Chapter 3 : The Four Silver Hair

Zielle membuka mata melihat langit-langit dalam keadaan gelap tanpa cahaya. Kamarnya begitu gelap. Bahkan gorden tertutup menghalangi sinar rembulan.

Mengingat kembali apa yang terjadi tadi, Zielle masih tidak percaya dengan itu semua. Jika itu mimpi, terlalu nyata untuk sebuah mimpi. Berulang kali ia meyakinkan diri bahwa semua itu hanya mimpi, mengabaikan luka di tangannya yang menghilang.

Dia beranjak dari ranjang dan menyalakan lampu. Sinar terang memasuki mata sehingga membuatnya sedikit menutup mata karena silau.

Melangkahkan kaki ke luar kamar, melihat lorong yang sepi dan bersih. Pikirannya masih berusaha mencerna kebenaran walau terus berusaha membohongi diri sendiri.

Ketika Melewati tangga, dia menyadari sesuatu yang aneh. Pandangannya terarah pada lorong di mana kamarnya dan orang tuanya berada. Sesuatu mengganjal di kepalanya, tapi dia melupakan apa yang membuatnya mengganjal.

Lama berpikir, akhirnya dia menyadari sesuatu yang salah. Di pinggir lorong, tepatnya depan kamar Zielle seharusnya selalu ada vas kesayangan Vega. Lalu di mana vas itu berada?

Berusaha positive thinking, Zielle pikir Vega memindahkannya ke tempat yang lebih baik dibanding lorong. Ia menghela napas sebelum akhirnya seseorang memanggil.

"Zielle."

Suara Vega memecah lamunannya dan menatapnya di bawah tangga. Tampak rambut peraknya berkibar disertai raut wajah gelisah.

"Ibu ...." Zielle masih linglung. Pikirannya berputar-putar seperti gangsing sehingga membuatnya tidak bisa berpikir kembali.

Zielle menuruni anak tangga satu per satu dan berhadapan dengannya. Tidak ada rasa takut, semua hanya rasa penasaran. Berharap kejadian tadi hanya mimpi.

"Aku pikir sudah saatnya kamu tahu."

Zielle tidak menjawab. Raut wajah Vega tampak serius dicampur gelisah. Bahkan Jack di sofa merenung sendirian memikirkan sesuatu. Zielle sangat berharap kejadian itu semua hanya mimpi walau mereka harus bohong.

Vega pergi ke arah sofa dan duduk di sebelah Jack yang masih merenung. Zielle mengikuti, duduk di depan mereka seakan menjadi tokoh utama di pembicaraan ini.

"Maaf kami tidak pernah memberitahumu selama ini." Vega tampak murung, begitu pula Jack. Kemudian raut wajah mereka kembali serius. Ia berkata, "Kami bukan orang tua kandungmu."

Ucapan Vega bagai ribuan pisau yang menusuk Zielle. Jantungnya terasa berhenti, dia ingin menangis tetapi keadaan tidak mendukung karena dia harus tampak kuat. Zielle tidak percaya semua ini.

"Tidak lucu." Zielle bicara dengan datar kemudian memaksakan senyum di bibir. "Ini bulan April, seharusnya ini April-mop, 'kan?"

"Menurutmu hal ini bisa menjadi lelucon?" Jack bicara dengan serius sehingga senyuman paksa Zielle luntur menjadi kekecewaan. Tetap saja Zielle tidak ingin percaya omong kosong ini.

Vega bicara dengan lesu. "Kamu pasti terkejut ketika melihat kami berubah. Penglihatanmu tidak salah dan itu semua bukan mimpi ...."

Zielle semakin dibuat tercengang. Dia merasakan tubuhnya bergetar hebat disertai jantung yang tidak normal. Zielle tidak tahan lagi. Dia tidak ingin mendengar. Ia sudah dapat menebak apa yang ingin dikatakan dan tidak ingin mendengarnya.

"Kami Vampir."

"Tidak! Kenapa kalian bohong! Aku tidak ingin percaya!" Ucapan itu terlontar begitu saja seraya menutup telinga. Air mata sudah menetes di pipinya. Dia menunduk menyembunyikan wajah rapuh itu karena selama ini ia tidak pernah menangis sedikit pun.

