Benjamin tersenyum lembut seraya mencium pipi gadis kecil itu. "Kau cocok dan akan terlihat cantik mengenakan apapun. Kau sangat menggemaskan, sama seperti ibumu," pria itu kembali mencium pipi gadis berambut cokelat tembaga tersebut, dan membuat wanita paruh baya di dekatnya tersenyum lebar, seraya kembali menyentuh pundak Benjamin.
Autumn yang menyaksikan hal itu dengan diam-diam, seketika merasa mual. Betapa menjijikan seorang Benjamin Royce baginya. Pria itu menjalin hubungan dengan banyak wanita, bahkan dengan seorang perempuan yang lebih cocok menjadi ibunya, dan Autumn yakin jika wanita itu pasti seorang janda. Ya, Tuhan. Betapa menyesalnya gadis itu, karena telah membiarkan dirinya jatuh ke dalam pesona pria mata keranjang tersebut. Autumn pun memilih untuk meninggalkan tempat itu dengan segera.
Angin berembus dengan tidak terlalu kencang. Namun, rasanya begitu dingin menusuk hingga ke tulang. Mantel cokelat yang Autumn kenakan, tak mampu membuat tubuh semampainya merasa hangat. Autumn pun berjalan dengan agak cepat dan sesekali menyilangkan kedua tangan di dada, serta mengusap-usap lengannya.
Disusurinya jalanan kota Paris pada sore itu. Suasana ramai tak ia hiraukan. Autumn kembali merasa kacau. Entah apa yang membuatnya merasa tak karuan. Gadis itu belum pernah sekacau seperti saat ini, setelah ia mengenal seorang Benjamin Royce. Pengaruh pria bermata abu-abu itu ternyata sangat besar. Senyuman menawan dari paras rupawannya telah begitu mengganggu konsentrasi Autumn. Selain itu, tentu saja kehangatannya yang sudah membuat gadis berambut panjang tersebut, begitu terbuai dan tak mampu melupakan kejadian malam di kota Marseille.
Entah sudah berapa jauh Autumn melangkah dengan diiringi bayangan tampan Benjamin Royce. Tak terasa ia hampir tiba di kediamannya. Autumn segera tersadar. Gadis itu tertegun untuk sejenak. "Astaga!" gumam gadis bermata abu-abu tersebut. Ia menatap ankle boots hak pendek yang dikenakannya saat itu. Autumn kemudian merogoh ke dalam tas selempang, dan mengambil ponsel serta memeriksanya. Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. Ragu, Autumn menjawab pnggilan tersebut. Namun, ia merasa yakin jika nomor yang muncul di layar ponsel itu bukanlah nomor yang kemarin Leon pakai untuk menghubunginya.
"Selamat sore, Nona Hillaire. Maaf mengganggu waktunya sebentar," terdengar suara seorang wanita, dengan gaya bicaranya yang begitu ramah di ujung telepon.
"Maaf, siapa ini?" tanya Autumn ragu.
"Ini dari bagian personalia The Royal Royce. Kami ingin memberitahukan bahwa proposal magang yang anda kirimkan sudah disetujui. Hasil dari wawancara tadi juga sangat baik, jadi kami memutuskan untuk menerima pengajuan magang anda di sini. Silakan mempersiapkan diri sebaik mungkin, karena besok anda sudah bisa memulainya."
Autumn tertegun mendengar informasi yang baru ia terima. Sepasang alisnya yang melengkung indah saling bertaut, menandakan rasa heran yang tak ia ungkapkan. Autumn yakin pasti ada campur tangan Benjamin dalam hal ini. Jika memang benar, maka itu sangat tidak menyenangkan. "Ah, ya. Terima kasih banyak atas informasinya. Aku akan mempersiapkan diriku dan datang tepat waktu besok," sahut Autumn. Setelah berbasa-basi sejenak, panggilan itu pun berakhir. Autumn melanjutkan langkah menuju ke kediamannya, yang hanya tinggal beberapa meter lagi.
Setibanya di rumah, Autumn segera menuju dapur untuk mengambil minuman segar. Di sana ia mendapati Arumi yang baru selesai membuat kue. Sebuah lemon meringue pie tersaji di atas meja dan terlihat menggugah selera. "Selamat sore, Bu," sapa Autumn hangat. Ia membuka lemari es dan mengambil minuman yoghurt buah kesukaannya.
"Selamat sore, Sayang. Bagaimana wawancaramu hari ini?" balas Arumi lembut. Ia melepas apron dan menggantungkannya dengan rapi.
"Sangat mengejutkan," jawab Autumn sambil berdiri dengan setengah bersandar pada meja berlapis marmer. Gadis itu menikmati yoghurtnya dengan tenang.
"Seberapa mengejutkan?" tanya Arumi lagi. Ia menoleh dan tersenyum lembut kepada putri sulungnya tersebut. Arumi kemudian berdiri di sebelah Autumn yang saat itu terdiam untuk sejenak.
"Apakah ini tidak terlalu berlebihan, Bu?"
"Maksudmu?"
"Aku baru mengajukan proposal dan melakukan wawancara siang tadi, lalu beberapa menit yang lalu bagian personalia menghubungiku dan mengatakan bahwa aku diterima untuk magang di sana. Ah, luar biasa sekali pengaruh Tuan Hillaire," tutur Autumn yang berakhir dengan sebuah keluhan bernada sindiran halus.
Arumi tertawa renyah mendengar ucapan anak gadisnya. "Kau pikir kau mendapatkan hak istimewa karena menyandang nama Hillaire?" tanyanya.
"Ya, aku rasa begitu. Satu lagi, tentu saja atas campur tangan tuan pemilik hotel yang megah itu. Aku yakin dan amat sangat yakin, Bu," Autumn kembali menikmati yoghurtnya.
"Bagaimana kau bisa seyakin itu, Nak? Ibu rasa ada banyak pertimbangan yang mereka lakukan sehingga menerimamu. Semoga saja bukan karena nama Hillaire," ujar Arumi. Ia menanggapi keluhan Autumn dengan tenang.
"Aku harap begitu. Aku yakin pasti banyak yang mengajukan proposal selain diriku. Ibu tahu sendiri jika aku belum mempunyai pengalaman dalam hal itu."
"Kau harus yakin dengan dirimu, Sayang. Kau bisa saja belum memiliki pengalaman, tetapi itu bukan berarti kau tak mempunyai kemampuan. Dalam tubuhmu mengalir darah Edgar Hillaire. Kau tak tahu seperti apa ayahmu. Ia adalah pria yang sangat luar biasa," tutur Arumi pelan. Sedangkan Autumn hanya mendengarkannya dengan tenang.
"Ayahmu adalah seseorang dengan kisah hidup yang menakjubkan. Ia berjuang dan bertahan seorang diri untuk menaklukan kehidupan yang keras. Karakternya sama persis dengan mendiang kakekmu. Mereka berdua adalah idolaku. Mereka sangat tampan dan juga pekerja keras," Arumi mengakhiri kata-katanya dengan sebuah senyuman lebar yang dibalut rasa bangga tak terkira.
Sementara pikiran Autumn tiba-tiba kembali tertuju kepada Benjamin. "Apakah dulu ayah memiliki banyak kekasih sebelum bertemu denganmu, Bu?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Autumn. Sesuatu yang membuat Arumi sedikit bingung untuk menjawabnya.
"Kenapa tiba-tiba kau ingin tahu akan hal itu?" selidik Arumi. Ia menoleh dan menatap wajah cantik Autumn yang merupakan duplikat asli dari dirinya. "Katakan sesuatu padaku, Nak. Apakah kau sedang terlibat hubungan asmara dengan seseorang?"
"Ah, kenapa Ibu bertanya begitu padaku?" Autumn mencoba untuk mengelak.
"Apakah ia pria yang pantas untuk mendapatkan cintamu?" tanya Arumi lagi, membuat Autumn mengeluh pelan.
"Entahlah, Bu," jawab Autumn pelan.
"Pria itu yang memberimu tanda merah di leher?" goda Arumi seraya terkikik geli.
"Ayolah, Bu! Jangan membahas hal itu lagi," wajah Autumn seketika memerah karena malu.
"Kau masih ingin menyembunyikannya dari Ibu?"
"Tak hanya dari Ibu, tapi juga dari semua orang," jawab Autumn. Ia membuang wadah yoghurt kosong itu ke dalam keranjang sampah. Diciumnya pipi sebelah kanan Arumi dengan hangat. "Aku ke kamar dulu," pamitnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Adeec
lama ngga up kak
2022-05-09
1
Titik pujiningdyah
andai edgar tau kalau benjamin orangnya😂
2022-05-06
1