Malam itu, Arumi sibuk menata meja makan. Dia terlihat sangat cantik dengan gaun malam indah.
Rencananya, salah satu kolega Edgar akan datang untuk makan malam di sana.Orang itu merupakan investor yang bekerja sama, dalam proyek resort mewah yang akan diresmikan besok.
Sementara Autumn tengah sibuk bersiap-siap di kamar. Dia mengenakan midi dress model A Line, yang mempercantik penampilannya malam itu. Autumn juga menggerai rambut panjangnya.
Beberapa menit kemudian, gadis itu telah siap. Dia bergegas keluar dari kamar. Namun, raut wajahnya masih tampak murung.
Hingga detik itu, Leon tak juga menghubungi. Nomor ponselnya pun berada di luar jangkauan. Sesuatu yang terasa begitu menyebalkan bagi Autumn. Membuat dia ingin mendatangi sang kekasih, untuk memarahinya habis-habisan karena telah membuat gelisah.
Sayup-sayup, terdengar suara Edgar yang tengah berbincang dengan seseorang di ruang tamu. Sebelum memutuskan ikut bergabung, Autumn terlebih dahulu berdiri di dekat bukaan yang langsung menghadap ke laut lepas. Dia terpaku sejenak di sana.
Malam itu, cuaca begitu cerah. Andai saja Leon ikut bersamanya ke Marseille, malam akan terasa jauh lebih indah. Namun, lagi-lagi Autumn harus mendengkus kesal. Dia bahkan tak tahu apa yang sedang kekasihnya tersebut lakukan sepanjang hari tadi, hingga malam tiba.
"Hai, Elle. Ibu menyuruh kita segera bergabung di meja makan." Tiba-tiba, Darren sudah berada di belakang Autumn. Membuat gadis itu terkejut setengah mati.
"Kau ini selalu saja mengejutkanku!" Autumn melotot tajam. Gadis bermata abu-abu itu menggerutu kesal. Dia membalikkan badan, kemudian melanjutkan langkah menuju ruang makan. Tak dipedulikannya Darren yang sudah membuka mulut karena hendak mengatakan sesuatu.
"Selamat malam semua," sapa Autumn diiringi senyum hangat. Dia berusaha menyembunyikan rasa tak karuan dalam hati. Namun, sepertinya itu tidak akan berlangsung lama, saat mendapati pria yang duduk di kursi sebelah sang ayah.
Pria itu menatap Autumn, dengan ekspresi tak jauh berbeda dari gadis cantik tersebut.
"Kacau!" gerutu Autumn dalam hati. Gadis itu menggerakkan mata abu-abunya tidak beraturan, yang menandakan bahwa dia tengah dilanda rasa gelisah. Terlebih karena si pria terus memandang ke arahnya.
"Tuan Royce," ucap Edgar sesaat kemudian. "Perkenalkan, ini putra-putri kami." Edgar mengarahkan tangan kanan pada Autumn dan Darren.
Pria yang tidak lain adalah Benjamin Royce, tersenyum kalem. Dia menatap Darren dan Autumn secara bergantian. Namun, perhatian pria tampan tersebut lebih terfokus pada si gadis yang tengah berusaha menepiskan rasa tak nyaman.
"Ayo, Anak-anak. Perkenalkan diri kalian pada Tuan Royce," ucap Arumi.
Tak ada alasan bagi Autumn untuk menolak. Dia melangkah ke hadapan Benjamin, yang langsung berdiri. Namun, gadis itu tak segera bicara.
"Apa kabar, Tuan Royce. Namaku Darren." Berhubung tak sabar menunggu sang kakak yang hanya diam terpaku, Darren akhirnya mendahului memperkenalkan diri.
"Hai, Darren. Kau pemuda yang tampan," balas Benjamin. Dia memberikan sanjungan pada putra bungsu Edgar tersebut. "Kudengar kau menyukai olahraga menantang."
"Begitulah, Tuan," balas Darren, diiringi senyum lebar.
Sesaat kemudian, perhatian Benjamin beralih pada Autumn, yang masih terlihat kikuk.
"Tuan Royce," sapa Autumn pelan. "Namaku Autumn. Anda bisa memanggilku Elle," lanjut gadis itu seraya menatap Benjamin sesaat, sebelum mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Autumn? Nama yang unik. Kau juga sangat cantik," balas Benjamin. Dia memberikan sanjungan yang sama, seperti terhadap Darren.
"Autumn baru menyelesaikan kuliah. Aku sedang mencarikan kegiatan positif untuknya," ucap Edgar menimpali.
"Apakah putri Anda akan bekerja? Maksudku, mungkin melanjutkan nama besar ayahnya di perusahaan ----"
"Tidak," sela Autumn segera. "Satu hal yang sangat kuhindari adalah terus berada di bawah bayang-bayang nama besar Edgar Hillaire. Aku ingin mencari jati diri ---"
"Pergilah berkelana, Elle," celetuk Darren enteng.
"Tentu, Adikku sayang. Berada jauh denganmu pun jadi doa yang selalu kupanjatkan setiap hari," balas Autumn, setengah mencibir.
Edgar berdehem pelan. Jika bukan di hadapan Benjamin, dia pasti langsung menegur kedua anaknya. Pria itu memberi isyarat pada Arumi.
"Mereka senang bercanda, Tuan Royce," ujar Arumi diiringi senyum kikuk. "Sebaiknya, kita segera ke meja makan. Aku sudah menyiapkan beberapa menu istimewa malam ini."
"Istriku pandai memasak. Selain itu, dia juga bisa membuat kue," sanjung Edgar, seraya mengajak Benjamin menuju ruang makan.
Setelah Edgar dan Benjamin berlalu dari sana, Arumi segera mendekat pada kedua anaknya. "Jaga tingkah laku kalian. Jangan sampai mempermalukan kami," teguran yang pelan, tapi cukup tegas.
"Darren yang mulai duluan, Bu," tuding Autumn.
"Aku hanya memberikan saran, sesuai yang kau inginkan tadi. Kau selalu berpikir buruk tentangku," protes Darren, tak terima disalahkan.
"Sudahlah." Arumi menengahi. "Kuharap kalian tidak membuat gaduh saat di meja makan." Arumi segera mengarahkan Autumn dan Darren ke ruang makan.
Percakapan seputar bisnis antara Edgar dan Benjamin, berlangsung sambil melakukan santap malam. Namun, hanya Darren yang ikut menyimak. Autumn dan Arumi, tidak begitu tertarik.
Sekitar pukul sembilan tiga puluh, Benjamin berpamitan pulang. Edgar mengantarnya hingga pria tersebut berlalu dengan SUV hitam.
"Apakah Tuan Royce tinggal di sini?" tanya Autumn, sepeninggal Benjamin.
Edgar menoleh, lalu tersenyum kecil. "Tidak. Tuan Royce tinggal di Paris. Namun, dia memiliki rumah di mana-mana. Kurasa di seluruh Perancis," jawab pria itu, tenang.
"Luar biasa." Autumn menanggapi jawaban sang ayah.
"Tuan Royce masih lajang, Elle," timpal Arumi.
"Ah, kasihan sekali. Kulihat, dia sudah tidak muda lagi. Kenapa masih melajang? Padahal, pria seperti itu pasti bisa menarik perhatian wanita manapun," ujar Autumn. Entah apa maksud ucapannya barusan.
"Tidak semua wanita, Elle. Aku tidak tertarik padanya," canda Arumi, diiringi tawa pelan.
"Kau harus berpikir ulang bila ingin melakukan itu, Sayang," ujar Edgar menanggapi. "Kau sudah tahu seperti apa diriku," lanjutnya serius.
Arumi tertawa pelan. Tentu saja. Bagi wanita itu, Edgar merupakan sosok paling sempurna. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah.
Arumi melingkarkan tangan di lengan sang suami, seraya menyandarkan kepala di pundak pria itu. Dia tak merasa canggung menunjukkan kemesraan di hadapan Autumn.
Lain halnya dengan Autumn. Melihat kemesraan kedua orang tuanya, gadis itu merasa risi. Dia memilih segera masuk kamar.
Autumn dapat bernapas lega malam itu. Dia beruntung karena Benjamin tidak menyinggung semua yang terjadi kemarin malam.
Sementara itu, Benjamin sudah tiba di kediamannya, yaitu sebuah rumah yang berada tidak jauh dari pelabuhan.
Benjamin Royce, pria lajang berusia tiga puluh lima tahun. Entah mengapa, dia belum memikirkan hidup berumah tangga.
Angin malam pinggir pantai, menemani Benjamin yang tengah menikmati segelas anggur, sambil berdiri di beranda rumah. Pria itu tersenyum, lalu menunduk sekilas. Dia menggumam pelan, saat merasakan sentuhan lembut di perut dan dada, dari tangan berjemari lentik dengan cat kuku berwarna merah. Benjamin membiarkan, meskipun sentuhan itu mulai menjalar ke mana-mana.
Sesaat kemudian, Benjamin membalikan badan. Dia menyambut lu•matan mesra dari seorang wanita cantik berambut gelap. Rambut panjang dan terlihat sangat indah, yang kini berada dalam genggaman tangannya.
Untuk beberapa saat, mereka berdua asyik berciuman, hingga Benjamin mengakhiri adegan itu dan menatap si wanita untuk sesaat.
"Apa kau merindukanku, Ben?" bisik wanita itu manja.
"Ya, Maria," jawab Benjamin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Sunarty Narty
wah kasian autumn cowoknya play
2022-09-23
1
lovely
Benyamin play juga ya kasian autum klo ma bujang lapuk macam Bunyamin 🥴
2022-09-16
1
Emak Femes
weleeeh bar ismi genti si mar
2022-05-09
1