Seminggu sudah Zahwa menjalankan kehidupannya sebagai seorang istri, setiap hari ada saja hal yang Zain lakukan untuk membuatnya merasa kesal.
Sedangkan Clarisa jarang terlihat di rumah karena sibuk dengan kariernya. Sejak merasakan masakan Zahwa, setiap hari Zain selalu meminta Zahwa khusus memasak untuknya.
“Nona, saya sudah mendaftarkan Anda di universitas terbaik di kota ini,” ucap Barra setelah menyelesaikan sarapan mereka.
“Fakultas seni, kan?” tanya Zahwa pelan.
“Tuan muda menyuruh saya untuk mendaftarkan Anda di fakultas ekonomi dan bisnis.”
Wajah Zahwa terkejut. “Tapi saya-”
“Poin nomor satu! Nona tidak lupa, kan?” tanya Barra menatap lekat wajah Zahwa.
Zahwa menatap ke arah suaminya dan menampilkan wajah memelasnya. “Tuan ....”
“Terima atau tidak ada kuliah!” ucap Zain lalu bangkit dari duduknya diikuti Barra sang asisten.
Zahwa menundukkan kepalanya, ia sudah senang dan berharap bisa meraih cita-citanya menjadi seorang fashion desainer. Namun harus ia kubur keinginan itu karena terikat oleh perjanjian yang dibuat suaminya.
Zahwa bangun dari duduknya lalu membalikkan tubuhnya namun sesuatu yang keras membentur kepalanya. Zahwa mendongak ke atas, betapa terkejutnya dia ketika melihat wajah dingin Barra yang menatapnya dengan tajam.
“Maaf,” cicit Zahwa.
“Tuan muda meminta Nona untuk mengantarkan makan siang ke kantor. Pukul 12.00 harus sudah sampai di kantor, tidak boleh terlambat!”
“Mau men-”
Zahwa mengerucutkan bibirnya, belum selesai dia bertanya, Barra tanpa berkata berbalik meninggalkannya.
“Tidak tuannya, tidak asistennya sama-sama seperti kulkas,” gerutu Zahwa.
“Kulkas apa, Nyonya?” tanya bi Nur yang hendak membereskan meja makan bersama pelayan lainnya.
“Eh, Bibi mengagetkan aku saja.”
“Maaf, Nyonya.” Bi Nur merasa bersalah.
“Tidak apa-apa Bi, jangan meminta maaf. Maaf ya Bi, aku tidak bisa membantu membereskan meja.”
“Tidak apa-apa Nyonya, ini sudah pekerjaan kami.”
“Ya sudah, aku mau ke kamar dulu.” Zahwa pamit lalu melangkahkan kakinya menuju kamarnya.
Beberapa hari lalu, meskipun sudah dilarang oleh bi Nur, Zahwa nekat membantu para pelayan membersihkan rumah karena dia bosan tidak ada kegiatan di rumah sebesar itu. Namun, Zain mengetahui hal itu dan menghukum Zahwa, bahkan semua pelayan pun ikut mendapatkan hukuman dari Zain.
Zahwa duduk di depan meja belajarnya, ia mencoret-coret kertas di atas meja, sesekali mengotak-atik laptop di depannya.
Sesuai ucapannya, Zain memberikan semua fasilitas yang Zahwa perlukan. Mulai dari ponsel, laptop, dan perlengkapan lainnya. Bahkan Zahwa mendapatkan black card dari suaminya itu, namun Zahwa belum sekalipun menggunakan kartu tersebut.
Sejak kecil Zahwa bercita-cita ingin menjadi seorang fashion desainer, karena dirinya yang tak pernah memiliki pakaian bagus. Ia sering membuat desain pakaian meskipun tidak bagus, Zahwa ingin suatu saat bisa mengembangkan desain itu dan berharap bisa membuatnya walau hanya satu saja untuk dia pakai sendiri.
Tanpa terasa waktu menunjukkan pukul 10.30, Zahwa teringat untuk memasak makan siang untuk suaminya. Ia bergegas keluar kamarnya dan hampir saja menabrak Clarisa di ujung tangga.
“Hati-hati Za! Jangan lari-lari, ini bukan tempat bermain!” tegur Clarisa dengan wajah yang ditekuk.
Sepertinya Clarisa baru saja pulang dari pekerjaannya, wajahnya terlihat sayu dan lelah.
“Maaf, Mbak.”
Clarisa meninggalkan Zahwa tanpa menanggapi permintaan maaf dari Zahwa.
Zahwa mengangkat bahunya, lalu melanjutkan langkahnya menuju dapur.
“Bi, ada bahan masakan apa saja?” tanya Zahwa.
“Nyonya ingin makan apa? Biar saya siapkan untuk Nyonya.” Salah satu pelayan menawarkan bantuan untuk Zahwa.
“Tidak perlu bi, aku ingin masak untuk menu makan siang tuan muda.”
Pelayan tersebut mengangguk lalu membantu Zahwa menyiapkan bahan apa saja yang tersedia untuk dimasak.
Dengan cekatan Zahwa meracik bahan makanan dan mulai memasaknya. Zahwa hanya memiliki waktu 30 menit, dia memutuskan untuk membuat menu yang simpel. Cah brokoli jamur saus tiram dan rica-rica ayam.
Setengah jam kemudian tanpa mengganti pakaiannya, Zahwa bergegas menuju kantor Zain untuk mengantar makan siang diantar oleh sopir yang bertugas mengantar ke mana pun ia pergi.
Perjalanan menuju perusahaan Zain dari mansion utama membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit.
Mobil Zahwa berhenti tepat di depan pintu lobi, Zahwa keluar dari mobil dan berjalan menuju lobi dengan menenteng rantang berisi makanan. Namun Zahwa ditahan oleh petugas resepsionis karena belum membuat janji temu dengan pemilik perusahaan.
Selama 10 menit, Zahwa berdebat dengan petugas resepsionis.
“Adek, kamu salah tempat. Jangan mengaku-ngaku sebagai istri tuan Zain.” Petugas itu melihat penampilan Zahwa yang memakai kaos oblong putih dengan outer kemeja kotak-kotak tanpa dikancing, celana jeans hitam panjang serta sepatu sport putih. Dengan rambut yang dikuncir kuda.
Sangat berbanding terbalik dengan Ny. Clarisa yang mereka kenal sebagai istri atasan mereka. Seluruh karyawan ZM Corp. mengetahui bahwa pemilik perusahaan mereka bekerja, baru saja melangsungkan pernikahan dengan istri keduanya, tapi tidak mungkin istrinya adalah gadis kecil yang berdiri di depan meja resepsionis tersebut.
“Tidak ada gunanya aku berbohong, Mbak.”
“Tapi banyak yang datang mengaku sebagai istri ataupun kekasih tuan Zain.”
Zahwa melebarkan matanya mendengar pernyataan dari petugas resepsionis di depannya itu. Seberapa kaya dan populernya sosok suaminya itu sehingga banyak wanita yang dibuat tergila-gila olehnya.
Zahwa merasa menyerah karena tidak bisa meyakinkan petugas resepsionis tersebut, tetapi dia juga tidak mau menyalahkan mereka. Mereka hanya menjalankan tugas mereka untuk waspada dan berhati-hati atas setiap tamu yang berkunjung.
Zahwa meraih ponselnya mencari kontak suaminya, namun ia teringat bahwa tidak memiliki nomor kontak suaminya.
“Bagaimana ini? Jika terlambat tuan Zain pasti akan marah-marah padaku,” gerutu Zahwa.
“Oh ya! Aku kan punya nomor asistennya, kenapa tidak sedari tadi aku menghubunginya? Bodoh kamu Za.”
Zahwa menghubungi nomor Barra, tidak menunggu lama panggilan Zahwa sudah tersambung.
“Aku sudah di lobi dan tidak diperbolehkan masuk.”
‘Katakan saja jika Nona adalah istri tuan muda.’
“Sudah! Mereka tidak percaya, aku tidak mau tahu pokoknya cepat kamu suruh orang untuk menjemputku!”
Zahwa langsung mematikan panggilan tersebut, dia tidak peduli jika dianggap tidak sopan, Zahwa masih kesal karena terlalu lama tertahan di lobi.
