Semesta memang adil. Setiap yang menyakiti, pasti akan tersakiti. Dan semua yang tersakiti, kelak akan mendapatkan kebahagiaannya. 𝙆𝙖𝙧𝙢𝙖 𝙢𝙚𝙢𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙥𝙚𝙧𝙣𝙖𝙝 𝙨𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙩𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩, 𝙗𝙪𝙠𝙖𝙣?
Bel pulang sudah berbunyi. Gabriel dan Cakka menghampiri sang sahabat dikelasnya karena kelas Rio dan Alvin berbeda dengan mereka. Entahlah, empat sahabat yang seharusnya lengket bagai amplop dan perangko itu harus terpisah saat memasuki kelas 3 SMA. Sangat disayangkan karena kekonyolan merekalah yang menjadi pusat perhatian setiap kelas.
"Rio, gue duluan ya. Ada urusan. Lo pulang sendiri bawa mobilnya." Ucap Alvin sembari berlalu menghampiri Cakka dan Gabriel.
"Kalian mau kemana?" Tanya Rio menatap ketiga sahabatnya. Heran, karena tak biasanya ia dilupakan seperti itu.
"Mau ke toko buku."
"Kok gue nggak diajak?"
"Lo kan nggak suka toko buku. Ngapain kesana? Udah, pulang sana. Lagian kita mau sama Shilla sama Agni juga." Jawab Alvin menjelaskan.
"Gue ikut dong." Ucap Sivia sembari berlari kecil menghampiri sahabatnya.
"Ya udah boleh." Jawab Gabriel menganggukkan kepalanya.
Rio hanya bisa memajukan bibirnya karena ditinggal sahabatnya. Benar juga, jika ia memaksakan ikut dengan sahabatnya, yang ada ia hanya akan menjadi obat nyamuk nantinya. Lebih baik pulang, lalu ia istirahat didalam selimut hangat.
"Ify, lo mau ikut ke toko buku nggak?" Tanya Shilla kepada sahabat barunya. Berharap ify mau bersamanya.
"Enggak Shill, gue mau buru-buru pulang. Ada kerjaan soalnya." Ucap ify tersenyum kecil sembari terus mengenmas barang-barangnya kedalam tas.
"Sok sibuk." Ketus Rio begitu saja, tanpa mau menatap Ify. Namun yang disindir pun hanya diam tak mau ambil pusing.
"Oke deh."
Shilla dan sahabatnya pergi meninggalkan Ify dan Rio yang tersisa dikelas. Semua sudah keluar, menuju alam bebas yang terasa sangat sejuk sore ini. Angin segar menerpa dedaunan hingga sepoi-sepoi dirasa.
"Rio, rumah lo dimana?" Tanya ify saat Rio melintasi bangkunya. Ia sudah selesai memasukkan semua buku-bukunya.
"Kenapa? Lo mau nebeng?" Rio menatap dengan sarkastik. Langsung saja tanpa basa-basi ia bisa menebak ucapan gadis mungil disampingnya ini.
"Iya, tau aja sih Lo." Ify memamerkan kawat gigi yang terpasang rapi dan epic di gigi putihnya.
"Lo kan baru kenal gue tadi pagi, Lo nggak takut gue culik? Terus gue bawa ke rumah kosong, terus gue bunuh lo di sana. Lo nggak takut emangnya?" Pancing Rio. Ia menatap Ify dari atas hingga bawah. Yang ditatap malah memutar bola mata jengah.
"Enggak. Kebanyakan nonton sinetron emak-emak lo. Makanya pikiran lo jelek terus kayak gitu. Ayo, gue buru-buru." ajak Ify sembari terus menarik lengan Rio menuju parkiran mobil. Rio hanya menurut saja, membiarkan lengannya ditarik begitu saja. Ada sedikit debaran dihati Rio saat Ify memegang bagian tubuhnya. Rasa yang sudah lama sekali tidak ia rasakan. Namun, bukankah seperti itu jika seseorang yang baru bertemu langsung akrab begitu saja?
Seseorang melihat kejadian itu, dimana ify menarik lengan Rio menuju parkiran mobil. Matanya sedikit nanar. Pandangannya tak pernah beralih sedetikpun dari kedekatan Ify dan Rio sejak pagi tadi. Entah itu dikantin, ataupun saat ini.
"Apa mungkin Rio udah lupa sama gue? Wanita itu siapa? Pacarnya Rio kah?" Batinnya menatap pilu.
***
Didalam mobil yang didesain sangat mewah ini, hanya keheningan yang tercipta. Ify maupun Rio tidak ada yang bersuara. Gadis cantik itu masih berkutat dengan otak dan pikirannya. Beberapa saat yang lalu, saat ia tengah mengemas buku-buku pelajarannya, ponselnya berdering dan menampilkan notifikasi dari Auri. Asisten rumah tangga dirumahnya, memberitahu bahwa Ibunya tidak bisa keluar rumah dan menjemputnya. Ada apa dengan ibunya hingga ia tidak dijemput sekolah? Begitulah pikiran Ify hingga ia mengepalkan tangannya dan melayangkan tinju di dasbor mobil milik Rio, tanpa sadar tentunya.
Hatinya begitu membara membayangkan apa yang terjadi dengan Ibunya. Jika wanita paruh baya yang sudah melahirkannya itu sampai tidak bisa menjemputnya, berarti ada sesuatu yang terjadi dirumah dan itu bukan hal biasa.
Brakk!!
"Sialan!" Umpatnya begitu menggebu-gebu. Sorot matanya begitu tajam menatap kearah jendela.
"Heh lo ngerusak mobil gue!" Cecar Rio masih dengan harus kefokusan menyetir, sesekali tangan satunya mengelus dasbor yang ditinju oleh sang gadis.
Yang dicecar hanya menatap sekali kemudian beralih lagi menatap jendela. Jika saja pikirannya tidak melayang pada Ibunya, ia pasti akan menaiki Bis meski harus terjebak macet beberapa jam lamanya.
"Maaf gue nggak sengaja." Ucap sang gadis dengan raut wajah datar.
Rio hanya mendengus kesal mendengar penuturan ify. Sepertinya gadis itu sedang ada masalah. Maka dari itu, Rio lebih memilih untuk diam beberapa saat. Biarlah jika dasbor mobilnya rusak, meski sedikit tak percaya jika tangan kurus milik Ify mampu merusak dasbor mahal tersebut.
"Dimana rumah lo?" Tanya Rio, masih dengan raut wajah yang kesal. Membuat Ify sedikit merasa bersalah menatapnya.
"Caruban."
"Caruban itu luas. Rumah gue juga di Caruban. Sebelah mana?" Kesal Rio.
"Anu, itu, masuk komplek 8A terus nanti gue kasih tahu rumahnya."
Rio hanya mengangguk. Sepertinya ia tau bahwa ify tidak fokus. Biarkan saja dulu. Yang penting ia mengantar Ify sampai dirumahnya.
***
Mobil Rio sudah berhenti tepat didepan rumah Ify. Namun ify masih enggan turun dari mobil Rio. Pemuda itu pun masih membiarkan ify hingga gadis itu sendiri yang turun dari mobilnya. Sesekali bersiul karena bingung dengan keadaan. Keduanya masih sama-sama diam. Hembusan nafas terdengar kasar dari nafas Ify, membuat Rio menoleh.
Rio mendengar dengan jelas bahwa kedua orang tua ify bertengkar hebat didalam rumah mewah, megah, nan besar tersebut. Itu sebabnya ia tidak mau berbicara apapun, ia takut menyinggung perasaan ify. Biarkan Ify nanti yang berbicara lebih dulu. Sedikit menghargai, meski awal perkenalan mereka tadi pagi tidaklah baik untuk ditiru.
"Terimakasih Rio." Ucap gadis itu secara tiba-tiba lalu turun dari mobil Rio dan berlari kedalam rumah. Ia benar-benar tidak enak dengan sang pemuda. Ia tau ia salah meminta antar pada siapa, karena pada dasarnya ia sudah memperlihatkan aib keluarganya pada orang yang baru saja ia kenal. Memang bukan maksud ify seperti itu, ia pun tak menyangka kedua orang tuanya bertengkar hebat hingga tidak seperti biasanya.
"Kasian banget lo Fy." Lirih Rio menatap nanar pada punggung Ify yang semakin menjauh dan hilang dibalik pintu.
Bagaimana tidak? Rio mendengar jelas bahwa orang tua ify mengucapkan kata cerai dengan lantang.
