Tomi berhasil membawa Anindi masuk ke rumah dengan selamat setelah susah payah menghindari serangan di depan pintu gerbang. Belum ada musuh yang berhasil menerobos masuk.
"Kamu gak papa Sayang?" Tomi mendudukkan Anindi di sofa, mengambilkannya air minum.
Perempuan hamil itu mengangguk pelan, apa yang dia khawatirkan terjadi. Hal seperti ini yang Anindi takutkan. "Kamu hati-hati, aku takut," lirihnya memeluk sang suami.
"Kita punya Allah, Sayang." Tomi mengelus-elus bahu sang istri untuk memberikan ketenangan. "Kamu istirahat di kamar Ghani ya, Mas mau bantu yang lain dulu."
"Jangan sampai terluka," gumam Anindi dengan tatalan sayu.
"InsyaAllah, berdoalah semoga mereka segera pulang tanpa membuat kita susah payah melawannya." Ucap Tomi sambil tersenyum menuntun Anindi ke kamar Ghani di sampingnya.
Di kamarnya Ghani memberikan air putih yang sudah bercampur obat tidur pada istrinya bertepatan Tomi masuk ke sana.
"Sayang minum dulu biar kamu tenang," lelaki itu mendekati istrinya yang melamun.
Khalisa mengambil air yang diberikan Ghani, meminumnya sampai tandas. "Abang gak ninggalin aku kan?"
"Enggak Sayang, Abang menemani Kha di sini." Pria itu mengusap belakang kepala istrinya sambil tersenyum.
"Obat tidur lagi?" Anindi bertanya dengan suara pelan pada suaminya, Tomi mengangguk.
Ghani selalu membuat istrinya itu tertidur saat keadaan di rumah tidak kondusif.
"Pergilah Tom, aku akan mengawasi keadaan di luar dari sini." Suami Khalisa itu memasang handsfree ke telinganya. Satu telinga lagi terhubung ke drone.
"Tunggu di sini ya Sayang. Jangan terlalu khawatir," Tomi mengusap puncak kepala ibu hamil itu kemudian pergi.
"Istirahat di sini Nin," panggil Ghani. "Sayang kita pindah ke sofa aja." Katanya membawa sang istri pindah sekaligus membawa laptopnya setelah Tomi pergi. Biar ibu hamil itu yang beristirahat di tempat tidur.
"Abang Kha ngantuk, hooaam." Khalisa menutup mulutnya saat menguap.
"Ngantuk, ini masih pagi Sayang. Jangan kebanyakan tidur nanti gendut." Goda Ghani, padahal dia yang sudah membuat istrinya itu mengantuk.
"Gak tau ngantuk banget," Khalisa menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.
"Tidurlah, tapi jangan mengintip Abang ngapain ya." Peringat Ghani memangku laptop, dia takut Khalisa syok melihat rekaman cctv yang menampilkan adegan seperti di film-film barat.
"Iya Abang, ini matanya Kha tutup." Ujar Khalisa memejamkan matanya yang tiba-tiba berat tanpa tau sang suamilah penyebabnya.
"Mereka sedang berusaha merobohkan pintu gerbang depan dengan granat," beritahu Ghani yang sudah menerbangkan drone nyamuk untuk memata-matai musuh sambil mengelus-elus istrinya agar semakin tertidur nyenyak.
Spy drone yang diterbangkan Ghani itu merupakan drone serangga mata-mata untuk area perkotaan yang sedang diproduksi AS. Dapat dikendalikan dari jarak jauh, dilengkapi dengan kamera dan mikrofon. Drone ini mampu mendarat di kulit dan mengambil sampel DNA atau meninggalkan alat pelacak teknologi nano di dalam kulit. Bisa terbang melalui celah-celah jendela, atau bahkan menempel di pakaian.
"Zaky naiklah ke rooftop. Kamu bisa menembak Brayen dari atas sana," gurau Ghani.
"Jangan bercanda Gha, kita bisa semakin membuat warga komplek heboh kalau melihat ada yang kepalanya pecah di depan gerbang!" Teriak Zaky frustasi, dia juga berada di depan cctv mengamati keadaan di luar.
"Sebelum itupun sudah heboh, Tora datang membawa satu kompi antek-anteknya." Ujar Ghani tertawa geli.
"Masih bisa bercanda Gha!" Tegur Tomi kesal, dia sangat mengkhawatirkan istrinya. Ghani malah mengajak bercanda.
"Tentu saja, selama Kha menempel padaku aku masih bisa tertawa." Sahut Ghani, membuat dua Zaky dan Tomi berdecak.
"Jangan membuat keributan di siang bolong Brayen, kau ingin media meliputmu atas penyerangan ini. Bodoh sekali!!" Desis Tora, lelaki itu tidak benar-benar membawa pasukan satu kompi ke sana. Itu hanya kerjaan Ghani saja yang bercanda. Dia hanya mengirim pasukan mengelilingi rumah Emran untuk menahan Brayen dan komplotannya agar tidak berhasil masuk.
