"Astaga, Elle!" seru Arumi pelan. "Obatmu sudah kuletakan di atas meja rias dari semalam. Apa kau belum meminumnya?" Arumi menatap lekat anak gadisnya yang terlihat kebingungan. Sebelum Autumn sempat menjawab, wanita paruh baya itu kembali berkata, "Kembalilah ke kamar dan segera minum obat alergimu. Kau bisa beristirahat nanti saat di pesawat," suruh Arumi dengan sebuah isyarat khas seorang ibu yang ingin menyelamatkan anaknya dari kemarahan sang ayah. Tanpa banyak bicara, Autumn segera berlalu dari sana. Pikirannya terasa semakin kacau saja.
Sedangkan Arumi mendekati Edgar dan menyentuh lengan sang suami dengan mesra. Ia lalu mengelus lembut wajah dengan janggut tipis yang selalu terawat baik dan rapi. Arumi pun mencium pipi Edgar. "Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Semalam Elle mengeluh. Kau tahu bukan jika ia alergi kacang. Aku lupa memberikan campuran kacang pada makanannya. Elle itu terkadang masih bersikap kekanak-kanakan. Padahal ia sudah tahu dengan risikonya, tapi ia masih saja memaksakan diri," ucap Arumi lembut. Wanita itu kini semakin bijaksana dalam bersikap.
"Kau pikir aku bodoh, Sayang?" Edgar mengempaskan napas pelan. "Aku tahu dan bisa membedakan tanda alergi dengan tanda ... astaga! Apa yang sudah dilakukan gadis itu?" keluhnya.
"Elle tidak mengenal siapa pun di kota ini. Apa kau melihatnya keluar rumah semalam? Pagi ini ia ada di dalam kamarnya," Arumi tetap membela putri kesayangannya itu.
Edgar melirik sang istri dan kembali mengela napas dalam-dalam. Ia lalu menggeleng pelan dengan rona penuh sesal. "Apa semalam Elle ada di kamarnya?" selidik Edgar curiga.
"Elle tidur lebih awal, Sayang," jawab Arumi meyakinkan Edgar. "Ayolah, kenapa kau menjadi begitu berlebihan? Elle sudah dewasa. Aku harap kau tidak membuatnya merasa tak nyaman dengan sikapmu," ucap Arumi mencoba mengingatkan Edgar.
"Aku hanya berusaha untuk melindunginya," bantah Edgar. Ia membenarkan sikap over protektif yang Arumi nilai terlalu berlebihan.
"Melindungi dari siapa?" Arumi menatap lekat sang suami yang masih terlihat tampan meskipun sudah berusia setengah abad lebih.
"Dari pria-pria sepertiku. Puas?" jawab Edgar yang seketika membuat Arumi tertawa geli. Ia tak menyangka jika Edgar akan memberikan jawaban seperti itu. Didekatinya pria bermata abu-abu tersebut. Arumi kemudian merapikan kerah kemeja putih yang Edgar kenakan. Setelah itu, ia menyentuh wajah pria itu dan menangkupnya dengan lembut.
"Aku tidak akan menyangkal bahwa dulu aku adalah pria yang nakal. Kau mengetahui hal itu dengan jelas, Arum. Aku hanya takut jika Elle menjalin kedekatan dengan pria yang tidak tepat untuknya. Anggap saja ... pria sepertiku," jelas Edgar.
"Kau pria yang baik, Sayang," sanggah Arumi.
"Ya. Aku menjadi pria yang baik setelah kau kembali jatuh cinta padaku. Namun, butuh waktu yang sangat lama untuk meyakinkanmu bahwa aku telah menjadi pria yang baik," bantah Edgar membuat Arumi merasa tak enak. Dengan segera wanita itu mengecup mesra bibir sang suami.
"Sekarang kau adalah yang terbaik, dan aku sangat mencintaimu," ucapnya pelan. "Periksa kembali barang-barang kita. Sementara aku akan melihat kondisi Elle dulu," Arumi kembali mengecup bibir Edgar sebelum akhirnya berlalu menuju kamar Autumn yang saat itu tengah termenung di dekat jendela yang terbuka lebar.
Arumi menghampiri gadis itu dan berdiri di hadapannya. Ia menatap putri kecil yang kini telah tumbuh dewasa. Arumi menyadari hal itu, karena ia pun dulu pernah berada dalam posisi Autumn. "Siapa pria itu, Elle?" tanyanya membuat lamunan Autumn menjadi buyar seketika.
