Autumn membalikkan badan. Tanpa basa-basi, dia meninggalkan Benjamin yang lagi-lagi hanya terpaku.
"Astaga," keluh Benjamin pelan. "Nona Hillaire! Tunggu!" Meskipun Autumn melarangnya maju, tapi Benjamin tak peduli. Dia menyusul gadis itu karena takut Autumn bertindak ceroboh seperti tadi. Benjamin menarik tangan gadis itu, menahan agar tidak ke mana-mana.
Namun, seperti yang sudah dibayangkan. Autumn berontak. Dia berusaha melepaskan diri.
Berhubung tak ada pilihan lain, Benjamin akhirnya mengambil jalan pintas. Dia menarik kencang tubuh Autumn hingga berbalik sepenuhnya. Tanpa aba-aba, dia memanggul gadis itu di pundak sebelah kiri.
"Hey! Apa yang kau lakukan? Turunkan aku!" Autumn memukul-mukul pundak serta punggung Benjamin.
"Ada apa ini, Bung?" tanya seorang pria, yang terusik oleh tingkah dua sejoli tadi.
"Maaf. Kekasihku agak keras kepala," sahut Benjamin enteng, diiringi senyum kalem.
"Ada-ada saja," ujar si pria menanggapi, sambil berlalu.
Benjamin terus memanggul Autumn, tanpa memedulikan umpatan kasar serta pukulan bertubi-tubi dari gadis itu. Dia justru tersenyum. Gemas, pengusaha tiga puluh lima tahun tersebut membalas dengan memukul pinggul Autumn, sebelum menurunkannya.
"Di mana ini? Apa ini rumahmu?"
"Menurutmu?" Benjamin membuka kunci, lalu mempersilakan Autumn masuk ke rumah pantai miliknya.
Suasana nyaman begitu terasa dalam rumah itu. Semua yang ada di sana, tertata begitu apik. Begitu juga dengan aroma menyegarkan dari pengharum ruangan.
Autumn berdiri terpaku, seraya menyapu setiap sudut ruangan. Dia meletakkan mantel dan tas di sofa. Gadis itu kemudian melihat arloji di pergelangan kiri. Waktu sudah menunjukkan pukulan sepuluh tiga puluh malam. Autumn mengeluh pelan.
"Mari kuantar pulang," ucap Benjamin, yang muncul dari ruangan lain rumah itu. Rupanya, dia baru mengambil kunci mobil.
Autumn tidak menyahut. Dia justru terlihat gelisah. Bahasa tubuhnya membuat Benjamin merasa heran. "Ada masalah, Nona?" tanya pria itu, seraya menatap lekat Autumn.
"Pintu rumahku sudah terkunci saat pukul sepuluh malam," jawab Autumn, dengan perasaan tak karuan.
"Lalu?" tanya Benjamin, menatap tak mengerti.
"Aku akan tidur di teras. Ya. Sudah seharusnya seperti itu," jawab Autumn. Dia kembali meraih mantel dan tas dari sofa, meskipun dengan raut terpaksa.
Benjamin memahami sesuatu. Dia mengembuskan napas pelan, lalu melemparkan kunci mobil ke meja.
Melihat apa yang Benjamin lakukan, Autumn pun kembali meletakkan mantel dan tas. Namun, raut wajahnya masih terlihat gelisah.
"Mari mencari angin," ajak Benjamin, seraya melangkah ke bagian luar rumah. Di sana, terdapat bukaan dengan satu set sofa warna putih. Akan tetapi, Benjamin tidak mengajak Autumn duduk, melainkan berdiri dekat pagar pembatas.
"Kau sering datang kemari, Tuan Royce?" tanya Autumn pelan, sambil menatap lautan lepas beberapa meter di depannya.
"Ya. Hampir setiap bulan aku kemari," jawab Benjamin singkat.
"Ayahku mengatakan jika kau memiliki rumah di mana-mana. Mungkin di seluruh Perancis," ucap Autumn lagi.
Benjamin hanya tersenyum, diiringi gumaman pelan.
"Apa kau juga memiliki kekasih di setiap kota yang berbeda?" tanya Autumn lagi.
Belum sempat Benjamin menjawab, Autumn kembali bertanya, "Apakah semua pria seperti itu? Dia akan lari dari satu wanita dan menghampiri wanita lain, lalu mengabaikan yang lainnya lagi dan lagi. Selalu melakukan hal yang sama." Nada bicara Autumn terdengar cukup aneh, seakan ada penyesalan besar.
"Apa kau diabaikan seseorang?" tanya Benjamin tiba-tiba. Dia seperti dapat menangkap sesuatu dari ucapan Autumn.