Tak mau mendengarnya terlalu lama, Rio langaung menancap gas mobilnya lalu pulang kerumahnya untuk beristirahat.
Sementara didalam rumah, ify masih mematung berdiri didepan ruang tamu. Menatap nanar tempat itu karena banyak barang-barang berserakan dimana-mana. Entah itu barang mahal, atau bahkan murah sekalipun sudah tak berbentuk rupanya.
Jelas ia tahu apa penyebab orang tua nya seringkali bertengkar dan dengan lantang mengucapkan kata cerai meskipun itu dihadapannya langsung.
"Alyssa." Panggil Umari. Matanya sedikit sembab akibat menangis. Memang ia seorang lelaki, namun jika hatinya disakiti ia pun juga akan terluka. Dan Alyssa? Itu panggilan kesayangan Umari sejak ify masih kecil. Ia sangat menyayangi anak gadisnya tersebut.
"Kenapa Pa? Kenapa kalian bertengkar?" Tanya ify berjalan mendekati sang Ayah.
"Mama mu Nak." Ucap Umari sedikit mengusap air matanya.
"Mama mu berselingkuh dengan atasannya di kantor. Dan Papa sudah putuskan untuk menceraikan Mama mu. Maafkan Papa Alyssa." Jelasnya sembari memeluk ify. Bukan maksud hati ingin menjelekkan nama istrinya dihadapan sang anak, namun Ify sudah besar. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga menyebabkannya sering bertengkar dengan sang istri
"Nggak papa Pa, Papa nggak perlu meminta maaf sama Alyssa. Kebahagiaan Papa nomor satu. Mungkin memang Mama udah nggak bahagia sama Papa. Makanya Mama selingkuh. Jangan benci sama Mama ya Pa." Ucap ify menenangkan Umari. Meski sebenarnya ia juga terguncang dengan keputusan sang Ayah.
"Bagus kamu ya Umari, setelah kamu kaya dan sukses, kamu menceraikan aku. Kamu ingat? Ini semua, hasil kekayaan kamu itu semua berkat aku yang ngasih kamu modal buat bangkit lagi dari kebangkrutan kamu!!" Ucap Ginara sembari berjalan mendekati Umari dan Ify. Matanya begitu mengkilat penuh amarah.
"Aku tidak akan menceraikan kamu kalau kamu tidak selingkuh Gina!" Umari melepaskan pelukannya pada Ify. Lalu berbalik menghampiri Ginara yang tak jauh darinya. Ify hanya berdiam diri saja, tak mau ikut campur urusan orang tuanya sendiri.
"Aku selingkuh karena kamu tidak punya waktu buat aku!!"
"Gina dengarkan aku, aku bekerja untuk kamu dan Alyssa. Agar hidup kalian terjamin!"
"Kalau aku tidak bekerja, kamu mau hidup kita kekurangan? Kamu mau kita hidup miskin? Aku bekerja siang dan malam juga untuk membahagiakan kamu." Lanjut Umari memberi penjelasan.
"Tapi kenyataannya aku tidak bahagia! Aku tidak bahagia, Mas!" Teriak Ginara sangat kencang. Ia benar-benar marah. Apapun yang Umari jelaskan justru sangat membuatnya marah.
"Oh, jadi maksud kamu itu kamu bahagia kalau kita hidup miskin? Hidup pas-pasan begitu? Aku bisa saja memberikan waktu 24 jam buat kamu, asal kita hidup miskin. Aku kerja apa adanya, biar aku ada waktu buat kamu. Asalkan kamu tidak menuntut ku untuk ini dan itu. Apa kamu bisa, Ginara?"
"Kamu-"
"Sudah sudah!!" Teriak ify menengahi. Ia sudah cukup muak mendengarkan celotehan orangtuanya. Kepalanya berdengung terus menerus mendengar teriakan yang bersahut-sahutan tersebut.
Ginara menoleh, kemudian berlalu membawa koper dan tasnya. Ia pergi dari rumah itu setelah hampir 18 Tahun mereka bersama. Tidak ada yang bisa diperbaiki lagi dari hubungannya dengan Umari. Juga dengan Ify Alyssa. Semua sudah selesai. Entah sebagai seorang Ibu, atau sebagai seorang istri.
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments