Di dalam ruangannya, Dokter yang bernama Dr. Fatima, Dokter yang bertugas untuk menangani Zahra duduk dengan cemas di depan tuannya, ia sedikit merasa waswas untuk menyampaikan prediksinya terhadap kondisi Zahra.
“Tuan, saya harus menyampaikan sesuatu yang mungkin bisa membuat Anda sulit untuk menerimanya,” ucapnya pelan.
“Katakan!” perintah Zain dengan dingin, sosok rapuh yang tadi ia tunjukkan di dalam ruangan Zahra telah tergantikan dengan sosok dinginnya.
“Tuan, sebaiknya Anda membawa Ny. Zahra untuk mendapatkan perawatan khusus dari Dr. Psikiater karena kondisi kejiwaannya sedikit terguncang,” jelas Dr. Fatima dengan hati-hati.
“Istri saya tidak gila, Dokter! Anda jangan berani macam-macam!” bentak Zain.
“Saya tidak mengatakan bahwa Ny. Zahra memiliki gangguan jiwa atau gila, Tuan. Saya hanya menyarankan agar membawa Ny. Zahra ke psikiater agar istri Anda mendapatkan penanganan yang tepat.” Dr. Fatima sangat profesional, ia begitu tenang menghadapi emosi Zain yang tidak stabil, meskipun tadi merasa sedikit khawatir menghadapi tuan muda pemilik tempatnya bekerja.
Zain keluar begitu saja dari ruangan Dr. Fatima dengan wajah lesu. Ia melangkahkan kakinya menyusuri lorong rumah sakit menuju lift dan masuk ke dalamnya.
Zain melangkahkan kakinya di atap gedung dan berjalan ke tepi pembatas gedung. Angin bertiup kencang membuat pakaiannya berkibar dan rambutnya beterbangan.
“Aaaakh!!!!” Zain berteriak kencang melampiaskan emosi yang penuh menyesakkan di dalam dadanya.
Belum pernah Zain merasa terpuruk seperti ini, bahkan dulu ketika ia di tinggal pergi ayahnya dan harus kehilangan adiknya Zain tidak merasa serapuh ini, karena dulu ia masih terlalu kecil dan belum begitu memahami akan arti sebuah kehilangan.
Malam harinya Zain menemani Zahra di dalam kamar rawatnya, Zain dibuat terkejut ketika mendapati Zahra yang terbangun dengan menangis histeris, bahkan semakin histeris ketika melihat keberadaannya.
Akhirnya Dr. Fatima meminta Zian untuk keluar dari kamar tersebut, namun Zain enggan untuk meninggalkan Zahra yang mengamuk.
“Tuan, saya mohon Anda keluar dari kamar ini. Lakukanlah demi istri Anda!” pinta Dr. Fatima dengan nada sedikit memerintah Zain.
Zain tetal diam berdiri di tempat tanpa mendengarkan permintaan Dr. Fatima.
“Tuan. Jika Anda tidak menginginkan istri Anda benar-benar menjadi gila, tolong segera tinggalkan kamar ini!” seru Dr. Fatima, melupakan siapa orang yang di hadapannya, ia tidak memikirkan hal tersebut, baginya keselamatan pasiennya adalah hal yang paling utama.
Dengan langkah berat, Zain menyeret kakinya keluar dari kamar rawat Zahra. Ia duduk di depan kursi tunggu di lorong itu dengan menangkupkan kedua tangannya di wajahnya..
Barra berjalan menghampiri tuannya. “Tuan, sebaiknya Anda makan dulu. Sejak kemarin Anda belum memakan sesuatu.”
“Aku tidak lapar, Barra!”
“Setidaknya Anda harus makan sedikit, Tuan!” desak Barra.
“Nanti aku akan makan jika lapar.”
Seseorang menarik tangan Zain membuatnya mengangkat kepalanya. Ia hendak memarahi orang yang mengganggunya namun urung ketika melihat siapa orang tersebut.
“Jika kamu sakit, siapa yang akan merawat Zahra? Jika Zahra sadar dan mendapati suaminya sekarat, dia pasti akan menyalahkan dirinya sendiri.”
“Mommy ...,” lirih Zain lalu memeluk tubuh ibunya.
“Menangislah! Seseorang tidak akan dianggap lemah jika meneteskan air matanya untuk orang yang disayanginya.” Ny. Amara mengusap kepala putranya dan membalas pelukan Zain.
Ny. Amara bergegas menuju rumah sakit setelah mendapat kabar dari Barra tentang kondisi Zahra dan Zain yang mengabaikan dirinya sendiri sejak kemarin.
“Makanlah, Zain. Mommy tahu perasaanmu, tapi jangan sampai kamu mengabaikan kesehatanmu sendiri.”
Zain melepas pelukannya dan memalingkan wajahnya.
“Ck! Kenapa melengos begitu! Dulu saja selalu merengek di ketiak mommy!” ejek Ny. Amara lalu memukul pelan bahu putranya.
Ny. Amara duduk di sebelah Zain dan meminta kotak makan dari tangan Barra.
“Kamu boleh istirahat!” perintahnya kepada Barra.
“Saya akan di sini menemani Anda dan tuan muda, Nyonya,” tolak Barra sopan.
“Kamu juga mau menjadi pembangkang seperti tuanmu? Kelamaan bekerja dengannya membuatmu menjadi keras kepala sepertinya!” kesal Ny. Amara.
“Maaf, Nyonya.”
“Aku tidak meminta maafmu! Cepat pergi makan, mandi! Berapa lama kamu tidak mandi?” tanya Ny. Amara sambil memicingkan matanya menatap wajah Barra.
Barra mencium tubuhnya sendiri. “Maaf Nyonya, kalau begitu saya permisi sebentar. Jika Anda memerlukan sesuatu segera hubungi saya, Nyonya.”
“Tidak perlu, aku bisa melakukannya sendiri. Lagi pula di tempat ini banyak anak buahmu yang berjaga.”
“Saya permisi, Nyonya.” Barra pamit dan meninggalkan tempat itu.
Ny. Amara membuka kotak makan di tangannya dan menyuapi putranya.
“Makanlah!” perintahnya.
Zain tanpa membantah memakan makanan itu dari tangan ibunya. Sudah lama sekali ia tidak merasakan makan dari suapan tangan ibunya, tanpa disadari setetes air mata jatuh membasahi pipinya.
“Jangan cengeng!”
...*****...
Pagi itu Zain menyempatkan dirinya untuk pulang ke mansion setelah beberapa hari tidak menginjakkan kakinya di rumah besar itu.
Tanpa basa-basi, Zain langsung memanggil Clarisa dan memberikan berkas perceraian mereka yang sudah ditandatangani olehnya.
“Cepat tandatangani surat itu!” perintahnya.
“Aku tidak mau, Zain. Maafkan aku, aku janji akan meninggalkan dunia model untukmu.” Clarisa memohon dan merengek kepada Zain.
“Cepat! Jangan membuang-buang waktu berhargaku!” seru Zain tanpa menatap ke arah Clarisa.
Clarisa menggelengkan kepalnya dan menangis di depan Zain.
“Gara-gara dirimu aku harus berjauhan dengan istriku!”
“Aku juga istrimu, Zain!” sela Clarisa.
“Tak pernah sekalipun aku mengganggangmu sebagai seorang istri! Ingat itu!” teriak Zain.
Zain menarik tangan Clarisa dan memaksanya untuk menandatangani surat itu.
Setelah berhasil mendapat tanda tangan dari Clarisa, Zain mengeluarkan selembar cek kosong di atas meja.
“Ambillah! Dan isi sesuka hatimu, setelah ini jangan pernah muncul di depanku lagi! Akan lebih baik jika kamu pergi meninggalkan negara ini!”
Zain bangkit dan berjalan meninggalkan Clarisa tanpa sedikit pun merasa kasihan dengan wanita itu.
“Oh ya, tidak akan ada agen ataupun manajemen mana pun yang akan menerimamu kembali di dunia permodelan!” serunya sebelum menghilang dari pandangan Clarisa.
“Zain!”
Zain menghentikan tangannya yang hendak membuka pintu mobil karena seseorang menyerukan namanya.
“Zain, mommy ikut ke rumah sakit ya!” pinta Ny. Amara dengan napas tidak teratur karena berlari mengejar putranya.
Zain menoleh ke arah ibunya dan menatapnya sebentar.
“Masuklah!” ucapnya datar lalu masuk ke dalam mobil dengan diikuti Ny. Amara yang mengembangkan senyumnya.
Zain melangkahkan kakinya menyusuri lorong rumah sakit diikuti ibunya yang mengekor di belakangnya. Sepanjang perjalanan orang-orang menunduk hormat ke arahnya.
Kesehariannya kini hanya fokus kepada kesembuhan Zahra. Masalah pekerjaan ia serahkan sepenuhnya kepada Barra.
Zain menghentikan langkahnya di depan sebuah kamar VVIP yang selama sepekan ini menjadi tempat perawatan Zahra, Zain hanya melihat wajah istrinya dari balik kaca pintu itu.
Sejak kejadian tantrum yang dialami Zahra saat itu, Zain hanya bisa menatap wajah istrinya itu dari kejauhan. Karena Zahra akan kembali histeris dan mengamuk setiap melihat keberadaan laki-laki di dekatnya.
“Bagaimana keadaan Zahra, Zain?” tanya Ny. Amara yang berdiri di samping putranya.
Zain menoleh ke arah ibunya dan menatapnya dengan pandangan yang sulit di artikan.
Ny. Amara menepuk bahu putranya. “Bersabarlah Zain, semua akan kembali seperti semula. Mommy yakin Zahra adalah anak yang kuat, dia pasti akan melewati semua ini.” Ny. Amara menatap ke arah putranya dengan penuh kesedihan.
“Mommy masuk dulu.”
“Jaga Zahra untukku, Mom!” pinta Zain.
“Tanpa kamu minta mommy akan melakukannya, Zain,” ucap Ny. Amara dengan mengembangkan senyum di wajahnya, lalu melangkah masuk ke dalam kamar rawat Zahra.
“Jangan salahkan dirimu, Zahra. Kamu tidak salah, aku yang bodoh karena saat itu meninggalkanmu begitu saja di dalam kamar hotel itu.”
Zain begitu menyesali perbuatannya waktu itu, karenanya Zahra selalu menyalahkan dirinya, dan beberapa kali Zahra mencoba untuk melukai dirinya.
Zahra mendapat perawatan khusus dan selama seminggu ke belakang keadaannya semakin membaik. Dokter memperkirakan Zahra hanya memerlukan waktu 2-3 bulan untuk kembali menerima keadaannya, namun tetap harus mendapatkan perawatan rutin dan pengawasan dari orang-orang di sekitarnya.
"Aku akan melakukan apa pun untuk kesembuhanmu, gadis kecil."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Risa Risa
harusnya zain pas pergi dr hotel ninggalin pesen utk zahra ...lah zahra pas bgn ingetnya dia diperkosa ama 2 org laki2..lupa dia klo suaminya yg main ama dia...masa gak inget sama sekali ya sizahra ...dia kan gak mabuk hanya dikasih obat ..
2022-10-25
1
Royhan Alfan
bgus sekli cerita y
2022-08-08
1
Bunda Abizzan
Barra, emangmya Kamu udah berapa lama gak mandi 🙊
Clarissa, selamat ya atas hadiahmu 😜
2022-06-29
1