"Pria itu selalu mengabaikanku," jawab Autumn pelan.
"Siapa?" tanya Benjamin lagi.
"Kau tidak mengenalnya. Untuk apa aku memberitahumu." Autumn membalikkan badan. Dia menyandarkan sebagian tubuh pada pagar pembatas, sedangkan Benjamin berdiri menyamping sambil menatap lekat paras cantik gadis itu.
"Dia pasti pria bodoh karena mengabaikan gadis seperti dirimu." Benjamin meletakkan tangan kanan di pagar pembatas, sedangkan tangan kiri di pinggang.
Autumn menoleh, lalu tersenyum simpul. "Bisa saja karena dia terlalu pintar dan aku yang bodoh," ujarnya pelan.
"Kenapa begitu?" Benjamin mengernyitkan kening karena tak mengerti, akan maksud dari perkataan gadis itu.
Autumn terlihat ragu untuk memberikan penjelasan. Dia menggigit bibir bawah, demi menghalau rasa tak nyaman yang makin menggelayuti. "Aku ... aku terlalu pasif untuknya," ucap Autumn pelan.
Mendengar ucapan gadis itu, membuat Benjamin kian penasaran.
"Kekasihku seorang fotographer. Dia biasa bergaul dengan para model. Kau tahu seperti apa mereka. Penampilan sempurna, seksi dan ... entahlah. Namun, aku ...." Autumn tak melanjutkan kata-katanya.
"Apa yang ada dalam pikiranmu? Kau tak percaya diri?" terka Benjamin.
"Aku bukan gadis hangat yang bisa diajak bersenang-senang kapan saja. Moodku sangat aneh dan tak jarang dianggap menyebalkan," jelas Autumn pelan, seraya menundukkan wajah.
Tanpa Autumn duga, Benjamin tiba-tiba mengangkat dagunya perlahan. Pria itu menatap lekat, seraya mendekatkan wajah hingga hanya berjarak beberapa senti. "Sedingin dan sehangat apa dirimu?" tanyanya, setengah berbisik. membuat
Autumn terpaku. Debaran dalam dada kian kencang dan tak terkendali. Gadis itu menggeleng pelan. "Aku tidak tahu," jawabnya sedikit resah.
"Apa kau ingin mengetahuinya?" bisik Benjamin lagi.
Autumn kian resah. Gadis itu tak mampu berkata-kata. Dia hanya menatap sepasang mata abu-abu Benjamin, yang tampak sangat berbeda. Sementara deru napasnya kian tak beraturan.
"Mari kita cari tahu jawabannya." Benjamin kembali berbisik. Dia makin mendekatkan wajah, hingga Autumn dapat merasakan betapa hangat bibir pria itu ketika menyentuh bibirnya.
Autumn terpaku. Tubuhnya seakan membeku. Dia tak dapat menolak. Lebih tepatnya tak berniat untuk menghindar. Gadis bermata abu-abu tersebut justru memejamkan mata, seraya menyentuh rahang kokoh Benjamin, yang langsung merengkuh erat pinggangnya.
Perlahan, Autumn merasakan ada hawa panas yang mulai menjalar di seluruh tubuh, ketika mendapati tangan Benjamin mulai bergerak nakal. Pria itu menyibakkan bagian bawah mini dress yang dia kenakan.
Benjamin meraba paha mulus Autumn, lalu mengangkatnya tanpa melepaskan pertautan mesra tadi.
Sementara Autumn melingkarkan tangan di leher pria rupawan itu. Dia mere•mas pelan rambut belakang Benjamin. Membuat si pria makin merapatkan tubuh.
Makin lama, mereka makin menyatu hingga tak ada jarak sama sekali. Kedua sejoli itu bahkan dapat merasakan detakan jantung masing-masing, yang saling berpacu dengan setiap lu•matan mesra penuh gairah.
Sesaat, Benjamin melepaskan ciumannya. "Hanya seperti inikah kemampuanmu, Nona?" ledek pria rupawan itu, diiringi seringai kecil.
Autumn tidak menyahut. Gadis itu memandang Benjamin beberapa saat dengan tatapan sayu.
"Apa yang kau inginkan, Tuan Royce?" tanyanya kemudian.
"Apa yang ada dalam pikiranmu? Mungkin itu pula yang kuinginkan."
"Entahlah. Aku tak bisa memikirkan apa pun," sahut Autumn. "Kau lebih tahu," lanjutnya, seakan menantang Benjamin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Sunarty Narty
aduh autumn itu bisa setia g si Ben,
2022-09-23
1
Esther Nelwan
aduuuh Autum d ajarin kissing m Ben...
2022-08-12
0
Aurizra Rabani
ah eungap
2022-05-09
0