Tak berselang lama salah satu petugas resepsionis tadi menghampiri Zahwa dan meminta maaf, lalu mengantarkan Zahwa menuju ruangan Zain.
Tok! Tok! Tok!
Zahwa berdiri di depan pintu ruangan Zain seorang diri, petugas tadi sudah pamit kembali untuk bekerja.
“Masuk!” seru seseorang di balik pintu, Zahwa yakin bahwa itu suara Barra.
Tangan Zahwa memutar knop pintu dan membukanya perlahan, sangat pelan. Entah kenapa mendadak jantungnya berdetak sangat cepat, seolah jantung itu mau melompat dari tempatnya, Zahwa merasa gugup.
Ketika pintu terbuka sempurna, Zahwa mendapati semua pasang mata menatap ke arahnya. Ada Zain, suaminya yang duduk di kursi kebesarannya, di sofa ada Barra dan juga dua orang pria yang terlihat masih muda.
“Kenapa Nona terlambat?” tanya Barra.
Zahwa diam membisu, ia masih berdiri diambang pintu.
“Silakan masuk Nona,” ucap Barra lalu ia beralih ke arah dua orang di sebelahnya. “Kalian boleh istirahat, kita lanjutkan lagi nanti pembahasan ini.”
Setelah kedua pria itu keluar, Barra pun ikut keluar dari ruangan itu meninggalkan Zahwa hanya berdua dengan suaminya.
“Kenapa telat?” tanya Zain dingin.
Zahwa tidak berani menjawab, pasti tetap saja dia yang akan disalahkan. Padahal ia hanya terlambat 5 menit, itu pun karena ditahan oleh karyawannya di lobi.
“Saya bertanya kepadamu, Zahra!”
Zain bangkit dari kursinya dan berjalan menuju sofa. Ia duduk di sofa dan menyuruh Zahwa tetap berdiri di dekat pintu untuk duduk disampangnya. Zahwa menurut begitu saja, ia tidak ingin membuat masalah apalagi di tempat kekuasaan suaminya itu.
“Buka!”
Zahwa meletakkan rantang di atas meja dan menata makanan untuk suaminya.
“Suapi saya!” perintah Zain membuat Zahwa memutar bola matanya.
Tanpa suara Zahwa menuruti perintah suaminya. Ia mulai menyuapi suaminya yang duduk tepat di sebelahnya. Jantung Zahwa semakin berdetak kencang, Zahwa mengartikan hal itu karena dia takut akan kemarahan suaminya.
“Kebanyakan! Mulut saya tidak selebar gua!” ucap Zain.
Zahwa pun mengurangi sendokkan nasinya.
“Terlalu sedikit! Saya bukan anak kecil!”
Zahwa menatap wajah suaminya, ia akui wajah tampan pria di depannya. Namun sayang, sikap dingin dan kejamnya membuat Zahwa enggan membuat masalah dengannya.
Meskipun dibuat kesal, Zahwa tetap menyuapi suaminya dengan sabar. Hingga beberapa suapan Zain menyudahi acara makannya.
“Saya sudah kenyang. Kamu habiskan sisanya!” perintah Zain dan berlalu meninggal Zahwa.
“Ta-”
“Jangan membantah!”
Zahwa memandang makanan di depannya, masih tersisa banyak, bagaimana bisa dia menghabiskan makanan tersebut, selama ini porsi makannya sanggatlah sedikit. Tadi dia memasak dengan porsi banyak, Zahwa mengira Barra juga akan ikut memakan masakannya. Namun ternyata dia salah, dia sendirilah yang harus menghabiskan masakannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Eni Intan
lama lama Zain bucin bingit z❤️z gitu
2022-10-02
1
Ilan Irliana
klo aq jd Zahra...ikutin z mo'y Zain...tp Zahra'y cuex abis m Zain...ms bodoh...yg pnting bs Kuliah bs nrusin pndidikn....plgi ibu mertua baek bngt..
2022-06-28
2
Ranran Miura
udah kek anak bayi zain tuh, manjanya minta digetok 😆
2022-06-25
2