Hari ini Seren akan kabur, tak perduli apa yang akan terjadi nantinya yang penting untuk saat ini Seren akan minggat dulu.
Biarlah nanti ia pikirkan cara bagaimana ia akan menghadapi William. Yang penting ia akan kabur sejauh mungkin dari pria bule berperawakan menara eiffel itu.
"Aku akan mengendap-ngendap agar si William itu tak tau aku pergi." Gumam Seren sambil mengemas barang berharga yang bisa ia bawa kabur.
Oh, untuk hal satu ini tentunya Seren tidak akan kelewatan, nurani marketingnya berjalan sempurna untuk menghitung berapa uang yang akan ia dapatkan dari hasil merampok rumah orang kaya ini.
Biarlah William membeli lagi, toh selama disini banyak hal yang di sadari oleh Seren tentang William yang akan selalu mengganti barang rumahnya 3 bulan sekali itu, dan biarkanlah Seren menjadi salah satu penerima berkah ini.
"Ok siap, saatnya kabur."
Seren sudah siap, saatnya ia kabur dari jendela. Beruntung sekali kamar Seren tak berada di lantai 2 yang berhasil membuat rencana kaburnya menjadi mulus.
Seren berhasil, walau di awal pembukaan jendela sedikit berbunyi namun semua tetap tenang terkendali. Kini saatnya ia kabur menuju kebebasan tanpa batas dan melampauinya.
"Setidaknya itulah yang aku harapkan." Tutur Seren kegirangan.
Ia langsung saja berlari untuk pergi dan menjauh, kalau bisa menghilang dari sini dan bertemu kembali dengan sang ibu dan membawanya ikut serta untuk pergi dan memulai kehidupan baru mereka.
"Sangat naif." Bisik William yang menatap santai aksi Seren dari balkon lantai 2.
Cerutu yang disesap sudah mencapai batas sejak terakhir kali William melihat tingkah laku aneh dari tupai malangnya.
"Apakah saya harus menghentikan gadis itu, karna sepertinya dia mengambil perabotan rumah yang baru saja di letakkan para maid sore ini. Jika dihitung keramik Jerman itu sudah bernilai ratusan juta." Ucap Robert menatap was-was barang curian Seren.
"Tidak usah, anggap saja sedekah pada orang melarat." Balas William dengan seringaian.
.
.
.
.
Di tengah perjalanannya, Seren tak pernah sekalipun mengalami hambatan, sedikit aneh tapi apa dia perduli?
Tentu saja jawabannya tidak.
"Aku bebas! Aku bebas!" Hardik Seren pada diri sendiri.
Sungguh naif, dan polos.
"Eh?" Tiba-tiba langkah semangat Seren terhenti saat ia tak sengaja melihat pria itu. Seorang pria yang sangat Seren sesali tengah keluar dari mobil dengan senyumnya.
"Gilbert..." Gumam Seren.
.
.
.
"Ibu...." Teriak Seren keras, ia dengan cepat berlari dan langsung memeluk sang ibu erat.
"Seren?"
"Ia ini akuuu...." Ucap Seren terseduh-seduh.
"Bagaimana kamu bisa kembali sayang?" Tanya sang ibunda mengelus pucuk kepala sang putri.
"Aku kaburrr..." Balas Seren disela pelukan mereka.
"Ap-"
"Kenapa kau kembali hah!?" Tiba-tiba Gita datang dengan emosi yang meledak-ledak.
Ia menunjuk kedua ibu dan anak itu dalam murka. Ia tak habis fikir bagaimana dua orang ini malah melepas rindu sementara usahanya kini diujung tanduk.
Seren dan sang ibu langsung melepaskan pelukan mereka berdua dan beralih menghadap pada Gita yang sudah berkacak pinggang menahan segala emosi yang coba ia tahan sekuat tenaga.
"Maaf mami..." Ucap Seren penuh penyesalan.
"Apa kau fikir dengan ucapan mu itu dapat mengembalikan kepercayaan tuan William pada kita? Apa yang kau lakukan ha!? Kau mempertaruhkan bisnisku anak jala>>, kau membuat aku dalam masalah sekarang!" Gita langsung mengambil langkah dan menjambak rambut Seren hingga beberapa helai rontok ke lantai.
Seren hanya dapat terisak sakit, sementara Ririn hanya dapat memohon ampun pada Gita yang sangat marah.
Setelah beberapa menit, Gita melepaskan cengkramannya dan memilih untuk berjalan pergi, meninggalkan Seren beserta sang ibu yang langsung memeluk buah hatinya itu.
Ririn sekejap terhenti, mengingat sesuatu lalu menyampaikannya "Ririn, aku tidak tau dosa apa yang kau perbuat, tapi Golern memintaku untuk menyampaikan surat ini padamu," Gita langsung membuang amplop itu mendekati Ririn dan Seren.
"Oh, dan satu hal lagi, rumah sakit tidak pernah menerima paylater untuk orang seperti kalian, ingat itu!" dengan berakhirnya kalimat itu Gita pergi hingga suara telapak sepatunya tak terdengar lagi.
Disela isak tangisnya Seren memandang Ririn "Ibu sakit apa?"
