Malam itu, Autumn termenung sendiri di tempat tidur. Hatinya merasa begitu lelah, saat kembali teringat pada hubungan yang dijalani dengan Leon. Beberapa waktu sebelumnya, terjadi percekcokan dengan pria berusia dua puluh enam tahun tersebut. Autumn melayangkan protes atas sikap Leon, yang kerap mengabaikannya.
Leonardo Orville atau akrab disapa Leon, merupakan fotographer yang bekerja di sebuah majalah ternama Kota Paris. Leon selalu sibuk dengan segala aktivitasnya. Sesuatu yang harus dipahami Autumn.
Namun, terkadang Autumn kehilangan kesabaran. Usia muda yang dipenuhi gejolak kuat serta karakter pemberontak yang melekat pada diri gadis itu, kerap membuatnya mengabaikan aturan-aturan dalam hubungan mereka. Membuat Leon tak jarang jadi kesal karenanya.
"Apakah itu salahku, Ev?" tanya Autumn pelan, saat berbicara dengan Maeva dalam sambungan telepon malam itu.
"Entahlah, Elle. Kau tahu karena itulah aku malas memulai komitmen dalam hubungan serius. Tenaga dan pikiranku akan terkuras habis, untuk memikirkan hal yang seakan tiada ujungnya," sahut Maeva dari seberang sana.
"Ya, itulah dirimu. Aku sangat bosan di sini. Seharian menghadiri acara pembukaan resort ayahku dan ...." Autumn tidak melanjutkan kata-katanya. Dia teringat akan undangan pesta dari Benjamin.
"Aku akan menghubungimu lagi nanti, Ev." Autumn mengakhiri perbincangan. Dia bergegas turun dari tempat tidur, kemudian membuka lemari pakaian.
Gadis itu memilih, lalu menjatuhkan pilihan pada mini dress A Line dengan tali kecil di kedua pundak. Tak lupa, Autumn merapikan rambut juga membawa mantel. Setelah itu, gadis bermata abu-abu tersebut keluar kamar sambil mengendap-endap. Untunglah karena dia memakai flat shoes, sehingga derap sepatunya tak menimbulkan suara berisik.
Waktu sudah menunjukan pukul delapan malam, ketika Autumn berhasil keluar dari rumah. Dia berlari-lari kecil hingga tiba di jalan raya. Gadis itu melangkah jauh lebih tenang, saat sudah mulai menjauh dari rumah.
Sesaat kemudian, Autumn menghentikan taksi yang melintas. Dia langsung berangkat ke tempat dengan alamat, yang sudah diberikan Benjamin tadi siang.
Entah kegilaan apa lagi yang dilakukan gadis itu. Autumn tiba-tiba tertarik menghadiri pesta, yang disebutkan oleh Benjamin. Ketika tiba di lokasi yang dituju, dia langsung terpaku dengan raut kebingungan,
Ada banyak orang di sana. Autumn tak mengenal siapa pun. Autumn segera merogoh ke dalam tas, lalu mengambil ponsel. Dia memberanikan diri menghubungi nomor yang Benjamin berikan padanya.
Autumn menunggu beberapa saat, hingga panggilannya tersambung. Tak lama kemudian, gadis itu mendengar suara berat seorang pria menjawab panggilan tadi. "Tuan Royce?" sapa Autumn ragu. "Apa ini kau?" tanyanya.
"Ya," jawab pria itu singkat. Dia seakan bisa menebak bahwa Autumn akan menghubunginya. "Kau ingin masuk, Nona Hillaire?" tanya Benjamin, seolah sudah mengetahui kedatangan gadis cantik tersebut.
"Um ... i-iya. Aku ada di luar, tapi tidak tahu harus bagaimana. Aku tak mengenal siapa pun di sini," jawab Autumn, seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat itu.
Benjamin tak menyahut. Itu membuat Autumn jadi heran. Dia bermaksud mematikan sambungan telepon. Namun, gadis itu mengurungkan niat, ketika kembali didengarnya suara berat Benjamin di ujung telepon.
"Nona Hillaire ."
Autumn menoleh. Benjamin ternyata sudah berdiri beberapa langkah di belakangnya. Luar biasa. Dia bisa mengenali Autumn, meskipun hanya melihat dari tampilan belakang.
Autumn langsung menoleh. Gadis itu menelan ludah dalam-dalam.
