"Kau..."
.......
.......
.......
...SADNESS...
.......
"Sudah lama ya kita tidak jalan beriringan begini." Ucap Titi memandang Seren teduh.
"Ah, iya.." Jawab Seren kikuk.
Setelah ucapan singkat, mereka berdua kembali terdiam. Ditengah keterdiaman, Titi kembali bersuara. "Oh iya, siapa pria yang mengantarmu tadi? Aku tidak pernah melihatnya."
Seren langsung tersentak kaget, "Ah, dia. Dia sepupu jauhku, kemarin baru saja sampai."
Seren menatap Titi singkat, mulut Titi langsung membentuk huruf 'O' saat Seren menjelaskan.
"Sepupumu tampan juga ya, tapi terlihat badboy dan seperti pemain wanita. Apa dia benar-benar sepupumu? Hahaha-" Saat tersadar Titi langsung menutup mulutnya.
"Tak apa, aku juga tidak keberatan kau berpikir begitu tentangnya."
"Jadi apa yang kukatakan itu benar?" Tanya Titi.
"Ntahlah hahahahahahaha...." Balas Seren.
.
.
.
.
Pulang sekolah.
Pada awalnya Seren tidak menyadari kehadiran William, namun setelah tangannya ditarik dari luar kelas, Seren seketika diam membeku.
"Untung tidak salah kelas, 'Sebelas TGB' hmm.. Menarik." Ucap William dibalik kacamata hitam yang ia kenakan, sekejap Seren melihat raut wajah kurang senang saat pria itu tak sengaja melihat kepala sekolah setelah ia mengalihkan pandangannya dari papan nama kelas.
" Hal-lo. " Singkat.
Semua siswa siswi kelas Seren berhenti berjalan, memandang dua orang yang cukup menarik perhatian sontak membuat mereka terhenti untuk melihat kejadian selanjutnya.
William membuka kacamata, memberikan gekstur meremehkan pada kepala sekolah. Sementara kepala sekolah hanya memberikan senyum maklum.
.
.
.
'Aku tidak mengharapkan ini terjadi, tapi kenapa malah aku disini.' Monolog hati Seren frustasi.
"Terimakasih buk, " Ucap kepala sekolah "Silahkan diminum tehnya tuan William." Sambung kepala sekolah mempersilahkan.
William hanya menatap sekilas teh manis hangat yang terletak tepat didepannya itu, lalu kembali memperhatikan kepala sekolah yang masih memasang wajah tersenyumnya.
"Tidak perlu basa-basi, Anda ingin bertanya apa?" Langsung ke intinya, William tanpa basa-basi berucap sambil membuka bungkus cerutu mahal dan menghidupkannya tepat didepan kepala sekolah.
"Tidak ada hal khusus, saya hanya ingin menyapa dan sekedar ingin mengobrol ringan dengan anda saja." Balas kepala sekolah mematikan AC diruangannya itu.
"Hoo.. " Singkat lagi, William sepertinya enggan untuk berbicara.
Kepala sekolah masih tersenyum kemudian sedikit bersuara "Apa pengembangan proyek itu akan dilaksanakan?" Tanyanya memulai percakapan berat pada William yang langsung melirik malas.
William meniup dalam cerutu mahal tersebut, lalu tanpa kata membuangnya ke udara bebas. "Proyek itu akan tetap diadakan cepat atau lambat, Saya dan tuan Gundur sudah sepakat untuk mempercepat prosesnya," William memandang sejenak ekspresi kepala sekolah.
"Terlebih jika tidak ada hal kompeten disini yang bisa dipertahankan, pemerintahpun sudah akan lepas tangan setahun lagi." Akhirnya kembali menghisap cerutu.
Kepala sekolah langsung tersentak, tak ingin merasa tersudutkan, beliau langsung mengambil kata "Siapa yang bilang kami tidak berkompeten disini? Kami sudah melakukan yang terbaik sebisa kami untuk tetap bertahan dan terlihat oleh pemerintah. Banyak kegiatan dan cabang akademik bergengsi yang sudah kami menangkan untuk membuktikan bahwa kami masih pantas untuk tetap berdiri disini menjadi sekolah SMK NEGERI 1. Jangan hanya karna kalian memiliki kuasa, kami rakyat kecil ini menjadi sasaran ego semata kalian. " Tanpa aba-aba kepala sekolah langsung menunjuk William bengis.
Sementara itu, William tidak terlalu mempermasalahkan apapun, toh dia juga tidak peduli, sebanyak apapun orang didepannya ini bersuara ataupun menyampaikan bertapa sekolah ini berprestasipun dia juga tidak perduli.
Karna yang ia amati hanya rasa kecewa yang mendalam dari kepala sekolah terhadap pemerintah. Pasti hanya itu semata, dan William sangat jelas tau bahwa orang didepannya ini masihlah berharap lebih untuk sepucuk harapan yang William sadari hanya angan itu.
"Jangan terlalu memaksakan dirimu..." William melirik papan nama kepala sekolah "Pak Bino. Kau pasti sudah dengar jika semua hal ini berdasar pada siapa bukan? Jadi jangan mencariku, cari saja dia." Monolog akhir William.
Setelahnya William langsung beranjak dan berjalan keluar meninggalkan kepala sekolah. Seren yang tidak mengerti hanya mengikuti William dan menyempatkan diri untuk berpamitan pada kepala sekolah.
.
.
.
.
Di mobil.
Mereka berdua hanya diam tanpa ada obrolan, dan setelah sampai rumah William menyuruh Seren untuk segera turun, sementara William langsung pergi begitu saja meninggalkan Seren yang terdiam membisu.
"Aku benar-benar tidak mengerti dengannya." Monolog Seren masuk kedalam rumah.
.
.
.
.
"Ada apa?" Ucap pria itu datar.
Memperhatikan seorang wanita dengan busana minim benar-benar membuatnya sedikit tidak nyaman. Apalagi wanita itu sedang bergelayut manja disamping rekan kerjanya.
"Bicaralah, kau kan punya mulut." Lanjut pria itu, Vein jadi jengah sendiri menatap William yang bengong seperti orang bodoh.
William hanya terdiam, sebenarnya sudah cukup lama. Dia tidak tau ingin mulai dari mana namun saat menelfon Vein seperti komet ingin mendarat ke bumi detik itu juga.
"Aku...."
"Iya?" Balas Vein.
"Aku bingung."
"Kau bingung kenapa otak udang?" Tanya Vein mulai kesal.
"Aku bingung dengan perasaanku," Ucap William.
"Perasaanmu yang mana dulu? Kau punya 1001 perasaan, dan aku tidak tau yang mana dari banyaknya masalah itu yang sedang kau bicarakan saat ini. Apakah seperti kau yang masih belum puas setelah bersetubuh dengan jalang-jalang disini beberapa menit lalu aku juga tidak peduli." Lanjut Vein.
" BUKAN BEGITU! Dengarkan aku dulu dasar sarkasme! Maksudku (menyuruh jalang dipangkuannya pergi) aku terkadang berfikir aku ini kenapa? Maksudku, aku belum pernah menahan diri selama ini hanya untuk gadis ingusan, kau tau bukan maksudku itu siapa?" Lirikan William arahkan pada Vein.
" Seren. "
" Yap, tepat sekali. Aku aneh saja dengan diriku, apakah karna dia tidak semenarik jalang-jalang disini? "
" Hmm... Entahlah, kau membuang waktu saja. Aku pergi. "
" Eh Vein, jangan pergi dulu. Aku belum selesai curhat oiii tunggu sebentar." Tanpa persiapan William langsung mengejar Vein.
.
.
.
" Kenapa kita berdiam diri dimobil seperti orang goblok yang melihat anak smp dijemput oleh orang tua mereka? " Tanya William yang mati kebosanan didalam mobil bersama Vein, sudah 1, 5 jam hanya ditempat tanpa berkutik sedikitpun.
"Diamlah, lagian siapa yang mengajakmu? Kau sendiri yang memilih mengikutiku bukan?" Balas Vein.
"Jahat sekali khukhukhu...."
Tak lama Vein sedikit bergerak, membuat William langsung menatapnya. Pandangan Vein menjadi lebih fokus saat seorang remaja labil keluar dari gerbang sekolah smp.
Rambut anak itu botak, pakaiannya agak sedikit kumuh, dihidungnya terdapat perban.
" Apa dia habis berkelahi?" Gumam William bertanya.
Namun reaksi berbeda ditunjukkan oleh Vein, pria itu langsung keluar dari mobil dan bergegas menghampiri anak itu, namun langkah tergesa tiba-tiba menjadi pelan.
William yang penasaran dengan reaksi Vein pada akhirnya ikut keluar dari mobil. Namun ia tetap diam ditempat. Ia tidak tau ingin mencerna dari sisi mana, tapi yang jelas, dia akan memperhatikan keadaan ini untuk beberapa saat.
Vein tiba-tiba berhenti dan memilih untuk bersembunyi saat seorang wanita menghampiri anak itu dan mengusap pipi remaja itu dengan kesedihan. Vein tidak dapat mendengar kalimat wanita itu, namun Vein yakin itu sebuah kalimat penenang.
Waktu begitu cepat berlalu, William yang sudah mulai mengerti dengan keadaan berakhir masuk kembali kedalam mobil. Ia memilih memperhatikan dari dalam, memperhatikan bagaimana ekspresi Vein yang berubah-ubah membuat William sadar bahwa ia sebaiknya mengambil langkah untuk diam.
Setelah melihat wanita itu dan sang remaja pergi dengan sepeda usang meninggalkan area sekolah, tanpa Vein sadari ia malah mengeluarkan air mata.
.......
.......
.......
.......
...TBC...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments