Luna Milik Tuan Muda Barra

Luna Milik Tuan Muda Barra

Jihan = Luna

Tatapan Jihan kembali terarah pada Lidia yang masih sesenggukan menahan tangis. Sudah dua jam sahabatnya itu memegang ponsel, dengan aplikasi novel online yang terbuka di hadapan wajahnya.

Lidia sahabat Jihan, sangat menyukai cerita novel yang berbau pengkhianatan, pelakor, drama rumah tangga yang di mana wanita lemah menjadi korban sekaligus peran utama di dalam cerita.

Jika sahabatnya itu sudah suka dengan sebuah cerita baik itu novel maupun drama televisi, ia akan berulang kali membaca atau menonton cerita itu, dan berulang kali pula Lidia akan menangisi tokoh protagonis yang lemah dalam cerita.

“Lid …. Lidia!” seru Jihan tak sabar.

“Aphaah, hikhik ….” Lidia menoleh sekilas lalu menghapus cairan hidungnya.

“Kita tuh jadi kerjain tugasnya Pak Abi ga nih?”

“Kamu sudah belum?” tanya Lidia masih sesenggukan. Matanya masih tidak mau terlepas dari layar ponselnya.

“Lah, kok tanya aku dah selesai apa belum. Kamunya dari tadi mojoook mulu.” Jihan menutup laptopnya kesal.

“Bentar lagi, nanggung ceritanya. Sedih betul tau episode yang ini.” Lidia kembali fokus dengan layar ponselnya.

“Baca apaan sih!” Jihan menarik ponsel dari tangan Lidia, “Cerita ini lagi??” sergah Jihan kesal.

“Lagi seru-serunya itu, Han. Violet mau dibunuh sama si kuntilanak Luna. Dia di racun hampir mati. Untung pelayan Tuan Barra lihat waktu Violet sesak ga bisa nafas di taman belakang.” Lidia bercerita dengan semangat, seakan semua yang ada di dalam cerita itu nyata.

“Terus penting gitu buat aku?” Jihan mengembalikan ponsel Lidia, tapi sebelumnya ia sudah menutup aplikasi novel online tersebut.

“Iiihh, kok ditutup sih, belum selesai baca aku tuh,” gerutu Lidia.

“Cerita macam gituan sudah pasaran. Tokoh utama lemah, nangisan, disiksa, terus ketemu cowok ganteng, kaya, sok melindungi bak pangeran. Ujung-ujungnya bucin. Pelakornya jahat dan licik ga ada ampun akhirnya karma … tamaaatt. Basi!”

“Tapi bagus kok,” cicit Lidia.

“Cerita bagus kalo ga mendidik buat apa? Buruaan mo kerjain ga nih??” Jihan sudah mulai kesal.

“Iyaaa, aku baca novel ini kan juga untuk riset,” kelit Lidia.

“Diihh, ilmu apa yang mau kamu ambil dari cerita macam begituan? Trik melakor? ato mempertahankan suami?” ledek Jihan.

“Jahat betul ngomongnya,” gerutu Lidia seraya duduk di hadapan Jihan, “Kamu tau ga sih, Pak Abi, dosen sastra kesayanganmu itu katanya juga nulis di platform online loh.” Lidia berbisik tapi cukup keras untuk di dengar oleh orang di sekitar mereka.

“Huusst, sembarangan kamu. Mana mau Pak Abi yang suka baca buku sastra kuno nulis cerita begituan.”

“Betulan kok, gosipnya sudah kemana-mana. Anak-anak lain dah pada penasaran nyariin akunnya.”

“Ga percaya,” sahut Jihan singkat seraya mencebik.

Selang beberapa saat mereka mengerjakan tugas, Lidia kembali membuka ponselnya yang berdenting karena ada pemberitahuan masuk, “Waahh, tumben ni penulis rajin update sampe dua kali.”

“Mampuusss lu, Lunaa! Membusuk kamu di penjara.”

“Tuan Barra kereen, bahagianya Violet dapet suami idaman. Sempurna banget.”

Lidia terus berkicau mengomentari jalan cerita dalam novel, tanpa menyadari tatapan Jihan yang semakin tajam.

“Siniin!” Jihan merampas kembali ponsel Lidia dan membawanya keluar dari perpustakaan.

“Haan, mau kamu bawa kemana hapekuu.” Lidia menjerit kencang, sambil berusaha merebut kembali ponselnya dari tangan Jihan.

“Mau kusimpan dulu biang kerok ini di loker, biar kamu bisa konsentrasi kerjain tugas.” Jihan mengangkat ponsel Lidia tinggi-tinggi hingga sahabatnya itu kesulitan menggapainya.

Tubuh Jihan yang tinggi, membuat Lidia harus melompat-lompat berusaha meraih ponselnya.

“Jangan dong, Haann. Balikiin,” Lidia memohon.

Lidia terus berjalan mundur sambil melompat-lompat menghalangi langkah Jihan, tanpa disadari mereka sudah sampai di ujung bibir anak tangga paling atas.

Saat langkah kaki Lidia hampir saja tergelincir, Jihan langsung menarik tubuh sahabatnya itu agar tidak terjatuh. Namun hal itu membuat posisi tubuhnya malah bertukar posisi dengan Lidia.

Sedetik kemudian, bagai sekelebat bayangan tubuh Jihan sudah terhempas menggelinding hingga ke lantai bawah.

“JIHAANN!” Lidia berseru panik. Kakinya yang gemetar, ia paksakan untuk berdiri dan turun ke bawah untuk melihat kondisi sahabatnya.

Jihan terkapar tidak sadarkan diri, dengan kepala robek terbentur pegangan tangga dan mengeluarkan darah yang begitu banyak. Ponsel Lidia masih ada dalam genggaman Jihan dengan layar retak menampilkan sampul depan novel favorite Lidia, ‘Violet milik Tuan muda Barra.’

“Aargghhh.” Jihan mencoba menggerakan tubuhnya. Tulang belulangnya seakan lepas dari persendiannya. Ia mencoba membuka matanya, namun hanya kegelapan yang terlihat.

“Sepertinya aku dah ko’it ini,” keluh Jihan. Berulang kali ia mengerjapkan matanya untuk mengusir rasa pening yang mendera kepalanya.

Bunyi ketukan pintu dan suara orang memanggil sayup-sayup masuk ke dalam indera pendengarannya, “Jangan bilang itu panggilan malaikat maut.”

“Lun … Lunaaa. Bangun!” Tepukan di bahu membuat matanya terbuka lebar. Seorang pria setengah baya memandangnya dengan raut wajah kesal.

“Kamu pasti mabuk lagi semalam, bangun! Tiga jam lagi pernikahanmu, dan kamu masih bau alkohol!” Pria itu menarik tubuhnya bangkit dari tidur dengan paksa, lalu menyerahkan dirinya pada beberapa pelayan yang berdiri di belakang pria setengah baya itu.

“Mari Non Luna, mandi dulu.” Pelayan itu memapah tubuhnya yang masih belum dapat berdiri dengan tegak.

“Tunggu … kamu panggil saya siapa tadi?” Jihan menghentikan langkahnya dan menghadap pelayan itu dengan kening berkerut.

“Nona Luna,” sahut pelayan itu bingung.

“Kalian salah orang, saya bukan Luna.” Jihan berusaha melepaskan dirinya dari pegangan dua pelayan di kanan dan kirinya.

“Cepat paksa dia masuk kamar mandi, dia masih mabuk itu,” seru pria setengah baya itu kesal.

“Jangan sembarangan bicara, Tuan. Aku bukan Luna, aku Jihan. Aku tidak mabuk!” Dengan sedikit terhuyung Jihan berjalan menghampiri pria setengah baya itu dan menunjuk wajah pria itu dengan jari telunjuknya, “Anda yang mungkin tidak waras.”

Plaakk!!

Telapak tangan pria setengah baya itu menempel dengan keras di pipi Jihan.

“Jangan kurang ajar dengan Ayahmu! Kamu itu kalo lagi mabuk seperti orang tidak waras!” sergah pria setengah baya itu yang ternyata Ayah dari Luna, wanita yang tubuhnya digunakan oleh Jihan.

“Siram dia dengan air dingin supaya otaknya kembali bekerja, lalu segera pakaikan gaun pengantin dan antar dia ke ruang tamu!” perintah Ayah Luna.

“Tunggu … tunggu!” Jihan berteriak panik saat para pelayan itu menggiringnya masuk ke dalam kamar mandi.

“Non, ayolah mandi dulu. Nanti kami dimarahin sama Tuan Besar.” Seorang pelayan berhasil membuka gaun tidurnya.

“Sebentar lagi Tuan Barra calon suami Non Luna datang, kalo Non Luna belum siap beliau bisa ikut marah.” Pelayan yang jauh lebih muda menggiringnya ke bawah shower.

“Saya Jihan bukan Luna … tunggu, siapa tadi nama calon suami Luna yang kamu sebut??” Jihan membalikkan badannya yang sudah basah menghadap pelayan muda itu.

“Tuan Barra.”

...❤❤...

Haai, terima kasih bagi yang sudah mampir di karya baru aku 🙏

Bagj yang belum pernah mampir ke karya aku yang lain. Mampir dong

Terpopuler

Comments

Sandisalbiah

Sandisalbiah

ijin baca thor... 🙏😊

2023-12-11

1

Tuxepos Jasmine

Tuxepos Jasmine

be nemu di halaman depan dan lsng baca pas tau nih novel ttg transmigrasi

2023-09-15

1

Red Velvet

Red Velvet

Sampai juga aku membaca ke cerita Luna ... 🤗

2023-03-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!