Jijik?
Tidak.
Bagi Linggar, tiada sesuatu yang menjijikan dari pandangan matanya untuk Shanum. Cantik, lemah lembut dan anggun, itu adalah semua hal yang dapat dirinya gambarkan dari sang istri. Sedangkan kebaikan hati telah Linggar rasakan sejak pertemuan pertama.
Shanum salah.
Mengapa harus mengatakan bahwa dia adalah bekas orang lain? Sedangkan di sini Linggar mati-matian menyakinkan diri bahwa Shanum adalah miliknya. Dan hanya, tangan miliknya yang boleh menyentuh setiap jengkal tubuh Shanum.
Orang itu. Linggar benar-benar tidak akan melupakan wajah bajingan yang berani menyentuh Shanum. Di jeruji besi pun ia tidak akan membuat orang itu nyaman hidup. Karena keharusan hidup seorang pelaku itu harus menderita. Gari adalah orang yang tepat untuk menjadi sumber keinginan tahuan tentang Djoko. Bahkan sampai detik ini pun, ia masih memantau, dan uang hanya selembar kertas saja. Linggar bisa mengeluarkan sebanyak mungkin untuk kenyamanan hidup istrinya.
"Atau ..." Shanum menatapnya. "Kamu ... mau ceraiin aku? Aku bener-bener nggak pa-pa, Linggar. Kehidupan per-nikahan lima bulan ini udah lebih dari buat aku bahagia."
Linggar sedikit menunduk, menatap tangan Shanum yang ingin sekali ia genggam. "Sayang ... apa aku kelihatan nggak cinta, ya sama kamu?"
"Apa aku juga kelihatan nikahi kamu cuma buat sentuh-sentuh kamu aja?" lanjut Linggar.
Hati Linggar jujur sangat sakit. Tercabik, rasanya. Air mata Shanum jatuh, begitu pula hatinya porak-poranda. Segala ucapan Shanum selalu menjelaskan bahwa semua laki-laki di mata istrinya itu sama.
Bajingan, katanya.
Padahal Linggar selalu berusaha sebisa mungkin, untuk tidak melibatkan keinginannya dalam mencintai Shanum. Namun mengapa rasanya percuma saja? Mata yang semula menatap jernih kini sedikit buram, karena ternyata di pipi kirinya telah jatuh air mata. Ia menangisi semua ini.
"Pernikahan kita baru berjalan lima bulan. Kamu mungkin belum tahu aku gimana orangnya. Bahkan aku juga dalam tahap mengenal kamu lebih dalam." Linggar menunduk, mengalihkan pandangan matanya dari tangan Shanum. "Tapi, apa kamu nggak bisa lihat? Kalau perasaan aku ke kamu ini beneran ada? Aku nggak pernah berpikir kamu itu beban. Aku malah bahagia waktu di hari pertama kamu jadi istri aku."
"Aku ngerasa jadi manusia paling beruntung, Sayang. Aku bahagia banget. Apa kamu nggak ngerasa gitu juga waktu aku nikahin kamu?" sambung Linggar.
"A-ku bahagia," cicit Shanum.
Linggar tersenyum tipis, dengan sisa air mata di pipinya. "Aku seneng kamu bahagia. Berarti itu tandanya aku nggak salah buat ambil keputusan nikahi kamu."
"Salah, Linggar," lirih Shanum. "Menikah sama aku, cuma ... buat kamu menunda hasrat kamu."
"Lagi-lagi kamu bicarain ini?"
Shanum menatap Linggar yang masih menunduk. "Kamu memang bisa bicara bohong. Tapi tubuh kamu malah sebaliknya."
Tubuhku? Jadi ... kamu lihat? batin Linggar yang kini menengok. Matanya langsung bertemu dengan Shanum. "Kalau aku e*reksi berarti aku normal, kan? Aku juga bisa ngatasi itu sendiri."
Shanum langsung memutuskan kontak mata.
"Kamu mau selamanya gitu?" tanya Shanum.
Linggar menatap istrinya, tanpa menjawab.
"Atau lebih baik kamu sewa perempuan saja?" Mata Shanum berkaca-kaca lagi. "Aku nggak masalah tentang itu, Linggar. Selama aku masih bisa hidup sama kamu, aku bahagia."
"Aku bilang, aku bisa ngatasi itu sendiri," tegas Linggar menjawab istrinya.
Shanum terdiam.
"Kalau aku memang mau sewa perempuan-perempuan itu, aku bisa sewa semuanya. Setiap hari bahkan setiap menit pun aku bisa, Shanum." Linggar mencengkram erat seprai ranjangnya. "Uang aku nggak akan habis. Aku bakalan puas. Tapi sama aja, ujung-ujungnya nggak bakal senikmat yang aku bayangin."
