"Itu maumu, Tuan Royce?" tanya Autumn dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia bahkan tak dapat menentukan perasaan apa yang kini lebih dominan dalam hatinya. Autumn merasa kebingungan.
"Ya, Nona Hillaire. Akan jauh lebih baik jika kita saling menjauh dan anggap tak pernah terjadi apapun," Benjamin kembali menegaskan keputusan yang telah diambilnya. Sedangkan Autumn hanya manggut-manggut, meskipun ia merasa ragu akan perasaannya sendiri.
"Apakah semua ini karena ayahku? Karena hubungan bisnis kalian berdua?" cecar Autumn. Ia mengharapkan sebuah penjelasan yang masuk akal dari pria yang telah merenggut kesuciannya. Sementara Benjamin tidak segera menjawab. Pria itu terus membelakangi Autumn dan lebih memilih untuk melayangkan tatapannya pada lautan lepas. Semilir angin pantai di pagi itu, terasa begitu sejuk. Namun, hal tersebut nyatanya tak dapat membuat hati gadis bermata abu-abu yang sejak tadi berdiri menatap pria di hadapannya, menjadi jauh lebih nyaman.
"Aku bukan pria yang baik. Kau sudah mengetahuinya dengan jelas, Nona Hillaire," Benjamin mencari alasan.
"Jika memang kau menyadari bahwa dirimu bukan pria yang baik, lalu kenapa kau berani mendekatiku? Seharusnya kau tetap menjaga jarak dariku!" tegas Autumn dengan nada bicara yang terdengar kecewa.
"Itulah kesalahanku dan aku mengakuinya! Maafkan aku, Nona Hillaire. Aku tidak ingin terikat dengan wanita manapun, termasuk dirimu," ucap Benjamin seraya menoleh kepada Autumn. Gadis itu benar-benar tak percaya dengan apa yang Benjamin ucapkan, setelah apa yang mereka lakukan semalam.
"Kau benar-benar pria yang brengsek, Tuan Royce!" geram Autumn. Ia segera membalikan badannya dan bermaksud untuk pergi dari sana. Namun, dengan segera Benjamin mengejar gadis itu dan meraih tangannya. "Lepaskan tanganku!" sergah Autumn dengan tegas. Tatap mata Autumn penuh dengan rasa marah terhadap pria di hadapannya.
"Biar kuantar kau pulang," ucap Benjamin dengan nada bicara yang cukup tenang. Sepertinya ia tak terpengaruh oleh kemarahan Autumn kepada dirinya.
"Aku masih ingat jalan menuju rumahku, dan seharusnya aku pulang dari semalam!" sentak Autumn kesal.
"Aku tahu itu, tapi biarkan aku mengantarkanmu," Benjamin tetap bersikukuh.
"Aku tidak ingin kau melakukan apapun untukku! Lepaskan tanganku dan biarkan aku pergi!" tolak Autumn tegas. Sementara Benjamin masih tetap mencekal pergelangan tangan gadis itu dengan erat. Tak kehilangan akal, Autumn segera menginjak kaki pria itu dengan keras. Benjamin terkejut dan meringis pelan. Genggaman tangannya pun menjadi sedikit longgar. Hal itu menjadi kesempatan bagi Autumn untuk dapat terlepas dari cekalan Benjamin. Didorongnya pria itu hingga mundur beberapa langkah. Setelah ada jarak di antara mereka, Autumn segera membuka pintu dan pergi dari sana.
Dengan setengah berlari, Autumn menuruni deretan anak tangga. Ia menjejakan kakinya di atas hamparan pasir dan melewati jalan yang semalam dilaluinya. Sesekali Autumn menoleh. Ia bersyukur karena Benjamin tidak mengejarnya.
Ya, tentu saja. Pria itu tak akan mungkin mengejarnya.
Sementara Benjamin hanya mendengus kesal di dalam rumahnya. Ia merasa sangat bodoh saat itu. Pria bermata abu-abu tersebut, kembali ke beranda dan berdiri di tempatnya tadi. Ia melayangkan tatapannya pada lautan lepas. "Bodoh!" gerutunya pelan. Ia lalu membalikan badan dan bermaksud untuk masuk kembali. Akan tetapi, Benjamin kemudian tertegun saat melihat noda darah di atas sofa putihnya.
Benjamin kembali teringat pada apa yang ia dan Autumn lakukan semalam di atas sofa itu. Dengan segera, ia berlalu menuju garasi rumahnya. Ia berniat untuk menyusul Autumn yang dirasanya pasti belum pergi terlalu jauh.
Perkiraan Benjamin ternyata salah. Autumn kini sudah berada di dalam taksi. Gadis berambut cokelat itu terlihat begitu kesal. Namun, tak setetes pun air mata yang keluar. Autumn tak harus menangisi apa yang sudah terjadi padanya, meskipun itu merupakan hal yang sangat memuakan.
Tak berselang lama, taksi yang Autumn tumpangi telah tiba di depan rumahnya. Setelah membayar, gadis itu segera turun dan melangkah masuk. Entah alasan apa yang akan ia berikan seandainya ia ketahuan oleh Arumi dan Edgar, bahwa semalam ia tak pulang.
Sebelum memutuskan untuk masuk, Autumn terlebih dahulu merogoh ponsel dari dalam tasnya. Ia lalu menghubungi Darren. "Ada apa? Jangan katakan jika kau tak berniat untuk pulang," terdengar suara sang adik yang langsung menyambut telepon darinya.
"Aku ada di depan rumah. Bisa bantu aku untuk masuk?" jawab Autumn setengah berbisik.
"Astaga, Elle. Kau selalu saja merepotkanku!" dengus Darren.
"Ayolah, Darren! Kumohon. Aku belum berkemas," pinta Autumn setengah mengiba. Pandangannya terus mengawasi area sekitar rumah yang terlihat sepi. Namun, Autumn yakin jika kedua orang tuanya ada di dalam.
"Baiklah. Tunggu sebentar!" sahut Darren dari ujung telepon. Ia lalu mengakhiri percakapannya dengan sang kakak dan bergegas menuju kamar Autumn yang berada di depan. Untunglah karena kamar Autumn saat itu tidak terkunci, sehingga Darren bisa masuk dengan mudah. Segera pemuda itu membuka jendela kamar tersebut lebar-lebar dan menurunkan sebuah seprei yang telah disambung dengan kain lainnya yang ada di dalam kamar itu.
"Ssst!" Darren memberi isyarat kepada Autumn. Gadis itu berjalan perlahan dan mengendap-endap seraya menempelkan tubuhnya pada dinding, hingga ia berada tepat di dekat seprei yang menjuntai itu. Autumn mendongak ketika Darren menyuruhnya untuk segera naik. Tanpa ragu, gadis itu segera memanjat naik ke kamar.
Susah payah Autumn memanjat ke lantai dua rumahnya. Posisi tubuh yang tidak seimbang membuatnya sedikit terseok dan berayun-ayun. Namun, Autumn dengan segera menahan bobot tubuhnya dengan menjejakan kaki kuat-kuat pada dinding. Ia terus merangkak naik hingga akhirnya tiba di dekat jendela dan bergegas masuk. Terengah-engah, gadis bermata abu-abu itu mengempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Padahal ia sudah biasa melakukan hal itu, tapi selalu saja terasa berat baginya.
"Sudah kukatakan agar kau ikut belajar panjat tebing denganku," ujar Darren. Ia bermaksud untuk menutup jendela kamar itu.
"Tidak! Biarkan saja terbuka. Aku butuh udara segar dalam jumlah banyak," cegah Autumn seraya bangkit. Ia terduduk di ujung tempat tidurnya dan tampak termenung.
"Kau tak pulang lagi semalam. Kenapa kau senang sekali mencari masalah, Elle?" tegur Darren. Ia ikut duduk di sebelah sang kakak yang tak menanggapi pertanyaannya. "Katakan padaku, ke mana kau semalam?" selidik Darren seraya mengamati kakaknya dari jarak yang cukup dekat dan membuat Autumn merasa risih. Gadis itu segera menjauhkan wajahnya.
Seketika Darren membelalakan mata dan membuat Autumn merasa heran. "Ada apa?" tanya gadis itu seraya mengernyitkan keningnya.
"Lehermu kenapa? tanya Darren dengan mimik geli. "Siapa yang menggigitmu, Elle?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Sunarty Narty
di gigit kelelawar
2022-09-23
1
Titik pujiningdyah
di gigit drakula Min
2022-04-29
1
Adeec
yg gigit ular beracun
2022-04-29
1