Di ruang keluarga kediaman kakek Ricardo Sanjaya sudah berkumpul dua keluarga. keluarga kakek Antonio Bernando beserta anak dan menantunya juga sudah berkumpul disana.
"Baiklah karena pernikahan kedua cucu kita sudah terlaksana maka ayah dan juga om Antonio akan membicarakan tentang kesepakatan perjanjian penyerahan warisan." ucap kakek Ricardo membuka perbincangan.
"Iya dan kami berdua sepakat untuk menyerahkan semua warisan pada putra dan cucu kami tapi setelah satu tahun usia pernikahan mereka." kini giliran kakek Antonio yang berujar.
Sontak membuat kedua orang tua itu terbelalak kaget. Pasalnya baik tuan Abraham maupun tuan Alan menjanjikan pada putra putri mereka jika pernikahan mereka hanya akan berjalan sama tiga bulan. Namun, tidak seperti perkiraan mereka ternya kedua laki-laki paruh baya itu ternyata lebih pintar dari yang mereka pikirkan.
Sementara kakek Antonio Bernando dan kakek Ricardo Sanjaya tersenyum samar keduanya sudah lebih dulu memprediksikan apa yang akan terjadi sehingga membuta keduanya berfikir untuk mengikat kedua cucu mereka lebih lama, guna menumbuhkan rasa cinta antara mereka
"Apa!" "
Apa!" ucap kompak Adhisti dan Aditya secara bersamaan, begitu mendengar pernyataan dari orang tua mereka. Kini Adhisti, Aditya beserta orang tua mereka sudah berkumpul di kamar Adhisti guna membicarakan tentang apa yang kakek mereka inginkan. Mereka begitu terkejut saat mendengar jika lagi-lagi sang kakek memberikan syarat yang tentunya terdengar sangat sulit untuk mereka berdua.
"Gila aja bunda, masa iya Adhisti harus sama cowo player mesum kayak dia selama setahun ! nggak, aku nggak mau!" Adhisti begitu syok emosinya sudah tak bisa ia tahan lagi.
"Eh cewe jadi-jadian lo pikir cuma lo yang merasa keberatan gue juga ya nggak sudi lama-lama sama cewe model kayak lo !" bentak Aditya tak terima.
"Setttt ... eh udah kenapa kalian jadi bertengkar si, nanti kalau kakek kalian denger gimana," ucap nyonya Alena memperingati.
Sementara dari balik pintu dua pria paruh baya tersenyum samar. Rupanya mereka memang sudah menduga jika tidak akan semudah itu menyatukan cucu mereka. Namun, mereka berdua sudah bertekad untuk tetap menyatukan kedua cucu mereka.
Mereka yakin jika suatu hari nanti keduanya bisa saling mencintai. Kedua kakek itu kemudian saling pandang dan tersenyum. Sepertinya mereka sudah memiliki rencana lagi untuk kedua cucu mereka.
"Kita tunggu saja mereka di ruang keluarga, kita bersikap seolah tidak mendengar apapun," bisik kakek Antonio pada kakek Ricardo, dan hanya di jawab dengan anggukan kecil oleh kakek Ricardo.
Semetara di kamar Adhisti, masih saja terjadi perdebatan. Adhisti terus saja mengeluarkan segala kekesalannya. Ia begitu tak terima, dengan keputusan kedua orang tua mereka untuk tetap melanjutkan pernikahan mereka selama setahun.
"Hehh bersabar? Setahun? Terserah bunda sama ayah aku nggak bisa sampai selama itu sama laki-laki player kayak dia, terserah aku nggak peduli lagi soal warisan!" ujarnya dengan tegas.
"Eh ... yakin lo bisa hidup miskin ? Yakin bisa bertahan? Nggak usah munafik lo pikir disini cuma lo yang jadi korban hah !" Aditya tak kalah meninggi ia juga sudah jengah dengan perdebatan yang tak kunjung selesai.
"Udah dong sayang ... kalian mau berdebat juga nggak akan merubah apapun nak, kita fikirkan sekarang bagaimana cara kalian bertahan selama setahun sayang hem." ucap lembut nyonya Ningrum mamah dari Aditya.
"Pah, mas gimana? Kita harus mencari cara agar kedua anak kita bisa bertahan, kalau boleh jujur mamah si inginnya mereka bisa seumur hidup Pah," ucap sendu nyonya Ningrum, yang di angguki oleh semua orang tua. nyonya Ningrum sebenarnya ingin jika Adhisti dan Aditya bisa bersama selamanya, tanpa ada perceraian.
"Big no!" kembali Adhisti dan Aditya kompak menolak.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu terdengar memecah perselisihan yang sedang terjadi.
"Nyonya, Tuan semuanya dipanggil Tuan besar suruh berkumpul kembali di ruang keluarga." ucap bi Darsih memanggil semuanya untuk berkumpul kembali.
"Iya Bik ...," saut Nyonya Alena.
"Mari Mas, Mba kita ke bawah. Ayo nak kalian juga pasti di tunggu kakek." ajak nyonya Ningrum pada anak dan menantunya.
Setibanya di ruang keluarga, mereka semua berkumpul. Kedua pria paruh baya itu menyerahkan sebuah berkas pada anak-anak mereka. tuan Abraham membuka berkas dan menyerengit bingung.
"Itu adalah surat-surat rumah, dan rumah itu untuk Adhisti dan Aditya tinggali," ucap tenang tuan Ricardo menjawab rasa bingung yang tercetak jelas pada wajah anak-anak dan cucu mereka.
Seketika mereka semua kembali dibuat syok. Mereka bukan tak mengerti apa maksud dari kedua Pria paruh baya ini. Namun, apakah mungkin mereka bisa tinggal berdua dalam satu atap. Sedangkan membujuk soal mereka harus bersama selama setahun saja belum ada kerelaan dan sekarang harus ditambah dengan mereka harus tinggal satu atap oh ... entahlah.
Adhisti dan Aditya kompak saling pandang dengan tatapan horor kemudian saling begidik. Sementara kedua kakek itu tersenyum sumringah dengan rencana yang sudah mereka susun karena sejauh ini mereka semua bisa di kendalikan.
Hari ini adalah hari dimana Adhisti dan Aditya pindah ke rumah baru. Mereka lagi-lagi mau tak mau harus mengikuti keinginan sang kakek meski sampai sekarang. Baik Adhisti maupun Aditya masih saja memiliki rasa yang sama.
Mereka masih sama-sama saling membenci. Terhitung sudah satu minggu ini mereka berstatus sebagi suami istri. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang mengalah dan melunak.
"Eh cewek jadi-jadian liat yang bener mapnya, masa iya kakek kasih rumah di tempat kayak gini si?" ucap Aditya kesal sedari tadi mereka belum juga sampai ke alamat rumah baru yang akan mereka tempati.
"Iya udah bener ni lo liat sendiri kalau lo nggak percaya!" bentak Adhisti kesal sambil menyodorkan handphonenya kearah Aditya.
Aditya menyerengit melihat map yang ada pada handphone Adhisti. Dari alamat yang di tunjukan memang sudah mengarah kearah yang benar. Namun, tetap saja Aditya seakan tak percaya jika sang kakek membelikan rumah di perkampungan kecil.
"Berhenti ... biar aku tanya sama ibu-ibu disana" ucap Adhisti menghentikan laju mobil yang sedang dikendarai Aditya. Aditya tak membantah ia menghentikan mobilnya menuruti keinginan Adhisti. Adhisti keluar dan bertanya pada ibu-ibu yang sedang berkerumun mengerumuni tukang sayur sementara Aditya tetap berada di dalam mobil.
"Maaf Bu mau tanya alamat ini dimana ya Bu?" tanya Adhisti sopan pada gerombolan Ibu-Ibu.
"Oh Neng yang mau nempatin rumah di ujung jalan sana, itu neng nggak jauh lagi kok tinggal lurus aja keluar jalan ini nah rumahnya persis di sebelah kanan neng." jawab salah satu Ibu-Ibu.
"Oh iya kalau nggak salah mbok Muti kan yang akan kerja di situ, bentar ya neng saya kerumah mbok Muti saya kabari dia kalau neng udah dateng." saut Ibu satunya memberi info tentang mbok Muti wanita berusia lima puluh tahun yang kabarnya bekerja di rumah yang akan di tempati Adhisti dan Aditya.
"Iya Bu sebentar ya saya ke mobil dulu kasih tahu Abang saya."
Adhisti pergi menemui Aditya yang berada di mobil. Memberi tahu bahwa ia bahwa sudah menemukan rumah yang mereka cari.
"Eh player rumahnya ada di ujung jalan ini persis sebelah kanan."
"Ya udah naik apalagi? Atau lo mau jalan kaki hah!" jawab Aditya ketus.
"Tunggu! Ibu-ibu itu lagi kasih tahu sama orang yang mau kerja di rumah kita" Adhisti kembali berucap. Namun, kali ini Aditya hanya melengos jengah.
Kemudian salah seorang Ibu-ibu menghampiri mereka. "Permisi Non, Den, saya mbok Muti, saya yang ditugaskan buat bantu-bantu Enon dan Aden di rumah itu." ucap wanita paruh baya bernama mbok Muti.
"Iya Mbok em ... mari Mbok masuk ke mobil biar kita barengan ke rumahnya." ajak Adhisti sambil membuka pintu mobil bagian belakang dan menuntun mbok Muti untuk masuk. Mbok Muti masuk kedalam mobil menuju rumah Adhisti dan Aditya.
Sesampainya mereka di depan rumah, Aditya dan Adhisti turun dari mobil begitu pula mbok Muti. Namun, seketika mereka tercengang saat melihat penampakan rumah yang akan mereka tempati. Rumah minimalis yang kecil. Namun, mempunyai halaman yang cukup luas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments