Sashi mengemudikan mobilnya untuk kembali ke kantor. Dia masih menggantungkan pertanyaan yang diucapkan Laila barusan.
"Sa, apa dia kekasihmu?" tanya Laila lagi. Dia belum puas karena tidak mendapatkan jawaban apapun.
Deg!
Dia bukan kekasihku, La. Dia suami siriku. Maaf, aku tidak bisa mengatakannya padamu.
"La, sudah kukatakan kalau dia itu temanku. Namanya Puguh."
"Ooo, mas Puguh. Ganteng ya, Sa?" ucap Laila cengar-cengir melirik Sashi.
Mobil yang dikendarainya sampai di tempat parkir. Bersamaan dengan itu, Fathan keluar dari mobilnya. Dia baru saja keluar untuk makan siang.
"Sashi, setelah ini masuklah ke ruanganku." Fathan langsung meninggalkan karyawannya begitu saja.
Walaupun Fathan menyukai Sashi, namun tidak pernah sedikitpun terdengar desas-desus mengenai hubungan mereka. Fathan selalu bersikap baik kepada siapa pun sehingga tidak sekali pun menimbulkan kecurigaan. Apalagi sampai membuat Sashi merasa tidak enak dengan rekan kerjanya yang lain. Fathan hanya ingin membuat Sashi nyaman di tempat kerjanya.
"La, aku masuk ke ruangan pak Fathan dulu, ya," pamit Sashi.
"Sa, tolong pertimbangkan kembali permintaan pak Fathan. Tak ada pria sebaik dirinya." Laila merasa kasihan pada Sashi. Dia hidup sebatang kara tanpa kedua orang tuanya.
"La, sejak awal sudah kukatakan kalau aku menolaknya. Tidak ada lagi yang perlu dipertimbangkan. Ini jawaban yang tepat. Pak Fathan itu langit. Aku tidak akan mungkin bisa menggapainya." Sashi terus saja berkilah agar Laila berhenti untuk membuat Sashi berada di persimpangan.
Perdebatan yang tak kunjung usai itu akhirnya ditinggalkan Sashi begitu saja. Yang terpenting saat ini menghadap bosnya itu. Entah apa yang akan dilakukan duda berumur itu?
Tok tok tok.
"Masuk," jawab Fathan.
Ceklek. Sashi membuka pintu kemudian menutupnya kembali.
"Silakan duduk," perintah Fathan.
"Terima kasih, Pak."
Fathan menyandarkan tubuhnya pada kursi kerjanya. Sesaat dia memejamkan mata sejenak untuk mengatur irama jantungnya yang tidak beraturan. Setelah dirasa cukup nyaman dan yakin, Fathan kembali duduk dengan tegak dan menatap dengan intens ke arah Sashi.
Sashi sudah tidak peduli lagi ditatap seperti itu. Dia cukup mengikuti apapun yang akan bosnya katakan.
"Sashi, kolegaku mengadakan makan malam bersama. Aku tidak tahu harus mengajak siapa. Aku teringat dirimu. Maukah kamu menemaniku menghadiri makan malam itu? Ehm, maksudku anggap saja kita pergi sebagai atasan dan bawahan. Tidak lebih," ucap Fathan. Kalaupun pada akhirnya Sashi tidak mau, dia juga bisa pergi sendiri. Sayang saja kalau kesempatan bagus dilewatkan begitu saja.
"Maaf, Pak. Kalau hanya pergi berdua saja, saya tidak bisa. Kecuali saya mengajak Laila."
Sashi tidak mungkin bisa menolak ajakan bosnya itu. Namun, kalau dia pergi sendirian, maka itu akan membuat masalah baru dalam hidupnya.
Fathan sendiri tidak bisa memaksakan kehendak dan harus memaklumi keputusan bawahannya itu. Sashi memang tidak ada ikatan khusus dengannya. Maka dari itu, daripada gagal untuk pergi makan malam bersama, lebih baik Fathan menerima tawaran Sashi untuk membawa Laila ikut serta dalam acara tersebut.
"Baik. Kamu bisa ajak Laila. Restoran AB, besok malam tepat pukul tujuh. Kamu mau dijemput atau bagaimana?"
"Saya akan berangkat bersama Laila. Kita bisa bertemu di sana, Pak."
"Baiklah. Saya akan mengirimkan gaun untukmu dan Laila. Ini acara semi formal. Saya ingin semuanya berjalan sebagaimana mestinya."
"Terima kasih, Pak. Kalau sudah tidak ada yang dibicarakan lagi, saya undur diri," pamit Sashi.
"Silakan."
Ada alasan khusus kenapa Sashi tidak menolak ajakan Fathan begitu saja? Lebih baik dia menawarkan untuk mengajak Laila. Rekan kerjanya itu selalu mengharapkan bisa mengikuti acara seperti ini. Laila pasti senang kalau dirinya akan ikut makan malam bersama kolega bosnya.
"Sa, kenapa lagi bos Fathan memanggilmu? Masih ada urusan lagi dengan lamarannya?" tanya Laila yang baru saja bertemu dengan Sashi di ruangannya.
"Bukan. Bos Fathan akan mengajak kita makan malam bersama kolega besok malam."
Binar bahagia nampak di wajah Laila. Ini kali pertamanya untuk ikut andil dalam acara besar seperti itu. Ini impian dan cita-citanya.
"Sumpah demi apa, Sashi? Aku tidak sedang bermimpi, kan? Bagaimana mungkin bos mengajak kita pergi dinner dengan kolega? Ah, rasanya aku ingin guling-guling sekarang."
Bahagia. Itulah yang dirasakan Laila. Impiannya akan terwujud besok malam. Walaupun mereka akan pergi bertiga, setidaknya Laila bisa bertemu dengan orang-orang penting di sana.
"Kalau begitu, sepulang kerja kita langsung ke butik, ya. Aku akan membeli gaun untuk datang ke acara besok. Rasanya aku sudah tidak sabar, Sashi."
Sashi hanya tersenyum melihat tingkah rekan kerjanya.
"Tidak perlu beli gaun. Bos akan mengirimkannya untuk kita berdua. Katanya acara semi formal, jadi kita cukup mengikuti arahannya saja."
"Wah, benarkah?" Laila mencubit tangannya sendiri. "Auw, sakit! Ini bukan mimpi rupanya."
Bagi Laila, Sashi adalah dewi keberuntungannya kali ini. Semenjak dekat dengannya, banyak kebahagiaan yang telah didapatkan Laila.
"Tidak. Ini nyata, Laila. Apa yang sebenarnya ingin kamu buktikan di sana?" Sashi hanya penasaran. Kenapa dia sangat antusias dengan acara makan malam itu?
"Ehm, seperti impianku. Siapa tahu aku bisa mengenal pria kaya dan menjadikanku istri. Jadi, aku tak perlu lagi bekerja di perusahaan bos Fathan."
"Kenapa tidak kamu saja yang menikah dengan bos Fathan?"
Deg!
Ucapan Sashi benar-benar membuat Laila kesal.
"Kamu pikir aku mau jadi pelakor sahabatku sendiri."
Deg!
Sashi merasakan ucapan Laila barusan langsung menghujam ke ulu hatinya. Dia bahkan sudah menjadi pelakor di dalam kehidupan rumah tangga orang lain. Rasanya sesak sekali.
"Bukan begitu, Laila. Mungkin saja-"
"Tidak mungkin, Sashi. Bos Fathan itu hanya menyukaimu. Aku juga tidak akan seburuk itu merebut apa yang bukan menjadi milikku."
Lagi-lagi ucapan Laila mengena di ulu hatinya. Dia perempuan yang baik. Sashi merasakan bahwa hidupnya benar-benar buruk.
"Kalau kita tidak sengaja menjadi orang ketiga dalam hubungan orang lain, apa itu salah?" Sashi hanya ingin tahu apa tanggapan Laila.
"Ck, kamu itu lucu, Sashi. Mana ada orang tidak sengaja jadi pihak ketiga dalam hubungan seperti itu. Semuanya pasti ada unsur kebetulan. Nah, kalau memang tidak mau jadi orang ketiga, ya harus menolaknya dong."
Deg!
Bahkan itu tidak bisa dilakukan oleh Sashi. Dia terpaksa menerima menjadi orang ketiga walaupun sebenarnya tidak ingin. Laila benar. Dia harus menolaknya lagi walaupun ini sudah terlanjur. Sashi terdiam. Dia berusaha memikirkan cara untuk membuat Puguh lekas menceraikannya.
Apa sebaiknya aku datang ke rumah mertuaku dan meminta bantuannya, ya? Ehm, tapi percuma juga. Mas Puguh sudah menolak permintaan talak yang kuajukan. Aku harus bagaimana sekarang?
"Sashi, apa yang sedang kamu pikirkan? Kamu tidak berniat menjadi pelakor, kan?"
Deg!
Apa yang harus dijawab dari pertanyaan Laila barusan? Apakah Sashi harus jujur mengenai kondisinya saat ini? Itu tidak mungkin. Malah akan memperkeruh keadaan.
"Ingat, Sashi. Aku tidak suka memiliki teman yang menjadi pelakor."
Rasanya Sashi seperti disidang di tempat. Dia seperti tersangka utama dalam hal ini. Andaikan Laila tahu, mungkin saja rekan kerjanya itu akan langsung menolak berteman dengannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Yosei Viena
sashi juga goblok gk bisa memutuskn sendiri knpa gk cerita ama shabatnya kli aja dia bisa bntu nyari jalan keluarnya udha sbtang kara apa apa sok sndiri
2022-08-03
0
Sukliang
aduhhh laila bener2 kepo
2022-06-10
0
ossy Novica
Mana mau Puguh menceraikan Sashi secara Sashi cantik dan mandiri perawan lagi. Bila Puguh sudah dapatin perawan Sashi trus Sashi tak hamil2 baru Puguh ceraikan.
2022-05-29
1