Autumn menatap sang ibu yang terlihat begitu penasaran. Sesaat kemudian, ia kembali mengalihkan pandangannya ke luar. "Tidak ada," jawab Autumn pelan dan tak acuh.
"Kau tak ingin berbagi dengan ibumu sendiri?" bujuk Arumi halus.
"Tak ada yang perlu aku bagi denganmu, Bu," bantah Autumn. Ia terlihat tak berselera untuk membahas masalah yang membuat Arumi begitu penasaran.
"Aku pernah berada di usiamu, Sayang. Kau pikir aku tak tahu apa-apa?"
"Ayolah, Bu. Tolong jangan memaksaku!" tolak Autumn. Ia berpindah ke dekat tempat tidur, di mana terdapat koper yang belum sempat ia turunkan. Autumn menutup dan menurunkan koper itu dari sana. "Jam berapa kita ke bandara?" tanya gadis itu mengalihkan topik pembicaraan.
"Kita akan berangkat satu jam lagi," jawab Arumi seraya mendekati putrinya yang menyibukan diri dengan sesuatu yang tak penting. Terlihat jelas jika Autumn berusaha untuk menghindarinya. Namun, Arumi adalah seorang ibu. Nalurinya mengatakan jika saat itu Autumn tengah merasa tidak baik-baik saja. "Jika kau membutuhkan teman bicara, maka jangan sungkan untuk datang dan berceritalah kepadaku. Bagaimanapun juga aku adalah ibumu. Sudah seharusnya aku bisa menjadi teman yang baik untuk anak gadisnya," Arumi menyentuh pundak Autumn dengan lembut. Tersentuh hati Autumn dengan sikap lembut sang ibu. Gadis itu menoleh dan tersenyum.
"Dulu, aku juga sepertimu, Elle. Aku adalah gadis yang kerap melakukan hal-hal gila. Kau tahu? Aku pernah datang ke acara pesta mantan pacarku dalam keadaan mabuk dan membuat keributan di sana. Itu sangat memalukan, dan aku menyesalinya. Akan tetapi, setelah kejadian itu aku merasa lega. Aku bercerita pada seseorang tentang semua yang kurasakan dan itu membuat semua ganjalan dalam hati sedikit berkurang," tutur Arumi lembut.
"Jika memang kau merasa sanggup untuk memikulnya sendiri, maka tak apa. Itu akan menjadikanmu sebagai wanita yang kuat dan berkarakter. Akan tetapi, jika memang kau tak sanggup, maka jangan memaksakan dirimu. Ya, sudah. Bersiap-siaplah. Aku akan menemui ayahmu dulu," sebelum berlalu, Arumi menyempatkan diri untuk mencium kening Autumn dengan lembut. Setelah itu, ia keluar dari sana dan meninggalkan Autumn sendirian.
Autumn tak keluar dari kamarnya, hingga satu jam berlalu dan terdengar panggilan bahwa mereka harus segera berangkat ke bandara. Lemas, gadis itu menggeret kopernya keluar dari kamar menuju mobil yang terparkir di halaman. Autumn pun masuk ke mobil dan duduk di sebelah Darren yang saat itu tak banyak bicara, hingga mereka tiba di bandara.
Sesampainya di sana, Autumn masih tak banyak bicara. Ia lebih memilih untuk duduk sambil terus memainkan ponsel. Hingga detik itu, Leon tak juga menghubunginya. Autumn kemudian memutuskan untuk pergi ke toilet.
Beberapa saat berlalu, Autumn kembali dari toilet. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika ia melihat sang ayah tengah berbincang hangat dengan seseorang. Pria itu ada di sana. Ya, Benjamin Royce. Autumn terpaku menatapnya. Benjamin terlihat begitu tampan. Pria itu seperti sebuah bunga beracun. Indah tapi mematikan. Tak ada pilihan, Autumn menghampiri mereka dan duduk tanpa memedulikannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Sri Widjiastuti
benjamin adl bunga beracun itu kata si elle🤣🤣😁
2023-07-25
3
Sunarty Narty
gimana marahnya Edgar tau anaknya udh d unboxing ben
2022-09-23
1
Titik pujiningdyah
aduh ... bayanganku si autum bakal di hajar ed
2022-05-01
0