Jack melanjutkan, "Zielle, kami tidak pernah bermaksud membohongimu."

Zielle tetap tidak mau dengar. Andai dia bawa earpods, pasti sudah digunakan sejak tadi. Lebih baik tidak tahu apapun dibandingkan harus mengalami hal buruk hanya karena kebenaran. Zielle tidak ingin menerima kebenaran.

"Beberapa hari lalu ada Vampir menyerang kami, memaksa kami berubah menjadi Vampir. Kami takut mengatakan padamu karena merasa kamu belum siap."

Zielle tidak pernah siap. Bahkan hingga saat ini, dia merasa tertekan sekaligus dihujami ribuan batu. Dadanya terasa sesak mendengar itu semua hingga membuatnya tidak bisa berkata-kata. Ia sangat marah!

ᴘᴇʀᴄᴀʏᴀʟᴀʜ

Bisikan itu lagi-lagi menembus telinga. Ingin sekali Zielle menulikan pendengaran agar tidak mendengarkan perkataan mereka.

"Zielle, ada hal yang harus kamu tahu tentang dirimu sendiri." Vega melanjutkan bicaranya.

Entah dorongan dari mana, Zielle membuka mata menatap mereka. Ada rasa penasaran, tapi dia juga tidak ingin tahu.

"Kamu adalah Vampir."

Gadis itu mematung seketika, menatap mereka dengan mata membulat. Bagaimana mungkin Zielle Vampir sedangkan dia tidak pernah merasa minum darah. Apa mereka yang merubah Zielle?

"Jangan salah paham terlebih dahulu." Jack cepat-cepat membenarkan ucapan Vega. "Sejak orang tua kandungmu menitipkanmu pada kami, kamu terlahir sebagai Vampir. Semua yang kamu punya: rambut putih, mata merah, itu adalah karakteristik Vampir murni."

"Kami tahu tentang kamu yang bicara dengan bayangan. Itu adalah kemampuanmu sebagai Vampir. Kemampuan itu mulai aktif ketika umurmu beranjak 17 tahun." Vega melanjutkan.

"Bicara dengan bayangan?" Kepala Zielle semakin berputar memikirkan banyak hal. Bagaimana bayangan bisa bicara? Ini mustahil!

"Kami tidak tahu banyak. Ketika kamu sudah berada di Dunia Vampir, kamu akan tahu mengenai semua kemampuanmu sebagai Vampir murni." Jack menjelaskan lebih lanjut.

Zielle tidak tahu harus tertawa atau menangis. Ini benar-benar konyol! Jika Zielle Vampir, kenapa dia phobia darah? Kenapa tiap kali melihat darah selalu pingsan? Bukankah aneh jika Vampir takut dengan darah?

"Sebenarnya itu bukan ketakutan akan darah. Kamu tidak minum darah setiap hari melainkan mengkonsumsi sedikit darah dari makanan manusia, itu sebabnya ketika melihat darah, kau akan terlalu sensitif dan merasa haus hingga mengakibatkan pingsan." Jack menjelaskan seakan membaca pikirannya.

Zielle semakin tidak bisa berkata-kata. Segala kenyataan yang dialami, ia tidak ingin mempercayainya. Tapi mereka memaksanya untuk percaya. Ini sulit diterima. Apa lagi kenyataan bahwa orang yang selama ini dianggap orang tua, ternyata bukan orang tua kandung. Bukankah itu terlalu sakit?

Zielle pergi begitu saja menaiki tangga dan berlari ke kamar. Menjatuhkan diri ke atas kasur dan melepas segala emosi. Air mata membasahi bantal. Meski mengeluarkan air mata, raut Zielle tidak berubah. Hanya ada kekosongan.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Matahari menyelinap masuk melalui gorden yang tertutup memberi cahaya pada sebuah ruangan sunyi. Di sana seorang gadis merenung di sudut ranjang dengan tampang kacau. Mata panda disertai sembab, rambut acak-acakan, dan wajah pucat lesu yang menampilkan bahwa dia tidak baik-baik saja.

Zielle tidak siap menerima kenyataan pahit yang menghujamnya berkali-kali. Semua ini terlalu tiba-tiba sehingga membuatnya nyaris gila.