Ririn sejenak terpaku dan tak lama ia menjawab tanpa hambatan "HIV, dan sudah sangat parah. Ibu tidak tau lagi harus bagaimana." Jawab Ririn dengan tatapan kosong mengambil amplop.
Seren kembali memeluk sang ibu, untuk saat ini ia tak berniat untuk berucap lebih. Yang ia butuhkan hanya sang ibu saja.
.
.
.
.
" Tururruru..... "
" Sepertinya kau terlihat bahagia. "
" Huaaaaaahhh!!!! Golern, mengejutkanku saja." Teriak Gita mengelus dadanya.
"Hmph... Tidak usah terlalu banyak gaya, langsung saja, aku kemari untuk meminta tebusannya." Golern langsung duduk dan mengadakan tangannya kehadapan Gita.
"Ckhh..... Bagian seperti ini kau cepat." Balas Gita merogoh sela pay*daranya.
"Hhhhhh...... Aku tak menyangka kau orang yang sangat baik." Pancing Golern.
"Tidak juga aku hanya kasian untuk orang yang sebentar lagi bertemu tuhan itu." Jawab Gita memutar bola matanya malas.
"Fufufufufufu... Aku anggap kau mimi peri." Pancing Golern kembali.
"APA KAU BILANG!" Teriak Gita melempar meja pada Golern yang sudah lebih dulu meninggalkan ruangan milik Gita.
.
.
.
.
.
Di kamar, seseorang tengah tertidur tak nyaman. Keringat mengucur deras dan ia selalu bergumam tak jelas.
"Ibu, kenapa aku tidak bahagia?" Tanya pria itu tertidur nyaman di atas paha sang ibu yang senantiasa selalu mengelus pucuk kepala sang putra.
"Apa maksudmu kamu tidak bahagia sayang?" Jawab sang ibu.
Pria itu menutup mata sejenak, kemudian kembali membukanya "Ibu tidak adil." Ucapnya langsung bangkit dan memukul sosok tersebut hingga semuanya menjadi putih, bayangan pemandangan taman yang indah lenyap tanpa sisa.
Pemuda itu berdiri, dia memandang kebawah, tepat pada kedua kakinya yang menapak pada sesuatu yang entah apa itu.
"Jadi aku berhasil menguasai mimpi." Ucapnya bersmirk.
"Kenapa harus repot-repot untuk bangun lebih awal,
Benar bukan,
William Birtrainy." Ucapnya pada sebuah cermin yang muncul tiba-tiba tepat didepannya, memantulkan sosok dirinya sendiri dalam kharisma yang sempurna.
.
.
.
.
"Hmmm..... Hummmmm.... Humm....."
"Kau kelihatan begitu bahagia, kenapa?" Tanya Ririn pada anaknya.
"Aku hanya senang saja dapat selalu bersama ibu." Ucap Seren kembali bersenandung bahagia.
"Ada-ada saja." Gumam Ririn tak habis fikir dan kembali melanjutkan kegiatannya.
Kini mereka berdua tengah merapikan beberapa barang, setelah membaca surat dari Golern, Gita merasa begitu bahagia.
Kini ia tak perlu lagi tinggal ditempat ini, setidaknya mereka berdua bisa menyewa rumah yang lebih layak dan Ririn dapat bekerja pekerjaan yang halal untuk memberikan kebutuhan Seren.
"Ibu," Ucap Seren mengintrupsi.
"Iya." Jawab Ririn.
"sebenarnya sudah lama aku ingin bilang tapi hanya bisa diungkapkan sekarang." Lanjut Seren menunduk.
"Apa itu anakku?" Tanya Ririn mendekati sang putri yang duduk dua langkah darinya.
"Seren ingin kembali sekolah bu. Seren tidak mau bolos lagi, sudah 2 minggu Seren tidak masuk." Jawab Seren langsung memandang Ririn.
Ririn langsung terkejut dan seketika pandangannya langsung menyendu.
"bersekolahlah, tapi sebelum itu kita harus mengemasi barang-barang ini dan pindah ke tempat baru agar Seren bisa lebih nyaman."
"Benarkah! Baiklah, Terimakasih banyak bu aku sangat menyayangi ibu." Kata Seren semangat langsung memeluk sang ibu dan dibalas hangat.
.
.
.
.
.
"Pak, sadarilah. Tanah ini sudah jadi milik pribadi, pemerintah juga sudah tidak ambil pusing lagi dengan sekolah buluk ini." Ucap pria itu, Vein duduk dengan angkuh didepan pak Bino sang kepala sekolah.
Brakkkkk!
Meja digebrak, pak Bino langsung berdiri dari tempat duduknya "Tidak bisa, dan tidak akan pernah." tolak pak Bino tegas.
"Pak tua ini keras kepala sekali." Gumam Vein jengkel.
"Sudahlah, aku juga tidak mau berlama-lama berdebat denganmu, yang jelas tanah ini sudah sengketa. Aku berharap kau dapat menyikapi hal ini dengan benar, terima kasih." Tutur Vein beranjak pergi.
"Ckhh! Orang yang sombong." Sindir pak Bino.
Sementara pak Ibram langsung mengambil amplop tersebut dan membuka isinya.
"Ini uang pak Bino." tutur pak Ibram mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah.
"APA!" Teriak pak Bino langsung menoleh.
.
Tbc
.........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments