Benjamin tersenyum simpul. Ia membalikan badan dan memperhatikan gadis cantik itu hingga menghilang dari pandangannya. Sesaat kemudian, Benjamin segera menuju ke ruangannya. Kebetulan, Benjamin mengelola sendiri hotel itu tanpa menggunakan seorang GM, sehingga ia kerap datang ke sana untuk sekadar memantau.
Beberapa karyawan yang berpapasan dengannya, tersenyum dan mengangguk hormat. Benjamin hanya membalas dengan sebuah anggukan pelan. Ia terus melangkah menuju lift yang membawanya ke lantai teratas gedung itu, di mana terletak ruang kerjanya. Benjamin segera menuju ruangan itu dan masuk. Ia kemudian melepas blazer dan duduk. Pria tersebut lalu menghubungi bagian personalia dan menyuruhnya untuk datang menghadap.
Tak berselang lama, wanita yang tadi mewawancarai Autumn telah berada di dalam ruangan Benjamin. "Ada yang bisa aku bantu, Tuan Royce?" tanyanya sopan.
"Apakah tadi ada yang mengirimkan proposal magang ke bagianmu?" tanya Benjamin dengan sikapnya yang penuh wibawa. Ia duduk bersandar pada kursi kebesarannya, sambil meletakan kedua siku pada tangan kursi tersebut. Sesekali Benjamin memainkan jemari yang berada di dekat wajah, sementara pandangan mata abu-abu itu tertuju lurus pada wanita yang berdiri tak jauh dari dirinya.
"Iya, Tuan. Seorang gadis bernama Autumn Dorielle Hillaire. Tadi ia sudah menyelesaikan sesi wawancara dengan baik. Catatan akademiknya juga bagus. Gadis itu terlihat sangat pandai," terang wanita berambut pirang masih dengan sikapnya yang teramat sopan.
"Langsung saja berikan tempat untuk gadis itu. Ia adalah putri sulung dari Tuan Edgar Hillaire. Aku sudah menyanggupi untuk menerima putrinya magang di sini," titah Benjamin dengan nada bicara yang cukup tegas dan membuat wanita tadi sedikit tertegun. Tak biasanya sang atasan bersikap seperti itu.
"Oh, tapi ada beberapa yang sudah mengirimkan proposalnya kemari, Tuan. Mereka juga lebih dulu melakukan interview dan memenuhi kriteria untuk ditempatkan di bagian marketing," wanita itu tampak ragu dengan keputusan dari Benjamin.
"Bukankah tadi kau mengatakan jika nilai akademiknya bagus?" Benjamin menegaskan.
"Ya, Tuan. Akan tetapi, Nona Hillaire belum pernah magang di manapun. Ia tidak memiliki pengalaman sama sekali. Aku rasa, itu akan sangat menghambat ...."
"Karena itulah berikan kesempatan untuknya. Ini sudah menjadi keputusanku, tolong pertimbangkan," tegas Benjamin.
Wanita itu tak berani untuk membantah lagi. Mau tak mau, dirinya harus menuruti perintah dari sang bos. Ia pun kemudian mengangguk setuju. "Baiklah, Tuan. Aku akan memanggilnya lagi. Aku pastikan Nona Hillaire untuk bergabung di sini," ucapnya dengan sedikit sesal yang coba ia tutupi.
"Bagus. Satu hal lagi, sebisa mungkin kau tutupi jati diri Nona Hillaire yang sebenarnya. Aku tak ingin jika sampai ada selentingan-selentingan tak enak yang membuat ia merasa terganggu di sini," titah Benjamin lagi.
"Baik, Tuan. Aku mengerti," sahut wanita itu. "Apakah ada yang lainnya?"
"Kau boleh kembali ke ruanganmu," Benjamin mengakhiri perbincangan mereka. Perhatian pria bermata abu-abu itu kini beralih pada layar komputer di hadapannya. Sesaat kemudian, ia melirik ponsel yang tergeletak di atas meja. Benjamin memeriksa pesan yang masuk kepadanya. Pria itu tertegun menatap layar ponsel yang sedang ia genggam. Seutas senyuman terlukis dengan sempurna.
Benjamin kemudian beranjak ke dekat jendela. Ia berdiri di sana dengan ponsel yang menempel di telinga. Sepertinya, pria itu hendak menghubungi seseorang. "Aamber? Apa kabar?" sapa Benjamin datar. "Bagaimana kabar Fleur?" pria itu berdiri tegap, dengan tatapan yang menerawang ke luar jendela kaca gedung tinggi yang menjadi bukti dari kesuksesannya selama ini.
......................
Sementara Benjamin tengah sibuk dengan obrolannya di telepon, maka Autumn siang itu memilih untuk bertemu dengan Maeva di sebuah cafè yang menjadi langganan mereka. Sudah beberapa hari ini, ia dan sahabat kentalnya tersebut tidak duduk bersama, hanya untuk sekadar berbagi cerita.
"Bagaimana pemoretanmu, Ev?" Autumn membuka percakapan sambil mencicipi minuman yang telah dipesannya.
"Biasa saja," jawab Maeva tak acuh. Ia melakukan hal yang sama dengan Autumn. "Aku heran kenapa kau tidak tertarik untuk ikut bersamaku masuk ke dunia modelling," ucapnya heran.
"Aku tidak tertarik. Rasanya aku tidak akan cocok berada di sana," balas Autumn. "Lagi pula, aku sudah mengajukan proposal magang. Ayah ingin agar aku mengikuti jejaknya," terang Autumn.
"Luar biasa. Lalu adikmu? Katakan padaku, apa Darren sudah punya kekasih?" Maeva terlihat sangat bersemangat, tetapi berbalas sebuah decak kesal dari Autumn. "Kenapa, Elle? Aku hanya bertanya."
"Lupakan," sahut Autumn tak acuh.
"Adikmu sangat tampan, Elle."
"Hentikan! Dengar, kemarin Leon menghubungiku. Ia mengatakan jika saat ini dirinya sedang berada di Meksiko," terang Autumn membuat Maeva seketika mengernyitkan keningnya.
"Meksiko? Sedang apa ia di sana? Lalu bagaimana dengan pekerjaannya di sini?" Maeva terlihat keheranan. Gadis bermata biru itu kembali menikmati minumannya. Sementara Autumn menatap ke jalanan, di mana ada banyak orang yang berlalu-lalang di depan cafè tersebut.
Musim gugur akan segera tiba. Musim di mana Autumn dilahirkan dan diberi nama unik yang kini begitu melekat dan penuh arti. Usianya pun kian bertambah. Autumn harus mulai membenahi dirinya. Ia sadar bahwa hubungan percintaannya dengan Leon, tidaklah terasa nyaman meskipun ia berusaha mati-matian untuk tetap bertahan. Namun, hidup bukan hanya tentang kisah cinta semata. Ada banyak hal yang tak kalah penting untuk ia raih.
Autumn masih merasa bingung menentukan arah mana yang akan ia ambil. Kehidupan mewah dan berkecukupan yang selama ini ia jalani, telah membuatnya kurang persiapan. Ia tahu jika maksud Edgar menyuruhnya bergabung dengan Benjamin Royce bukan semata-mata sebagai hukuman untuknya. Akan tetapi, ada sesuatu yang jauh lebih besar di balik itu semua.
Lamunan Autumn menjadi buyar seketika, saat ia melihat pemandangan yang lagi-lagi membuatnya merasa tak karuan. Gadis itu mengernyitkan kening dengan ekspresi tak mengerti. Ia lalu beranjak dari duduknya dengan terburu-buru. "Aku pergi dulu," pamit Autumn seraya berlalu meninggalkan Maeva yang keheranan.
Autumn menyebrang jalan dan masuk ke sebuah toko. Ia mengikuti seseorang yang saat itu terlihat berjalan dengan wanita paruh baya. Orang itu juga menuntun gadis kecil berambut cokelat. Entah kenapa, Autumn begitu tertarik untuk terus mengawasi mereka bertiga. Ia menjaga jarak seaman mungkin agar tak ketahuan.
Pada akhirnya, seseorang yang tak lain adalah Benjamin menghentikan langkahnya ketika gadis kecil itu menunjuk sesuatu yang diinginkannya. Dengan senang hati, Benjamin menuruti keinginan gadis kecil tersebut. Ia memperlakukannya dengan begitu luwes. Sementara wanita paruh baya tadi tersenyum senang. "Ya, itu sangat cocok untukmu, Sayang," ucap wanita itu. "Katakan sesuatu padanya, Ben," lanjutnya seraya menyentuh pundak Benjamin dengan lembut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Sunarty Narty
apa Ben punya anak n gagal dlm berumah tangga,makanya g mau berkomitmen lg
2022-09-23
1
Titik pujiningdyah
hmmm jadi penguntit rupanya
2022-05-05
0