BAb 10
"Masa iya sih lo mau jadi suami gue kak? Lo kan suami dari almarhumah kakak gue? Gue sepertinya nggak bakalan mau menerima lamaran lo."
"Saat banyak sekali wanita diluaran sana yang berebut menjadi istriku, kau dengan ketus dan sombong menolak lamaranku? Seorang gadis buluk biasa yang tak punya apa-apa! Saya CEO Atalaric Corp, laki-laki terkenal dan sukses! Saya yakin kamu sedang jual mahal." ketus Alzam kesal seraya berdiri dari duduknya, lalu merapikan dasinya yang sedikit tidak rapi.
"Bukannya sombong, emang ada barusan perkataan gue yang sombong? jual mahal, atau apa, tapi emang lo ada rasa cinta yang beneran tulus ke gue? Gue sih mau menikah tapi sama laki-laki yang beneran sayang ke gue. Lagipula... perasaan kita nggak pernah dekat deh, bertegur sapa pun hampir jarang. Hanya saat pernikahan kakak gue dan lo dulu, lo pernah nyapa gue sekali aja. Dan sekarang tiba-tiba saja, nggak ada angin dan nggak ada hujan lo mau jadikan gue sebagai istri lo? Gimana gue nggak kaget coba? Lagian yang sombong itu lo kali bang bukan gue, lo kan selalu bersikap dingin ke gue, adik ipar lo! oceh Adiva mengingat semua keburukan-keburukan yang dilakukan oleh Alzam padanya dulu.
"Lo yang jauhin kak Zahra dari hidup gue!"
"Diam kamu! Jangan mengoceh di depan saya! Apalagi berani mengungkit hal yang sudah berlalu dan menjelek-jelekan saya!"
Adiva menghela nafas sembari melirik kesal kearah samping kemudian menatap ke Alzam lagi. Aura galak Adiva jadi keluar karena sikap menyebalkan Alzam.
"Gimana? Kamu nggak mau menerima lamaran saya? Kamu yakin, nggak mau jadi istri pria kaya raya dan ganteng seperti saya? Kamu yakin mau tetap tinggal di rumah yang jelek ini selamanya? Apakah kamu yakin nggak mau bangga saat tampil cantik dan menawan dalam resepsi besar yang akan aku adakan kala kita menikah nanti, jika kau mau menerima lamaran saya?"
"Jangan hina rumah gue! Rumah ini dibangun dengan keringat dan air mata, almarhum ayah dan ibu gue!"
Alzam jadi terdiam dengan wajah merasa berdosa. Tapi Adiva berpikir sejenak, dirinya masih terlalu muda bahkan kuliahnya dua tahun lagi baru wisuda. Belum lagi jadi istri Alzam yang nggak jelas ini.
"Buruan dong jangan kelamaan mikirnya!" desak Alzam.
"Ya lama lah! Ini bukan perkara sepele!" sahut Adiva berani.
Adiva menaikan bahunya perlahan seraya menarik nafas dalam-dalam, kemudian Adiva bilang dirinya tidak akan mau menikah dengan Alzam, dirinya ingin fokus kuliah saja toh dirinya masih bisa membiayai kehidupannya sendiri.
"Gue udah bulatin keputusan dalam waktu yang teramat singkat, gue nggak mau menikah sama orang yang nggak jelas kek lo. Masa iya gue mau menikah tanpa adanya rasa cinta sih?"
"Anggap saja kita kerjasama."
"Nikah kok kerjasama sih!"
"Oke saya jujur, sebenarnya saya itu mau menikah sama kamu dengan tujuan, supaya mama, mama Linda stop jodoh-jodohin saya sama orang yang saya nggak suka sama sekali. Please Adiva, bantuin saya? Kamu boleh minta apa aja yang kamu mau asalkan kamu mau menikah sama saya? Semua yang kamu mau, akan saya turuti!"
"Semua yang gue mau?"
Alzam mengangguk dingin. Adiva terkejut, ternyata ini adalah alasan dibalik tiba-tiba Alzam mengajaknya nikah. Tatapannya semakin tajam, aura galaknya semakin menjadi-jadi.
"Jadi, pernikahan kita nanti ibaratnya cuma pernikahan yang palsu ya kak? Emangnya gue bisa bahagia ya menikah kaya gitu. Gue...
Alzam memegang bibir manis Adiva menggunakan jari telunjuknya, memotong omongan Adiva hanya dengan satu sentuhan.
" Kamu pasti akan bahagia, saya jamin itu Adiva." ujar Alzam menenangkan hati Adiva.
Adiva tampak risau
"Beri gue waktu buat berpikir ya? Seenggaknya dua bulan yah?"
Dua bulan gigimu kuning! Dua minggu maximal! Saya mau secepatnya!"
"Hah, dua minggu? Apaan sih! Batal ah."
"Yaudah dua bulan. Ngambekan banget sih jadi calon istri." goda Alzam.
"Oke, saya akan beri waktu kamu dua bulan buat mempertimbangkan lamaran saya. Yaudah kalau gitu saya pergi dulu ya? Gerah lama-lama disini." sahut Alzam sembari mengelap peluh di dahinya kemudian berjalan pergi keluar dari rumah Adiva begitu saja.
Pada malam harinya, Adiva sedang termenung dibalik tirai jendela sembari mengamati hujan yang turun dengan cukup deras kala malam yang dingin ini. Kenyamanan seperti inilah yang disukai Adiva, Adiva sangat menyukai hujan, bahkan tak jarang ia sering menari dan bersenang-senang dibawah tetes air hujan.
Orang-orang seperti Adiva biasa disebut dengan seorang Pluviophile (seorang yang sangat menyukai hujan). Hujan adalah salah satu dari nuansa yang nyaman bagi Adiva, saat hujan datang adalah saat yang sangat tepat untuk merenungi diri. Merenung memikirkan masa depan dan Adiva kini sedang merenung akan lamaran pria itu.
"Apa bisa ya gue gantikan posisi kak Zahra di rumah itu? Jujur dibalik keberanian gue selama ini, gue menyimpan rasa takut! Gue nggak tahu ada hal apa di rumah itu? Tapi entah mengapa perasaan gue jadi nggak enak kaya gini ya? Segala sesuatu yang berhubungan dengan keluarga Atalaric itu sangat misterius bagi gue." ucap Adiva resah gelisah.
"Kalau gue terima lamaran kak Alzam, gue takut keluarganya nggak akan menerima gue yang bar bar dan jorok ini. Tapi kalau gue nggak menerima lamaran kak Alzam, gue nggak tahu bakalan kek gimana nasib gue kedepan. Kak Alzam kan seorang CEO ternama, dia bisa melakukan apa saja yang dia inginkan, termasuk menghancurkan hidup gue?"
Adiva sampai menonjok jendela karena saking bingungnya.
"Baru kali ini, gue se-dilema ini."
Adiva melemparkan dirinya keatas kasurnya yang mulai gepeng akibat usia kasur yang sudah terlalu lama digunakan, kemudian berusaha memejamkan matanya, tidur disaat sedang turun hujan adalah saat yang sangat nyaman. Tidak ada suara bising yang menganggu telinga.
Dua bulan berlalu
Rumah Adiva sudah direnovasi berkat bantuan Alzam. Adiva sangat terkejut dengan tukang bangunan yang berdatangan merenovasi rumahnya. Adiva jadi merasa tidak enak hati kepada Alzam.
Hari yang ditunggu oleh Alzam pun tiba, Alzam datang lagi ke rumah Adiva, kali ini dengan membawa satu buket bunga yang indah dan sebuah coklat besar.
"Assalamu'alaikum Adiva?" ucap Alzam didepan pintu.
Adiva tidak langsung membuka pintu, karena sedang berdiri mematung didalam kamarnya. Adiva rasanya ingin mati saat ini juga. Berkali-kali dirinya berusaha menahan nafas tapi nanti cuma pingsan. Mati juga takut, merasa masih banyak dosa.
"Adiva!" ucap Alzam mulai kencang.
"Sebentar! Lagi pup nih..." teriak Adiva dari dalam.
Alzam kembali dibuat emosi karena tingkah gadis kecil itu. Setelah Adiva beres melakukan panggilan alam, Adiva membuka pintu untuk Alzam.
"Waalaikumsalam," jawab Adiva lalu dibuat terkejut dengan satu buket bunga indah dan coklat yang dibawa sama Alzam.
"Ngapain kak Alzam bawa bunga sama coklat segala? Emang hari ini hari Valentine ya?"
Alzam berusaha sabar dalam menghadapi sikap gadis tengil di depannya itu.
"Gimana, udah mempertimbangkan lamaran saya? Maukah kamu menjadi istri saya?"
Adiva terdiam sejenak lalu Adiva menganggukan kepalanya. Daripada ia pusing lama-lama.
"Iya, gue mau kok jadi istri kak Alzam. Tapi kak Alzam harus janji satu hal sama gue?"
Alzam jadi sumringah dan bersemangat kala Adiva mau menerima lamarannya. Setidaknya Alzam tidak pernah mendapatkan pengalaman yang tidak menyenangkan dengan ditolak oleh seorang cewek. Ditolak cewek tidak ada dalam kamus hidup Alzam.
"Janji apa itu?"
"Kalau terjadi apa-apa sama gue saat jadi istri kakak nanti, kakak mau kan, bela dan jagain gue?"
Alzam terkekeh
"Emang gadis tomboy dan begajulan kaya kamu butuh perlindungan juga ya?"
Adiva mencubit lengan Alzam karena saking kesalnya.
"Sekuat apapun gadis, pasti dia butuh perlindungan dari seorang pria lah kak."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 193 Episodes
Comments