Sepanjang berpikir, ini semua terlalu sia-sia. Pada akhirnya dia akan menerima segala takdir dan tidak pernah bisa menjadi Manusia. Zielle ingat betul telepon misterius yang mengatakan seseorang akan berkunjung pukul 9 malam.

Jadi apa pun resikonya, dia hanya bisa menelan mentah-mentah. Ini adalah kehidupan baru, walau tidak beda jauh, tapi beda kebenaran identitas dan cara berpikir. Zielle tidak akan mewarnai rambut lagi dan dengan berat hati menerima kenyataan bahwa dirinya adalah Vampir.

Setelah selesai membenah diri, Zielle turun ke bawah. Melihat Jack di ruang makan sedangkan Vega di dapur memasak sarapan. Tidak akan ada yang berubah, kecuali rambut Vega yang tampak hitam.

Vega menyadari kehadiran putrinya dan langsung menyapa. "Zielle, kau sudah bangun. Sarapanlah."

Tidak banyak bicara lagi, Zielle melangkah ke meja makan dan duduk di tempat biasa. Seperti biasa, Jack bersama dengan korannya sedangkan Vega mempersiapkan sarapan di meja. Zielle merasa lebih baik karena tidak ada yang berubah setelah kejadian semalam.

"Kau mewarnai rambutmu? Sangat bagus." Zielle memuji Vega dan menampilkan senyum samar. Sejujurnya, Zielle masih sulit tersenyum.

Vega tersenyum lebar meraba rambut sebahunya. "Sebenarnya, ini warna asli."

"Oh?" Zielle mengerti sekarang. Selama ini Vega menggunakan cat rambut perak agar sama sepertinya sehingga Zielle tidak merasa paling berbeda.

Setelah membersihkan dapur, Vega duduk di tempatnya lalu melahap makanan di meja begitu juga Zielle dan Jack. Ini lebih baik dari semalam.

"Aku memiliki pertanyaan." Entah dorongan dari mana tiba-tiba Zielle bicara tanpa berpikir. Alhasil, dirinya gugup ketika orang tuanya menoleh menunggu pertanyaan.

Melihat keraguan Zielle, Jack memutuskan menyahutinya seakan membaca pikirannya, "Kau bertanya tentang makanan Vampir?"

Zielle terdiam. Dia tidak tahu bagaimana Jack bisa tahu isi pikirannya sedangkan dirinya belum mengungkapkan.

"Ayah memang bisa baca pikiran setelah menjadi Vampir."

Zielle mengangguk paham. Jadi Jack akan lebih peka dari sebelumnya karena kemampuan baru itu. Pantas saja sebelumnya selalu sangat peka akan pengganjal pikirannya.

"Zielle, sebenarnya kami tidak bisa hidup tanpa darah sepertimu." Jack melanjutkan ucapannya menjawab pertanyaan Zielle.

"Lalu, di mana orang kemarin?" Zielle bertanya lagi.

"Jika tidak menjadi Vampir, seharusnya sudah mati," jawab Vega membuat Zielle terkejut. Vega melanjutkan, "Itulah kehidupan Vampir biasa."

"Bagaimana denganku? Aku tidak pernah merasa pernah minum darah apa pun." Zielle bicara dengan ragu. Itu selalu menjadi pertanyaan utama sejak semalam.

"Vampir murni bisa bertahan meski tidak minum darah. Penggantinya, kamu harus memakan makanan manusia," kata Vega. "Ketika masih kecil, kamu hanya bisa minum darah sampai gigi tumbuh. Itu pun untuk pertumbuhan harus minum darah rutin seminggu sekali. Biasanya, kamu paling suka darah kelinci. Tetapi setelah berumur 12 tahun, kamu mulai berhenti."

"Kenapa aku tidak sadar?" gumam Zielle sambil memijat-mijat dahinya. Bukankah ini terlalu aneh? Apa Zielle terlalu bodoh untuk menyadari sesuatu?

Vega terkekeh. "Tentu saja aku mencampurnya dengan makananmu."

Pantas saja Zielle mulai merasa memiliki phobia darah ketika berumur 12 tahun bertepatan di mana dia berhenti minum darah. Rumit juga menjadi Vampir.

Zielle menatap orang tuanya bergantian, ingin mengucapkan sesuatu walau ragu karena terlalu sensitif untuk seorang Vampir. "Ayah, Ibu, jangan menculik manusia lagi."

"Kami mengerti perasaanmu." Jack menjawabnya dengan enteng.

"Aku akan keluar membeli persediaan darah beku untuk kalian. Juga, aku akan mengambil dari bank darah jika kalian ingin darah manusia." Kata 'mengambil', lebih tepatnya 'mencuri'. Mana ada darah manusia dibeli begitu saja. Yang ada staff bank darah mencurigainya apalagi rumor Vampir semakin meledak.

"Biar aku saja." Jack ingin mengambil alih, namun Zielle langsung menghentikannya.

"Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Anggap saja sebagai latihan untuk terbiasa." Zielle langsung menyambar kunci mobil dan mengenakan jaket yang digantung di sebelah pintu.

"Tapi—"

"Aku pergi!" teriaknya selagi berlari keluar rumah.

Pada umumnya, Vampir biasa seperti mereka takut terhadap sinar matahari sedangkan matahari pagi ini begitu terik, berbeda dari kemarin. Itu sebabnya Zielle mengambil alih.

Zielle mengenakan jaket dan mengendarai mobil dengan kecepatan konstan menuju pasar. Ia membeli darah beku di pasar dengan tenang. Tidak ada yang curiga, karena darah beku biasa dimasak oleh Manusia untuk bahan tambahan masakan. Tidak ada yang curiga pula akan rambut perak dan mata merah Zielle.

Omong-omong, cat rambutnya telah luntur semua sejak mandi pagi. Tidak tahu apa alasan cat rambutnya lebih mudah luntur dalam beberapa minggu, padahal ia sudah beli cat rambut permanen.

Setelah selesai membeli dua kantong darah beku, Zielle meletakkannya ke dalam mobil bagian belakang kemudian meraih pintu bagian depan.

ᴍᴇʀᴇᴋᴀ ᴅᴀᴛᴀɴɢ

Suara bayangan yang terdengar bersamaan lagi-lagi terdengar. Zielle sedang berusaha membiasakan diri dan hanya menangkap hal yang penting saja. Lagi pula, siapa yang datang menemuinya?

"Vampir murni?"

Suara itu membuat Zielle terkejut dan menoleh ke belakang. Tampak sosok gadis sebaya memiliki rambut putih dan iris mata merah. Dia tampak mungil dengan tinggi badan yang sedikit lebih rendah.

"Kamu ...."

Dia mengulurkan tangan pucatnya dengan senyuman ceria. "Cynthia Jehanne ...."

"Zielle ... Eugenie," balas Zielle ragu.

"Kau membeli darah beku? Sangat tercium dari sini, kebetulan aku sedang lapar."

"Itu—"

"Hanya bercanda. Lagi pula, aku memiliki banyak di asrama."

Pikiran Zielle berputar ketika gadis bernama Cynthia tersebut mengatakan tentang asrama. Apa dia dari sebuah sekolah? Dilihat dari ciri fisik, dia adalah Vampir murni seperti Zielle.

"Cynthia, kau lari sangat cepat. Bagaimana kalau hilang? Kami bisa dimarahi McGraw. Bagaimana jika ada Vampir yang memburumu? Kau tahu sendiri Vampir di sini sangat gila."

"Calix, kau sangat berisik!" Cynthia menutup telinganya dengan kedua tangan.

Zielle semakin tertegun ketika sosok pria dengan ciri fisik Vampir murni tiba-tiba bicara panjang lebar menegur Cynthia. Bukan hanya satu, dua lainnya ikut mendekat!

Mereka semua sangat tinggi sehingga Zielle merasa tenggelam. Walau ada Cynthia yang lebih pendek dibandingkan Zielle, tetapi tetap saja. Ketiganya memiliki paras rupawan yang jarang terlihat, bahkan Antonio kalah tampan.

Terutama salah satu dari mereka yang memasang wajah tidak peduli seolah mengatakan "Menjauhlah dariku", kira-kira seperti itu. Zielle menyipitkan mata ketika iris merah pria itu bertukar pandang dengannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!