Angin Lalu

Sudah hari ke lima semenjak kejadian, Tama masih belum menunjukkan akan tersadar dari koma nya. Bian, Diana dan Alvin pun masih setia menemani mereka di Rumah Sakit meski sejujurnya Bian sudah sangat muak dan ingin kembali bekerja di kantornya.

“ Mi apa gak bisa Alvin aja yang disini ? " Tanya Bian memelas.

“ Ko gitu sih Bi ? Kamu dari awal gak kelihatan ada rasa bersalah atau gimana gitu .. " Gerutu Diana pada putranya.

“ Bukan gitu Mi, Bian kan harus balik kerja. Perusahaan kita di Jakarta siapa yang mau urus ? Alvin juga kan dibawa kesini. "

“ Sehari ini lagi saja ya Bi ? Mami mohon temenin Mami "

“ Ok .. Ok Mi sehari " Lagi lagi Bian tak bisa menolak kehendak Diana.

Dengan perasaan kesal Bian berjalan menuju rooftop yang menyediakan smoking area. Tak berapa lama Alvin pun menyusul kesana.

“ Bi .. " Panggil Alvin sambil menepuk pundak Bian, atasan yang sudah di anggap adiknya sendiri. Ya usia Alvin saat ini 31 tahun selisih 2 tahun dengan Bian.

“ Hmm "

“ Kenapa Lo ? Kaya kesel gitu " Tanya Alvin yang kini ikut menyesap rokok.

“ Gue pengen balik, tapi Mami minta sehari lagi di temenin. Buang buang waktu "

“ Kejam banget Lo, udah seharusnya kita tanggung jawab sama mereka Bi "

“ Ini kan gue udah tanggung jawab. Gak perlu berlebihan lah Vin. Lagian dari awal gue gak suka sama bocah itu. Mereka kalo di manja yang ada manfaatin kita " Gerutu Bian.

“ Jangan semua Lo nilai dari uang Bi. "

“ Jangan muna Vin, jaman sekarang yang manusia cari ya duit ! " Bian menyesap rokoknya dalam lalu menghembuskan nya sambil memejamkan mata, mencari ketenangan.

Alvin hanya bisa menggelengkan kepala, bagaimana pun Bian atasannya selain itu status Alvin hanya lah anak angkat yang di percaya Diana untuk ikut mengelola perusahaan setelah Batara Mahesa ayah dari Bian meninggal dunia dua tahun yang lalu. Alvin tak bisa banyak bicara ataupun menentang keputusan Bian, bagi Alvin cukup memberi Bian masukkan jika Bian tak menerima maka Alvin akan memilih diam.

“ Pak pasien sudah sadar " Dokter Rama menghampiri Bian memberikan sebuah angin segar saat kepala Bian begitu pening.

“ Saya kesana ! Ayo Vin .. " Ajak Bian mereka bersama berjalan cepat menuju ruangan dimana Tama di rawat.

Samar terdengar suara isak Renata yang bersimpuh di lengan Tama.

“ Re .. Rawat dirimu dengan baik. Manfaatkan uang tunjangan dan tabungan kakak untuk melanjutkan kuliahmu ya " Ucap Tama lemah.

“ Jangan banyak bicara dulu Kak, jangan berpikir yang enggak enggak. Kakak pasti sehat lagi "

“ Benar nak Tama, jangan pikirkan apapun. Ibu janji akan merawat kalian seperti anak Ibu sendiri. Nak Tama harus sehat kembali demi Rere. " Jawab Diana yang sudah terlebih dulu di kabari sebelum Bian dan Alvin.

“ Saya akan memegang janji Ibu meski nanti saya tidak selamat. Tolong rawat dia bu. Rere hanya punya saya " Suara Tama tenggelam dalam tangisnya.

Bian hanya membeku di depan ruangan, kabar baik yang di nanti ternyata hanya angin lalu. Babak baru dalam hidup mereka telah di mulai dan mereka akan benar benar terikat seumur hidup karena janji Diana pada Tama.

Suara sensor dari monitor hemodinamik yang terhubung pada tubuh Tama bersuara memekikkan telinga dan mengalihkan fokus mereka. Tak berapa lama tubuh Tama menegang kejang, para perawat segera menarik tubuh Renata dan Diana untuk menjauh karena akan memberikan tindakan.

Terdengar tangis histeris dari Renata yang berada dalam pelukan Diana. Renata hanya bisa terisak kala tak berapa lama dokter menyatakan bahwa Tama sudah menghadap Sang Khalik tepat pada pukul 10 pagi.

“ Kakak .. Enggak ini mimpi kakak ayo bangun kak. Kak Tama, kakak cuman tidur kan ? " Racau Renata sambil mengguncang tubuh Tama yang sudah terbujur kaku tak bernyawa.

“ Re ikhlas ya nak ikhlas. Tama udah gak ada Re " Diana terus mengusap punggung gadis yang tak berdaya itu.

“ Enggak bu ! Kak Tama cuman tidur, lihat kan bu ? Kak Tama tidur sambil senyum hiks .. hiks " Renata menjatuhkan kepalanya di dada Tama dengan putus asa.

Pikiran Renata kini melayang, tatapannya kosong dan semua pun menggelap. Renata jatuh di saat yang tepat Bian datang menangkap tubuh Renata menahannya agar tidak membentur lantai.

“ Astaga gadis ini " Keluh Bian

“ Bawa dia Bi, biarkan dia istirahat. Kita harus urus pemakaman kakaknya " Pinta Diana.

“ Ya Mi " Bian mengangkat tubuh Renata ke ruang VIP seorang diri, meski perawat meminta Bian menurunkan tubuh Renata ke kursi roda namun Bian menolak karena setelah melihat adegan mengenaskan tadi hati Bian sedikit tersentuh untuk memperhatikan Renata.

Bian menurunkan tubuh Renata di bed dan meminta dokter dan perawat yang telah memeriksa Renata untuk meninggalkan mereka berdua.

“ Malang sekali nasibmu bocah keras kepala. Tapi kamu akan mendapat keuntungan karena Mami ku akan mengurus dan memperhatikan mu mulai saat ini lebih daripada memperhatikan aku " Gerutu Bian pada gadis yang bahkan tak bisa mendengarnya itu.

“ Rasanya aku ingin membencimu tapi untuk saat ini aku akan menahannya. Semoga kamu tidak sama seperti kebanyakan orang di luar sana yang hanya memanfaatkan kebaikan mami ku " Tambah Bian.

Bian memang cukup selektif untuk membangun hubungan dan dekat dengan orang karena trauma, saat usianya masih remaja Bian hampir saja putus sekolah. Diana dan Batara di tipu habis habisan oleh saudaranya sendiri dan membuat mereka nyaris menjadi gelandangan. Namun berkat kemampuan Batara dan bantuan sahabatnya, Batara mampu membangun kembali perusahaannya yang kini bergerak semakin besar di tangan Bian. Kenangan itu membekas di ingatan Bian membuatnya sulit mempercayai orang lain dan sering meremehkan mereka yang taraf ekonominya di bawahnya. Bian merasa kalangan bawah itu sering memanfaatkan kebaikan mereka.

Bian pun meninggalkan Renata begitu saja dan menitipkan nya pada para perawat, setelah berkordinasi dengan pihak RW di tempat Tama dan Renata tinggal, mereka memutuskan untuk menguburkan Tama di TPU tempat kedua orangtuanya juga di semayamkan.

“ Rere bangun nak .. " Panggil Diana lembut pada Renata yang masih belum sadarkan diri.

“ Ibu ? " Jawab Renata pelan.

“ Kita harus mengurus pemakaman Kakak mu nak. Ayo bangunlah kita antarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya "

“ Jadi tadi bukan mimpi bu ? " Tangis Renata pecah kembali begitu melihat Diana menggelengkan kepalanya.

Hati Renata masih belum ikhlas menerima, namun bagaimanapun sudah kewajibannya mengantarkan Kakak satu satunya itu ke peristirahatan terakhirnya. Dengan di papah oleh Diana Renata mengikuti keranda yang di pangku oleh masyarakat sekitar, langit sore yang mendung di sekitar tempat pemakaman Tama seolah ikut berduka akan kepergiannya. Tama memang di kenal pemuda yang baik di lingkungannya, karena itu juga banyak yang menyayangkan kepergiaannya di usia muda dan ikut mengantar sebagai penghormatan terakhir.

Terpopuler

Comments

Lanjar Lestari

Lanjar Lestari

Benci sama Cinta cm beda dikit Bian jangan bucin nanti kl benci Renata oke Bian

2024-05-06

0

Benazier Jasmine

Benazier Jasmine

bian awas u klo bucin sm renata, jelas2 renata kehilangan kakaknya gara2 nolong mami u, u malah mencurigai renata yg gak gak.

2022-11-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!