Aku maunya kamu, Sayang, batin Linggar dengan mengangkat tangannya, ia tidak bisa bertahan lagi. Apa Shanum akan beraksi lebih saat ia menyentuh tangan istrinya itu? "Shanum ..."
Tangan Shanum merasa hangat.
"Aku minta maaf. Aku memang ke klub buat hindari masalah ini yang nggak mau hilang di otak aku. Tapi aku nggak tahu tubuh aku bakal beraksi kayak gitu." Linggar menjeda. "Kamu pasti takut. Tapi kamu harus percaya karena laki-laki yang kamu nikahi ini aku."
"Aku nggak bakalan maksa kamu. Bahkan dalam keadaan mabuk pun aku masih maksa otak aku buat tetep waras di hadapan kamu," lanjut Linggar.
Shanum berdebar-debar.
"Sayang ... bisa nggak sekali ini aja, atau mungkin beberapa hari, minggu, bahkan bulan di pernikahan yang kita jalani. Aku minta kamu buat berhenti bahas ini." Linggar menarik tangan Shanum mendekat pada bibirnya. Dikecup perlahan-lahan, di bagian punggung dan telapak. "Aku capek. Kamu pasti juga capek, kan? Aku minta kamu nggak usah peduliin ucapan Mama atau siapapun."
"Aku mau kamu berhenti sedih. Aku nggak bisa lihat kamu nangis. Aku sakit banget ... lihatnya, Sayang," sambung Linggar.
Pipi Shanum memerah. Sentuhan Linggar tidak pernah lebih dari ini, mungkin tadi pinggangnya di sentuh dan sekarang salah satu tangannya di kecupi. "Aku ... minta ma-af."
Linggar menggeleng, salah satu tangannya mengusap kedua pipi sang istri. "Kamu nggak salah apa-apa, Sayang."
Kamu selalu gini. Padahal menurut aku salah aku itu banyak, batin Shanum menunduk.
"Sayang, kamu nggak laper?"
Shanum mendongak menatap Linggar. "Kamu laper?"
"Aku tanya kamu, Sayang."
"Se ... dikit," cicit Shanum.
Dari cctv Sambara melihat jelas kedua pasangan suami istri itu sedang sibuk memasak bersama. Padahal sudah hampir masuki waktu sebelas malam, tetapi kedua orang itu masih berkutat saja.
Beberapa menit yang lalu Sambara sempat melihat bahwa keduanya baru saja keluar dari kamar. Ia tidak tahu apa yang terjadi di dalam. Bahkan tidak bisa melihat dengan jelas ekspresi Linggar dan Shanum.
"Sam."
Suara itu terdengar dari Arista. Istrinya ... bukankah tadi masih sibuk mengerjakan sesuatu? Apa sudah selesai? Sambara secepatnya menutup laptop lalu menatap lurus pada pintu ruang kerjanya yang terbuka.
"Aku di dalam," jawab Sambara.
Arista mendekat. Kemudian mengambil duduk di hadapan Sambara dengan menopang dagu.
"Ada apa?" tanya Sambara.
Arista menggeleng. "Aku cuma mau nunggu di sini. Jadi, silakan selesaikan perkejaan kamu."
"Sudah selesai," jawab Sambara.
Arista tersenyum tipis. "Sam, aku mau bertanya."
"Apa?"
"Sebagai laki-laki pandangan kamu dalam melihat penampilan perempuan itu bagaimana? Atau kamu jawab ... dari cara pandang laki-laki juga boleh."
Mendengar pertanyaan Arsita Sambara sedikit mengerut kening. Bahkan ia melepas kaca matanya sejenak. "Pandangan bagaimana yang kamu maksud, Arista? Dari segi positif yang menilai perempuan dari sisi kekaguman atau dari segi negatif yang menjadikan perempuan sebagai objek se*ksual?"
"Keduanya," jawab Arista singkat.
"Laki-laki adalah makluk visual. Sangat menyukai keindahan. Jadi tidak jarang kami cenderung menuntut pasangan untuk selalu menjaga penampilan diri. Bahkan patokan fisik yang baik akan membuat kami bertahan dengan perempuan ini. Singkatnya perempuan yang bersama kami harus masuk dalam kategori 'cantik yang kami inginkan'." Sambara menyugar surainya. "Itu dari segi positifnya. Karena kamu bilang kan penampilan, bukan hati dan semacamnya. Jadi tidak salah jika aku hanya menilai dari fisik saja, kan?"
Arsita mengangguk. "Kamu benar. Lalu selanjutnya ... segi negatifnya, Sam?"
"Menurut filsafat sosial. Objektifikasi berarti memperlakukan seseorang seperti barang tanpa mempertimbangkan martabat." Sambara menjeda. "Sedangkan perempuan itu bukan barang, kan, Arista? Kamu dan perempuan lainnya juga manusia. Tapi sebagain otak manusia, tidak luput perempuan dan laki-laki bisa dengan mudah merendahkan martabat orang lain dengan pikirannya sendiri."
"Dengan ... pikirannya sendiri?" tanya Arista yang tidak mengerti.
Sambara mengangguk pelan. "Iya."
"Aku permisalkan begini. Kita adalah sepasang suami istri. Di dalam agama maupun norma sosial batasan seorang laki-laki atau suami dalam memperlakukan istrinya itu sudah di jelaskan dengan rinci, bukan? Bahkan dalam melakukan hubungan intim juga," jelas Sambara.
Arsita masih tidak mendapatkan jawab. Ia masih menunggu-nunggu.
"Tetapi permisalkan ... suatu ketika. Aku merasa bahwa aku ini lebih dari kamu. Atau katakanlah aku mendadak menjadi manusia yang paling semena-mena terhadap kamu" Sambara menjeda sejenak, ia ber-istighar beberapa kali, supaya tidak menjadi suami yang seperti itu. "Aku berpikir aku ini suami, aku yang mencari nafkah, aku yang menikahi kamu dengan mahar sebanyak itu. Jadi tidak masalah, bukan? Kalau aku ingin kamu melakukan ini dan itu sesuai keinginanku?"
"Bahkan dalam pikiran aku berfantasi hal-hal yang gila. Dan hubungan intim itu bukan lagi bisa katakan making love melainkan kesenangan sebelah pihak." Sambara berdeham sejenak. Kemudian menggaruk pucuk hidungnya yang tak gatal.
"Maka detik itu juga, kamu sebenarnya langsung bisa menilai, bahwa jika kamu melayani aku di ranjang. Itu bukan suatu kewajiban seorang istri di dalam pikiran aku. Melainkan itu adalah keinginan aku yang mengharuskan untuk kamu penuhi, tanpa adanya tapi," jelas Sambara.
Arsita menatap serius.
"Kiranya begitu sisi negatif laki-laki yang menjadikan perempuan objek se*ksual. Tapi ini versi di dalam pernikahan. Kalau di luar pernikahan ..." Sambara membangkit, mendekati Arista. "Aku rasa kamu juga tahu."
"Sudah selasai penjelasannya?" tanya Arsita dengan mendongak menatap Sambara.
"Sudah." Kedua tangan Sambara mengunci Arista di kursi. "Itu penjelasan paling ringkasnya."
"Lalu, kamu ... apa mungkin ... kamu akan seperti itu?" tanya Arista dengan tangan yang menyentuh pipi Sambara. "Aku jadi takut cuma kamu jadiin objek sek---"
"Aku tidak akan seperti itu, Arsita," sanggah Sambara yang menyusupkan tangan pada pinggang istrinya, lalu meminta Arsita berdiri dan berjalan bersama menuju kamar.
"Aku juga berharap semoga Linggar tidak seperti itu," lirih Arista yang masih terdengar oleh Sambara.
Jika Sambara mengingat-ingat lagi. Kehidupan pernikahannya yang berjalan satu tahun ini selalu berkaitan dengan Linggar dan Shanum. Sambara pikir hanya dirinya saja yang memikirkan sang Adik. Nyatanya, Arista juga. Sungguh saat ia memutuskan menikah ia takut kelak akan memiliki istri yang pencemburu. Ia takut mementingkan Shanum adalah hal buruk bagi istrinya.
Namun siapa sangka? Ia menikahi seorang wanita yang paling memedulikan Adiknya.
"Aku juga berharap begitu," jawab Sambara. "Aku menikahkan Linggar dengan Shanum. Karena aku percaya Linggar bukan laki-laki yang memiliki pandangan seperti itu pada perempuan."
Note:
•Setiap nulis scene Linggar Shanum iri banget gitu. Apa iya lakik kayak Linggar itu ada? Nggak usah kaya tujuh turunan yang penting kerja aja udah cukup.
• Sambara Arista ini tipe-tipe pasangan yang suka deep talk. Apa-apa bakal jadi bahasan mendalam. Jadi kalau kalian minta aku buat kisah mereka. Bentar dulu. Aku masih mikir gimana cara bikin konfliknya. Soalnya kedua orang ini sama-sama dewasa, apa-apa di bisa di bicarain baik-baik, kayak nggak pernah miss komunikasi. Beda sama pasutri yang biasanya saya buat. Sambara Arista kalau jadi cerita bakalan agak berat kayaknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
Santidew
hiks
2022-08-14
0
Santidew
LINGGAR🥺
2022-08-14
1
Santidew
🥺
2022-08-14
0