Zain membanting amplop tersebut ke atas meja dengan keras membuat semua isinya berceceran ke mana-mana.
Tok! Tok! Tok!
“Masuk!” serunya dengan nada kesal.
Pintu ruangan itu terbuka dan muncullah sang asisten, Barra mengerutkan dahinya ketika melihat ke arah tuannya.
Wajah dingin yang beberapa hari terakhir sempat mencair, kini kembali terlihat dingin dan memerah karena menahan emosi.
Beberapa lembar foto tergeletak tak beraturan di atas meja dan lantai di dekat meja kerja Zain.
“Tuan memanggil saya?” tanya Barra pelan.
“Batalkan semua jadwal hari ini! Perintahkan Zahra untuk segera pulang!” perintah Zain dengan tegas.
“Baik, Tuan.”
Barra menghubungi Ali sopir pribadi Zahra untuk segera membawanya pulang atas perintah tuan muda mereka.
Zain bangkit dan keluar meninggalkan ruangannya diikuti oleh Barra yang mengekor di belakang tuannya.
...*****...
Ali memutar mobilnya kembali menuju kampus tempat Zahra kuliah. Baru saja beberapa menit lalu ia pergi meninggalkan nyonyanya di depan gerbang kampus, dan sekarang harus kembali lagi untuk membawanya kembali ke mansion.
Tugas Ali hanyalah untuk mengantar jemput Zahra dan melaporkan ke mana saja Zahra pergi. Selain itu Ali harus kembali ke kantor menjalankan tugas lainnya.
Beberapa kali Ali menghubungi nomor Zahra namun tidak tersambung. Ia lalu mencoba mencari ke dalam gedung kampus dan bertanya kepada orang yang ia temui di dalamnya, namun tidak seorang pun yang mengetahui keberadaan Zahra.
“Ada di mana Anda nyonya?” tanya Ali kepada dirinya sendiri dengan wajah paniknya.
Ali berlari menyusuri setiap sudut kampus untuk menemukan Zahra, sudah lebih dari 30 menit ia mencari namun belum juga menemukan keberadaan Zahra.
“Tu-tuan, saya tidak menemukan keberadaan Ny. Zahra,” ucap Ali dengan suara bergetar.
‘Temukan nona Zahra apa pun caranya! Hubungi saya jika kamu sudah menemukannya!’
“Ba-baik, Tuan Barra.”
Ali melajukan mobilnya setelah mengakhiri panggilannya dengan Barra. Ia menyusuri jalanan kota berharap dapat menemukan Zahra, dari keterangan yang dia dapat dari security, Zahra keluar meninggalkan kampus dengan keadaan menangis.
15 menit sudah Ali mengelilingi jalanan di sekitar kampus, namun belum juga membuahkan hasil. Ali teringat sesuatu, waktu itu Zahra memintanya untuk mengantarkan ke sebuah tempat ketika nyonyanya itu menangis sepulang dari rumah orang tuanya.
Ali melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, berharap semoga kali ini tebakannya benar.
Ali memarkirkan mobilnya di tepi taman dekat danau, ia mengedarkan pandangannya mencari sosok nyonya mudanya.
Sampai di ujung jalan, Ali melihat seorang wanita duduk di bawah pohon besar dengan menekuk dan memeluk lututnya serta menenggelamkan wajahnya di dalamnya. Ia cermati wanita itu memastikan bahwa wanita itu adalah nyonyanya.
Setelah yakin bahwa wanita itu adalah orang yang sedang ia cari, Ali meraih ponselnya dan menghubungi seseorang.
“Halo, Tuan Barra. Saya sudah menemukan keberadaan Ny. Zahra.”
‘Kirimkan lokasinya dan tunggu di sana! Awasi nona, tuan muda akan segera ke sana!’
“Baik, Tuan.”
30 menit kemudian Zain dan Barra sudah berada di lokasi, dengan langkah lebar Zain mendekat ke arah istri mudanya yang tetap duduk dengan posisi semula.
Zain menarik lengan Zahra sehingga membuat Zahra mendongakkan kepalanya. Terlihat wajah sayu dengan mata sembah dan merah terlihat berantakan.
“Sedang apa kamu di sini?” tanya Zain dengan suara dinginnya.
Zain menarik paksa tubuh Zahra membuat Zahra berdiri dari duduknya, lalu dengan kasar Zain menyeret Zahra menuju ke mobilnya.
Zain mendorong kasar tubuh Zahra di jok belakang. Zahra terduduk, dia hanya terdiam dengan pandangan kosong.
Sesampainya di depan mansion, Zain kembali menyeret tubuh Zahra masuk ke dalam rumah.
“Apa yang kamu lakukan Zain?” tanya Ny. Amara, dia baru saja datang karena Clarisa menghubunginya untuk memberi tahukan sesuatu, namun ia malah melihat kemarahan putranya.
Zain tidak menghiraukan keberadaan dan pertanyaan dari ibunya. Dengan langkah lebar, ia menyeret Zahra menuju kamarnya.
Zain membuka pintu kamar Zahra dengan kasar, lalu mendorong tubuh kecil Zahra agar masuk ke dalamnya.
Brak!
Dengan keras Zain menutup pintu kamar tersebut membuat Zahra kembali tersadar. Seketika tubuh Zahra menegang, perlahan tubuhnya merosot ke lantai dan mulai terisak pelan. Zahra merasakan perih di pergelangan tangannya yang memerah.
Zain meraih kunci kamar yang menggantung di lubang pintu.
“Tidak ada lagi kuliah untukmu! Diam di dalam kamar jangan berani-berani untuk keluar!” seru Zain sebelum menutup pintu kamar Zahra dan menguncinya dari luar.
Zahra memeluk lututnya dan menangis pilu, ia merasa kehidupan sangat kejam kepadanya.
‘Tuhan! Aku lelah! Aku menyerah! Aku ingin beristirahat dari semua ini. Izinkan aku untuk tidur dalam lelapku, dan jangan Engkau bangunkan aku lagi, Tuhan!’
...*****...
Clarisa mengajak Ny. Amara masuk ke dalam kamarnya, mereka duduk di tepi ranjang. Clarisa memberikan sebuah kotak merah dengan hiasan pita berwarna biru kepada ibu mertuanya.
“Apa ini, Sa?” tanya Ny. Amara dengan wajah penasaran.
“Buka saja, Mom. Ini hadiah untuk Mommy dariku.” Clarisa mengulas senyum di wajahnya.
Perlahan tangan Ny. Amara membuka kotak tersebut dengan dada berdebar, sedetik kemudian Ny. Amara membuka mulutnya lebar dengan mata yang membola karena terkejut.
“I-ini benar nyata?” tanya Ny. Amara dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca.
“Iya, Mom.” Clarisa semakin tersenyum lebar dan menatap wajah ibu mertuanya yang terharu.
Ny. Amara meletakkan kotak tersebut dan kedua tangannya menangkup wajah Clarisa.
“Terima kasih, Sayang. Kamu sudah memberikan hadiah terindah untuk mommy,” ucap Ny. Amara lalu memeluk tubuh Clarisa.
Clarisa membalas pelukan dari ibu mertuanya dan menaikkan sebelah bibirnya.
Ny. Amara menangis terharu, ia tidak bisa mengungkapkan kebahagiaannya dengan kata-kata. Sebentar lagi keinginannya selama ini untuk memiliki cucu akan segera terwujud.
“Apakah Zain sudah mengetahui kabar bahagia ini?” tanya Ny. Amara setelah melepas pelukan mereka.
Clarisa menggelengkan kepalanya pelan. “Belum, Mom.”
“Izinkan mommy yang memberitahukannya kepada Zain, ya!” pinta Ny. Amara.
“Terserah Mommy, asalkan Mommy bahagia.”
“Terima kasih, Sayang.” Ny. Amara membelai lembut pipi kanan Clarisa.
Di saat makan malam, semua telah siap duduk di tempat masing-masing tanpa kehadiran Zahra.
Zain mengurung Zahra di dalam kamarnya dan melarang siapa pun untuk mendekati kamar itu.
Selesai makan, Ny. Amara terlihat gelisah karena merasa ragu untuk memberitahukan kabar bahagia ini dikala putranya dalam suasana hati yang buruk.
“Ada apa, Mom?” tanya Zain yang melihat kegelisahan ibunya.
“Emm, itu. Ada yang ingin mommy katakan,” ucap Ny. Amara dengan ragu.
Zain menatap lekat ke arah ibunya, tetap dengan wajah dinginnya yang tanpa ekspresi.
“Mommy ada kabar bahagia.” Ny. Amara menjeda perkataannya dan melihat ekspresi wajah putranya.
“Sebentar lagi mommy akan menjadi nenek, Zain!” seru Ny. Clarisa dengan wajah yang berbinar. “Kamu akan menjadi seorang ayah! Akhirnya Clarisa Hamil!”
Ny. Amara terlihat sangat bahagia, namun berbeda dengan putranya yang bersikap cuek dengan tatapan datarnya.
Zain meraih tisu di atas meja dan membersihkan mulutnya. Tanpa sepatah kata pun, ia melangkah meninggalkan meja makan dengan wajah datarnya.
Clarisa menatap kepergian suaminya, ia kecewa dengan sikap yang ditunjukkan oleh Zain tentang kabar kehamilannya.
“Bawakan makanan Zahra ke kamarnya!” perintah Zain tepat sebelum kakinya melangkah menaiki anak tangga.
Zain membuka pintu kamar istri mudanya dan masuk ke dalamnya. Ia melihat punggung Zahra di ranjang dengan membenamkan wajahnya di atas bantal belum juga berhenti dengan tangisnya.
“Berhenti menangis! Apa dengan menangis semua masalah akan terselesaikan?” tanya Zain dingin lalu berjalan ke arah sofa dan duduk di atasnya dengan menyilangkan sebelah kakinya.
Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu dari luar.
Tok! Tok! Tok!
“Masuk!” seru Zain.
Bi Nur masuk dengan sebuah nampan di tangannya diikuti seorang pelayan yang juga membawa sebuah nampan.
“Ini makanan untuk Ny. Zahra, Tuan.”
“Hmm.”
Bi Nur dan pelayan itu meletakkan nampan tersebut si atas meja, kemudian membungkukkan sedikit tubuh mereka tanda hormat kepada tuan muda mereka dan berjalan keluar dari kamar Zahra.
“Cepat makan!” perintah Zain kepada Zahra, namun Zahra tetap diam tidak mengindahkan perintah suaminya.
“Zahra!” seru Zain seketika membuat istrinya bangkit dari tidurnya.
Zahra turun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi tanpa menoleh ke arah suaminya.
“Aku menyuruhmu untuk makan!” ucap Zain dingin.
Zahra menghentikan langkahnya dan menatap ke arah suaminya. “Aku harus membasuh wajahku terlebih dahulu, Tuan,” ucap Zahra tanpa ekspresi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Ranran Miura
kasihan zahwa.. eh zahra... 😭😭 pengen lempar clarisa ke kandang beruang deh
2022-06-25
5
최리아
Inggih Bun
2022-06-15
1
Bunda Abizzan
Akal-akalan Clarisaa deh ini kayaknya..
Salam dari "Perjalanan Cinta Qonita"
2022-06-15
3