi telah dia siapkan.
Sialan. Dia bisa sesantai itu mengucapkan kalimat tak beradab saat hanya berduaan dengan wanita.
Aku pun menyerah. Dengan terpaksa mengambil tempat di sampingnya. Lalu mulai memakan makanan yang disajikan agar bisa segera pulang.
Sunyi, dan sedikit canggung. Kami makan dengan keterdiaman. Hanya terdengar alat makan yang saling beradu. Aku mulai tidak nyaman dengan kebersamaan ini.
"Kau belum menjawab pertanyaanku," Keano membuka pembicaraan saat kami tengah menikmati makanan.
"Yang mana?"
"Apakah kau sudah menikah?"
"Uhuk ... Uhuk ... " Aku tersedak mendengar pertanyaan sederhana itu.
"Hati-hati makannya."
Keano menyodorkan segelas air yang langsung kusambar sebelum makanan itu berhasil menyumbat pernafasanku.
Drrttt... Drrttt...
Syukurlah, ponselku berbunyi disaat yang tepat. Jadi pertanyaan Keano bisa teralihkan. Bisa ge-er dia, jika tahu aku belum menikah sampai saat ini.
Dia mungkin akan menganggapku masih menunggunya, hingga belum menikah diusia yang bisa dibilang sudah matang. Tapi bukan itu alasanku.
"Halo? Oh, iya sayang. Sebentar lagi acaranya selesai kok. Iya. Iya. Dah, sayang. Muach."
Pip
"Sepertinya pertanyaanku sudah terjawab," sambar Keano, ketika aku baru saja memutuskan sambungan telepon.
"Apa?" tanyaku tak mengerti.
"Biar kuantar pulang," sahutnya, yang tidak nyambung sama sekali dengan pertanyaanku.
"Rumahku jauh. Lagi pula, aku tidak butuh bantuanmu," tolakku lagi, sembari membereskan peralatan makan dan sisa makanan di atas karpet.
"Biar aku saja."
Keano mengambil piring kotor dari tanganku, lalu membawanya keluar kamar.
"Terserah," balasku sambil mengangkat bahu.
Diam-diam aku tersenyum tipis. Sepertinya waktu sudah mengubah Keano yang manja menjadi pria dewasa yang mandiri.
Lama menunggu di kamar, namun Keano tak kunjung muncul. Aku berniat mencari makhluk itu. Tak bisa menunggu lebih lama lagi untuk berpamitan. Seseorang sudah menungguku di rumah.
Namun aneh. Kenapa aku tak menemukan dia dimana pun? Ku telusuri setiap ruangan yang ada. Kosong. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Lantai bawah pun tampak lenggang.
Sret!
Saat hampir mencapai halaman belakang, seseorang menarik tubuhku ke belakang. Karena terkejut, juga tarikan itu terlampau kuat, membuatku gagal mempertahankan keseimbangan.
Brugh!
"Awh," rintihku pelan saat terjatuh di atas kasur yang empuk.
Tunggu!
Sejak kapan ada kasur di sini?
Perlahan aku membuka mata.
Deg!
Pemandangan yang mampu membuat waktu seakan berhenti. Manik mata indah namun tajam yang selalu membuatku terpana, kembali dapat kusaksikan secara langsung setelah sekian lamanya.
Aku mulai terbuai dengan permainannya. Melakukan hal yang sudah 6 tahun tak kulakukan dengan pria manapun.
Sensasi panas di bibir yang kusambut dengan suka rela, perlahan turun ke leher.
Tidak. Ini salah.
Segera tersadar dari kebodohanku saat merasakan gigitan kecil di atas dada yang tidak tertutup karena dress sialan ini terlalu terbuka.
"M-maaf ... " lirihku, langsung berdiri dari posisi tumpang tindih kami. Dimana tubuhku yang berada di atas.
Aku berlari ke luar mansion dengan air mata yang sudah tumpah ruah.
"Bodoh! Dasar bodoh!" umpatku pada diri sendiri.
"Airin tunggu!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Bintang Laut
Ehm, ,Hampir, tapi masih aman
2022-08-15
0
Bunda Abizzan
Maaf Airin, Kamu terlalu lemah saat berhadapan dengan Keano 🙄
2022-06-23
1
Bunda Abizzan
🙈🙈🙈
2022-06-23
1