Rumah memah itu memiliki pengamanan yang sangat kuat, temboknya anti peluru dan granat. Untuk merobohkan pintu gerbang saja Brayen kesusahan.
"Tidak perlu menghasutku Tora, aku tidak takut pada media!" Sarkas Brayen arogan.
"Kau memang tidak takut pada media. Tapi bisakah kau menghadapi netizen negara +62 yang julit ini Brayen?" tanya Tora dengan nada mengejek.
"Buatlah keributan kalau kau merasa mampu menghadapinya," lanjut Tora.
"Merobohkan pintu gerbang saja tidak mampu!!" Tora berdecih dengan senyum meremehkan.
"Brengsek kau menghinaku Tora!!"
"Itu kenyataan yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri," senyuman terbit di bibir lelaki paruh baya yang masih gagah itu.
"Mundur!" Teriak Brayen.
Tora benar, dia tidak bisa gegabah. Tembok rumah itu bahkan anti granat dan peluru. Mereka sudah berusaha menghancurkannya tapi tidak berhasil. Siang hari seperti ini memudahkan para warga melihat apa yang mereka lakukan dan membuatnya viral. Itu akan merugikan pihaknya.
Tora tersenyum miring, dia yakin Brayen tidak menyerah sampai di sini saja.
"Buka pintu gerbang, bawa dua orang itu masuk." Perintah Emran pada penjaga pintu gerbang. Mereka akhirnya bisa bernapas lega melihat Brayen yang menyerah begitu saja. Tapi mereka tetap waspada, Brayen pasti memiliki rencana lain.
Ghani mengangkat Khalisa ke tempat tidur. Ia sudah memulangkan nyamuknya setelah para musuh pulang. Istri Tomi juga tertidur di sana, mungkin karena kelelahan.
"Ara, Daddy-mu di bawah." Beritahu Ghani, Yumna langsung beranjak mendengar daddy-nya datang.
"Kalian tetap di sini dulu, di luar masih belum aman." Ujar Ghani lalu kembali ke kamar. Ia iseng menerbangkan nyamuk kembali mengelilingi rumahnya.
"Ayah main game?" Tanya Arraz yang menyusul sang ayah. Bocah laki-laki itu naik ke sofa, tidak berkedip menatap layar yang sedang Ghani amati.
"Bukan Sayang, ini bukan mainan. Arraz lihat, itu rumah kita dari atas." Tunjuk Ghani pada layar tab.
"Keren, boleh Arraz main?" Pinta bocah laki-laki Ghani itu.
"Belum boleh Sayang, Arraz lihat aja dulu ya. Kalau Arraz besar baru Ayah ajari cara menggunakannya."
"Ayah lagi cari apa?" Tanya Arraz penasaran.
"Kita cari penjahat Sayang," Ghani mengecup puncak kepala putranya dengan senyuman bangga. Ia memfokuskan cctv ke ruang tengah melihat Yumna yang berlari kecil menuruni tangga.
"Daddy!" Pekik Yumna menghambur kepelukan Tora.
"Kamu gak papa Sayang." Tora membalas pelukan sang putri, lalu mencium di kening. Putrinya yang masih menggunakan kebaya putih pagi tadi.
"Ara gak apa Daddy," katanya manja bersandar di bahu sang ayah dengan nyaman.
"Mau pulang sama Daddy Sayang, Mommy sangat khawatir sama Ara?"
Yumna mengangguk pasti, dia tidak ingin terus menyusahkan orang lain. Sudah cukup berhutang budi pada keluarga ini.
"Ayah ada pesawat," pekik Arraz girang melihat helikopter terbang rendah di atas rumah. Ghani mengamati apa yang putranya lihat.
"Mereka datang dari atas!!" Peringat Ghani, melihat helikopter itu menurunkan pasukan menggunakan tali ke rooftop.
Tomi langsung menajamkan pendengaran. "Nindi," gumamnya segera berlari ke lantai atas. Ghani tidak mungkin bisa menjaga sendirian. Apalagi semua berkumpul di kamar itu. Walau pengamanan ketat tetap saja Tomi risau.
Zaky dan Guntur juga langsung berlari ke arah rooftop diikuti Sagara.
"Kembali ke kamar tadi Nak," perintah Emran pada Yumna. Gadis itu mengangguk melepaskan diri dari pelukan sang ayah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Yulaida
deg deg an bacanya
2023-03-02
0
Febriyantari Dwi
Seru nih...
jiwa kemafiaan author ternyata bisa dipertimbangkan...😀👍👍.....Ceritanya makin menarik ada sedikit mafianya
2022-09-23
0
DaaaWd
baca part ini dag dig dug gini thor jantung😅
2022-05-09
3