Pagi yang sangat cerah di Kota Marseille. Dari kejauhan terdengar hiruk-pikuk aktivitas orang-orang di pelabuhan, dengan segala kegiatan mereka.
Autumn merasa begitu malas. Pagi ini, dia kembali memeriksa ponsel. Namun, Leon belum juga menghubunginya. Kesal, gadis itu menarik selimut sehingga menutupi seluruh tubuh. Dia tak ingin beranjak dari tempat tidur.
Namun, Autumn harus mengabaikan segala rasa malas. Suara ketukan di pintu kamar terdengar sangat mengganggu. Autumn kembali menyibakkan selimut. Dia terpaksa turun dari tempat tidur. Malas, Autumn membuka pintu. Gadis itu tak peduli, meskipun penampilannya masih acak-acakan.
"Elle? Kau belum bersiap-siap?" Arumi mengernyitkan kening. Dia tak habis pikir dengan sikap anak gadisnya.
"Aku ... aku sedang malas melakukan apa pun, Bu," sahut Autumn, seraya kembali ke tempat tidur dan menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh.
Melihat sikap anak gadisnya, Arumi langsung melotot. Dia segera menghampiri, lalu menarik selimut hingga terbuka sempurna. "Bangun, Elle! Kau harus segera bersiap-siap. Ingat! Kita akan berangkat ke resort satu jam lagi," tegasnya.
"Haruskah aku ikut, Bu? Aku sudah sering melihat ayah melakukan gunting pita. Aku hanya berdiri, bertepuk tangan, mendengarkan dia berpidato ... apa lagi yang harus kulakukan?" keluh Autumn, seraya duduk. Dia tak memedulikan rambut yang acak-acakan.
"Kau tak harus melakukan apa pun, selain memberikan dukungan untuk ayahmu. Dengar Elle. Kita harus selalu menunjukkan pada semua orang, bahwa Keluarga Hillaire merupakan Keluarga harmonis," ujar Arumi bangga.
"Kita memang seperti itu, Bu. Kata siapa kita tidak harmonis?" sanggah Autumn, diiringi keluhan pelan. Dia lalu turun dari tempat tidur. "Baiklah. Aku akan menunjukkan pada dunia bahwa Keluarga Hillaire adalah keluarga idaman yang akan membuat semua orang iri. Begitu, kan? Ya, sudah. Aku akan bersiap-siap," ujar gadis bermata abu-abu itu, enteng.
"Bagus," sahut Arumi tersenyum senang. "Jangan lupa mandi dan pakai baju yang kemarin kusiapkan untukmu." Dia mencubit gemas pipi Autumn, sebelum berlalu keluar kamar.
Autumn tidak menanggapi. Dia hanya mengembuskan napas pelan, sebelum kembali memeriksa pesan masuk. Akan tetapi, lagi-lagi gadis itu kecewa. Tak ada satu pun pesan dari Leon.
"Ke mana kau, Leonardo? Dasar menyebalkan!" gerutu Autumn kesal, seraya melemparkan ponsel ke kasur. Setelah itu, dia berlalu ke kamar mandi karena harus segera bersiap-siap.
Suasana di sekitar resort mewah yang telah dibangun oleh Edgar sudah mulai ramai. Semua yang datang mengenakan pakaian rapi dan formal. Tak terkecuali Darren. Dia yang tak biasa memakai setelan kemeja, terlihat begitu tidak nyaman dengan penampilannya
"Apa kau ingin melarikan diri dari sini, Dik?" bisik Autumn.
"Aku ingin melepas semua pakaianku," balas Darren enteng.
"Ah, bagus. Setelah itu, uang jajanmu akan dikurangi hingga enam puluh persen selama tiga bulan. Kau juga dilarang keluar rumah selain saat berangkat sekolah. Satu hal yang lebih parah, ketika dirimu hanya boleh menonton acara bisnis di televisi." Autumn mendengkus kesal.
"Siapa yang pernah mengalami nasib buruk itu?" sindir Darren, seraya mengetuk-ngetukkan telunjuk ke kening, seolah-olah tengah berpikir. Pemuda berambut cokelat tembaga itu menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"Kau tidak akan menyukai itu, Darren. Tiga bulan yang sangat menyiksa bagiku," sahut Autumn, diiringi ringisan kecil, kala teringat pada hukuman yang pernah Edgar berikan dulu.
"Ah, sebaiknya aku mencari angin. Lagi pula, aku sudah mendengarkan ayah berpidato tadi." Autumn berlalu meninggalkan sang adik. Dia melangkah ke tempat lain dan sedikit menjauh dari keramaian pesta. Gadis itu berjalan-jalan di sekitar resort tersebut. Tanpa sengaja, perhatiannya tertuju pada sepasang pria dan wanita, yang tengah asyik berciuman.
Autumn segera memalingkan wajah, sebelum kembali melihat adegan tadi. Seketika, gadis itu mengernyitkan kening. Pasalnya, pria yang tengah berciuman itu adalah Benjamin Royce. Akan tetapi, wanita yang bersamanya bukanlah Esmee.
"Ya, Tuhan," gumam Autumn pelan, seraya menggeleng tak percaya. Dia mengembuskan napas pendek. Autumn kembali melanjutkan langkah, kemudian berdiri menatap lautan lepas.
Angin sore itu berembus cukup kencang. Autumn berkali-kali menyibakkan rambut yang terus meriap-riap dan menutupi wajah. Dia termenung di sana, hingga suara berat seorang pria membuyarkan seluruh lamunannya.
"Nona Hillaire? Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya pria yang tidak lain adalah Benjamin. Dia berjalan menghampiri Autumn, dengan langkah yang begitu gagah dan penuh wibawa. .
Autumn menatap pria itu. Benjamin adalah pria yang sangat tampan dengan sejuta pesona. Dia memiliki sepasang mata abu-abu bercahaya. Rambutnya yang berwarna cokelat tembaga, tersisir rapi dan tampak mengilap. Raut wajah pria itu pun terlihat begitu segar, tetapi tanpa ekspresi yang terlalu berlebihan. Benjamin juga kerap menyunggingkan sedikit senyuman. Sepertinya, dia tak ingin semua orang dapat menikmati tawanya.
Benjamin berdiri di dekat Autumn yang masih menatapnya lekat. Wangi aroma parfume menyeruak ke dalam indera penciuman gadis itu. Aroma yang begitu segar, perpaduan antara cytrus dan rempah-rempah dengan sedikit wangi jeruk. Entah parfume merk apa yang dipakai pria dengan kemeja biru langit tersebut. Satu hal yang pasti, aroma itu begitu menghipnotis Autumn.
"Aku tidak menyangka bahwa kau adalah putri dari Tuan Hillaire," ucap Benjamin, memulai percakapan di antara mereka.
"Aku tidak harus selalu menyebutkan nama ayahku pada setiap orang," sahut Autumn dengan gaya bicaranya yang khas, lugas dan tak bertele-tele.
Benjamin tersenyum, seraya menggumam pelan. Dia melirik gadis di sebelahnya, yang tengah sibuk merapikan rambut. "Apa ayahmu tahu jika kau suka pergi ke klub malam dan minum-minum di sana?" Sebuah pertanyaan yang seketika membuat Autumn tercengang. Dia tak menyangka jika Benjamin akan mengungkit hal itu lagi.
"Begini, Tuan Royce." Autumn berusaha tetap terlihat tenang. "Pertama, aku tidak suka pergi ke klub malam. Kedua, aku bukan peminum. Malam itu, kebetulan aku hanya menghadiri pesta ulang tahun salah seorang sahabat. Jadi, sepertinya ayahku tidak akan mempermasalahkan hal itu," ujar Autumn enteng, meskipun dalam hati ada rasa waswas.
"Ya, aku harap begitu. Aku rasa, Tuan Hillaire pria yang bijaksana. Dia juga sangat cerdas. Namun, aku tak yakin bagaimana reaksinya jika sampai mengetahui bahwa kau telah menginap di tempatku." Lagi, ucapan Benjamin berhasil membuat Autumn kembali tercengang. Gadis itu melotot tajam pada pria tersebut, sebagai tanda protes.
"Apa yang Anda inginkan?" tanya Autumn penuh selidik. "Aku tahu Anda juga bukan pria yang ... ah, sudahlah. Aku tak berminat mengurusi sesuatu yang bukan ranahku," ujar Autumn tak acuh.
"Tenanglah, Nona. Rahasiamu aman di tanganku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Emak Femes
hmmm
playboy cap kampret ini mah
2022-05-09
2
Titik pujiningdyah
hmmm jangan-jangan ada embel² nih
2022-04-22
1