Benjamin terlihat begitu tampan dengan kaos pollo lengan pendek. Penampilannya malam itu lebih santai, dengan mengenakan celana kargo pendek sebatas lutut. Dia juga tampak jauh lebih muda dalam tampilan demikian.
Sekali lagi, pria beramata abu-abu tersebut berhasil memukau Autumn dan membuatnya hanya berdiri terpaku. Autumn bahkan tak menyadari, ketika Benjamin sudah berdiri tepat di hadapannya.
"Nona Hillaire? Kau tak apa-apa?" tanya Benjamin begitu kalem.
Autumn tersadar. Dia jadi sedikit kikuk. Gadis itu mencengkeram mantel yang sejak tadi dipegang.
Autumn mengangguk pelan. Dia berusaha tetap menguasai diri.
Sebelum Autumn sempat berkata-kata, dengan segera Benjamin meraih tangannya, lalu menuntun gadis itu masuk.
Di bagian dalam tempat itu, suasana jauh lebih ramai. Suara musik yang cukup menghentak, berbaur dengan hiruk-pikuk orang yang terlihat begitu menikmati pesta. Mereka semua tampak sangat bahagia. Berbincang dan tertawa lepas, seakan tak memiliki beban hidup sama sekali.
Benjamin terus menuntun Autumn melewati orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Di sana, mereka tak saling peduli selain dengan pasangan atau kelompoknya. "
"Pesta apa ini?" tanya Autumn, dengan suara cukup nyaring karena di sana sangat berisik.
"Orang-orang yang tinggal di tempat ini susah biasa menggelar pesta. Tujuannya hanya untuk menghilangkan kepenatan, setelah satu bulan berkutat dalam kesibukan. Awalnya acara ini hanya bagi warga sekitar. Akan tetapi, sekarang sudah dibuka untuk siapa saja, dengan catatan memiliki akses masuk atau rekomendasi dari warga sini," terang Benjamin, seraya menyodorkan segelas minuman untuk Autumn.
Autumn menerima minuman itu. Namun, gadis cantik tersebut tak segera meneguknya. Dia terlihat ragu.
"Tenang saja, Nona Hillaire. Minuman itu tak akan membuatmu mabuk," ujar Benjamin, seakan Benyamin paham dengan sikap ragu yang diperlihatkan Autumn.
Autumn tersenyum simpul. Dia meneguk minuman itu dan kembali mengedarkan pandangan ke setiap sudut tempat pesta. Tak jauh dari hadapannya, terbentang lautan luas yang berselimut warna gelap malam. Autumn melihat ada beberapa orang berjalan-jalan di bibir pantai.
"Kau ingin berjalan-jalan di sana, Nona Hillaire?" tawar Benjamin, dengan tatapan yang selalu membuat Autumn jadi salah tingkah.
Autumn tak menjawab. Dia terus melayangkan tatapan ke arah pantai.
Tanpa menunggu jawaban dari Autumn, Benjamin langsung beranjak dari duduk. Dia meraih pergelangan tangan gadis itu, kemudian mengajaknya menuju bibir pantai.
Autumn tak menolak. Dengan senang hati, dia mengikuti langkah tegap Benjamin. Autumn pun tak keberatan, saat Benjamin terus memegangi tangannya.
"Kau suka pantai?" tanya pria berambut cokelat tembaga itu.
"Aku suka semua hal yang menyenangkan," jawab Autumn enteng.
"Ya. Semua orang juga seperti itu, Nona Hillaire," balas Benjamin. Mereka berjalan berdampingan, sambil terus berpegangan tangan.
"Kau benar, Tuan Royce. Namun, definisi setiap orang tentang sesuatu yang menyenangkan itu pasti berbeda," bantah Autumn. Dia berusaha terlihat baik-baik saja, meskipun ada debaran menggila dalam dada.
"Bagaimana denganmu?" Benjamin menghentikan langkah, lalu melirik gadis cantik di sebelahnya.
Namun, Autumn berpura-pura tak peduli. Dia mengarahkan tatapan ke lautan lepas. Gadis cantik itu tak ingin melihat paras menawan Benjamin terlalu lama karena takut terjebak pesona yang dipancarkan pria tampan tersebut.
"Kesenanganku adalah, ketika mendapatkan perhatian lebih," ujar Autumn, diiringi senyum simpul.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Titik pujiningdyah
kalau kesenanganku saat melihat benjamin emmm ...itu ...emm itu tuh
2022-04-24
0