Ny. Amara melangkahkan kakinya menuju lift khusus menuju lantai 3, ia ingin mendatangi ruang kerja Zain, ia tidak peduli dengan larangan rumah ini. Jika pun Zain marah, putranya tidak akan menghukum berat dirinya, paling hanya memarahinya atau sekedar mendiamkannya sebentar.
Tok! Tok! Tok!
Ny. Amara berdiri di depan pintu ruang kerja Zain dan mengetuknya. “Zain, mommy boleh masuk?” tanyanya.
“Masuk!” seru Zain dari dalam ruangan.
Ny. Amara dengan pelan membuka pintu itu, dan masuk ke dalamnya. Terlihat putranya duduk di kursi kerjanya dan asistennya yang berdiri di depannya.
“Apa mommy mengganggumu?” tanya Ny. Amara pelan.
“Tidak, Nyonya. Kami sudah selesai dengan pembicaraan kami,” jelas Barra yang mengerti jika tuan mudanya tidak akan menjawab pertanyaan ibunya.
“Aku tidak bertanya kepadamu!” ketus Ny. Amara, ia melampiaskan kekesalannya kepada Barra.
“Kalu begitu saya permisi, Tuan Muda. Hasilnya akan keluar besok pagi.” Barra pamit dan membungkukkan sedikit tubuhnya dan dibalas dengan anggukan kepala dari tuannya.
“ Saya permisi, Nyonya.”
“Hmm.”
Sepeninggal Barra, Ny. Amara mendekat ke arah putranya dan duduk di kursi depan meja kerja Zain.
“Zain!” panggil Ny. Amara merasa kesal karena putranya tidak menghiraukan kehadirannya.
“Hmm.”
“Bagaimana dengan permintaan mommy?” tanya Ny. Amara.
Zain menautkan alisnya, lalu menatap ke arah ibunya.
“Kamu masa lupa!” kesal Ny. Amara. “Kapan akan memindahkan Zahra dari rumah ini?” lanjutnya.
“Mommy!” seru Zain namun masih terdengar sopan.
“Ini demi anak kamu, Zain. Kamu tega melihat Clarisa merasa tidak nyaman dan tersiksa?”
“Mom! Please, jangan membahas masalah ini lagi!”
Zain bangkit dan berjalan keluar meninggalkan ibunya yang masih duduk di dalam ruangan itu.
“Zain!” kesal Ny. Amara memandang kepergian putranya.
...*****...
Keesokan harinya, Zahra duduk di depan ibu mertuanya, hanya berdua. Zain sibuk dengan pekerjaannya, sedangkan Clarisa entah menghilang ke mana.
“Ada apa Mommy memanggilku?” tanya Zahra dengan perasaan waswas.
“Kamu belum ada tanda-tanda hamil, Zahra?” tanya Ny. Amara menyelidik.
Zahra menggelengkan kepalanya pelan. “Belum, Mom.”
“Sudah tiga bulan lebih usia pernikahanmu dengan Zain, kamu belum juga hamil? Apa jangan-jangan kamu sengaja menundanya karena ingin melanjutkan kuliahmu?” Ny. Amara menatap tajam ke arah Zahra.
“Ti-tidak, Mom.” Zahra bingung harus menjawab apa, tidak mungkin dia mengatakan kebenaran bahwa putranya belum sekalipun menyentuhnya.
“Awas jika sampai kamu menundanya!” ancam Ny. Amara.
“Iya, Mom.”
“Aku kasih waktu selama 3 bulan ke depan, jika kamu belum juga hamil, aku pastikan Zain akan menceraikanmu dan menjadikanmu seorang janda!” peringat Ny. Amara kepada menantu mudanya.
Ny. Amara terpaksa mengancam Zahra karena dia tidak berhasil membuat Zain memindahkan Zahra dari mansion ini sesuai dengan keinginan Clarisa.
Di tempat lain, di dalam ruang kerja perusahaan ZM Corp., Zain duduk memejamkan matanya sambil bersandar pada sandaran kursi kebesarannya.
“Apa sudah keluar hasilnya?” tanya Zain tanpa membuka matanya.
“Sudah, Tuan Muda. Ini hasil laboratoriumnya.” Barra meletakkan map biru di atas meja.
“Buka!” titahnya.
“Baik, Tuan.”
Barra meraih kembali map tersebut dan perlahan mengeluarkan isinya. Sedetik kemudian senyum kecil terbit dari bibirnya.
“Hasilnya negatif, Tuan.”
“Ck. Berani sekali wanita itu bermain di belakangku! Bahkan mengerjai gadis manjaku dengan alasan mengidam!” dengus Zain.
Zain membuka matanya, lalu meraih kertas di tangan asistennya dan mencermati isinya. Ia teringat ketika memergoki Zahra keluar dari kamarnya. Bahkan belum seorang pun masuk ke dalamnya termasuk ibunya.
“Kumpulkan semua bukti kehidupannya di dalam dan luar negeri!”
“Baik, Tuan.” Barra berjalan ke arah pintu untuk menjalankan tugasnya.
“Lihat saja nanti! selama ini aku membiarkanmu karena kakekmu, dasar wanita bodoh!” ucap Zain dengan sinis.
‘Tuan Muda, saya titipkan cucu saya satu-satunya kepada Anda. Saya percaya Anda akan menjaganya seperti saya menjaganya. Sebelum saya meninggalkan dunia ini, saya ingin melihatnya menikah dengan laki-laki yang bisa menjaganya. Tuan. Nikahilah cucu saya Clarisa, Tuan.’
Zain teringat permintaan terakhir kakek Clarisa, orang kepercayaan ayahnya dulu. Setelah kepergian ayahnya, laki-laki itulah yang telah membimbingnya, menggantikan sosok ayah dalam hidupnya. Ayah yang pergi meninggalkan dirinya dan ibunya demi wanita lain 17 tahun lalu, dan beberapa tahun kemudian ayahnya pulang hanya tinggal namanya saja.
Zain mengusap wajahnya kasar. Setiap mengingat kejadian itu, ia akan kesulitan untuk mengendalikan emosinya.
Di satu sisi, ia terikat janji dengan kakek Clarisa, namun di sisi lain Zain merasa muak dengan perilaku Clarisa di belakangnya. Dulu Zain pernah ingin mencoba membuka hati kepada Clarisa, namun semuanya meluap begitu saja setelah Barra memberikan semua hasil penyelidikannya terhadap Clarisa.
Zain meraih map merah yang dibawakan oleh asistennya bersama dengan hasil laboratorium tadi. Perlahan Zain mengeluarkan isi di dalam map tersebut.
Matanya mencermati setiap detail gambar di depannya. Foto-foto asli sebelum di edit tentang Zahra dan beberapa pria yang waktu itu sempat tersebar di kampus Zahra. Zain tersenyum menyeringai, lalu melempar isi map tersebut dengan keras.
“Sampai mana kamu akan bermain denganku, Clarisa?” sinis Zain, tangannya mengepal erat di atas meja kerjanya.
Malam harinya, Zain terlihat masuk ke dalam kamar Zahra, kali ini dia terang-terangan masuk ke dalamnya.
Waktu menunjukkan pukul 21.00, Zahra sibuk duduk di depan meja belajarnya sambil mencoret-coret kertas di depannya tanpa menyadari seseorang yang sedari tadi berdiri di belakangnya sambil menatap tajam ke arahnya.
“Apa kamu sangat menyukai desain?” tanya Zain membuat Zahra terperanjat dan menjatuhkan pensil di tangannya.
Zahra berdiri dan memutar tubuhnya. “Tu-tuan sejak kapan ada di sini?”
Zain mengabaikan pertanyaan istrinya dan meraih kertas-kertas di atas meja.
“Bagus,” ucap Zain mengomentari hasil karya istrinya dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan.
Zahra mencoba merebut kertas itu dari tangan suaminya, namun percuma karena Zahra kalah tinggi dari tubuh suaminya.
“Tuan, kembalikan punya saya!”
“Ambil saja jika bisa!” Zain mengangkat tangannya ke atas.
Zahra mencoba meraihnya, namun Zain melangkah mundur dan terjadilah aksi kejar-kejaran di antara mereka.
Clarisa yang kebetulan keluar dari kamarnya, samar-samar mendengar keributan dari dalam kamar Zahra menyebabkan percikan api cemburu semakin berkobar di hatinya.
“Dasar pengganggu! Tidak tahu diri! Awas saja kamu, tunggu pembalasanku. Akan aku buat kamu jatuh sejatuh-jatuhnya!” gerutu Clarisa.
Clarisa membalikkan tubuhnya kembali menuju kamarnya, dan mengurungkan niatnya untuk turun ke bawah mengambil camilan dan air minum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Susanty
ceraikan aja Zain, ngapain di pertahankan. orang licik tidak akan berubah.
2022-10-30
1
Rini Musrini
tunggu hukuman dari zain clarisa
2022-09-29
1
Senajudifa
sdh kuduga pasti clarisa hamil boongan
2022-06-28
4