My Introverted Author
Semarang
“Bu, Ibu!. Ibu dimana?” seorang gadis berpakaian sederhana tampak berlari ke dalam rumah seraya berteriak.
Ia adalah Syafadilla Aini alias Dilla, gadis berusia 19 tahun yang terkenal cerdas, tegas dan baik hati.
Dilla baru saja menerima surat pemberitahuan kelulusannya dalam Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri dari salah satu kampus terbaik yang ada di Jakarta.
Dilla tampak mencari sosok ibunya kesana kemari.
“Ada apa nak?, ibu disini!” terlihat ibu sedang berdiri di pekarangan belakang rumah.
Saat melihat ibunya, Dilla berlari dan langsung berhambur ke dalam pelukan ibunya,
“Bu, Dilla ke Jakarta, Bu. Dilla lulus SMPTN di UNJ, Bu!” ucap Dilla dengan logat medok khasnya.
Dilla melompat kegirangan sambil memegangi sepucuk surat di tangannya.
Ibu pun membaca surat tersebut seraya tersenyum bahagia saat melihat putrinya dapat meraih mimpi untuk kuliah di ibukota.
“Alhamdulillah. Selamat ya nak, kapan rencana kamu berangkat?”
“Hmmm, seminggu lagi bu. Soalnya mau pendaftaran ulang di Jakarta.”
“Kalau gitu kamu harus siap-siap dari sekarang. Ayo!” ajak ibu.
“Tapi bu….” Dilla terlihat cemas.
“Tapi apa nak?” sahut ibu heran.
“Bagaimana biaya berangkatnya ke Jakarta?, kita kan tidak punya uang, bu!” ucap Dilla sedih.
“Soal itu kamu tenang saja, ibu ada uang simpanan. Insya Allah, uang itu cukup buat biaya keberangkatan kamu ke Jakarta bahkan untuk keperluan kamu sehari-hari nantinya disana,” jawab ibu menenangkan anaknya.
“Alhamdulillah, baik bu kalau begitu." Dilla akhirnya tersenyum lega.
Mereka pun masuk ke dalam rumah yang terlihat sangat sederhana dan tertata rapi, lalu bergegas mempersiapkan keperluan sebelum keberangkatan ke Jakarta.
“Kak Dilla mau kemana sih?” tanya seorang gadis remaja bernama Syifa yang tak lain adalah adik kandung Dilla.
“Minggu depan kakak mau ke Jakarta dik, kakak lulus di UNJ,” jawabnya tersenyum
“Wah, selamat ya Kak. Kak Dilla memang hebat.” Mengacungkan jempol ke arah kakaknya.
“Iya dong.” Dilla tertawa sambil memeluk adiknya.
Keesokan harinya, ibu Dilla berjalan ke sebuah rumah dengan membawa sebuah map di tangannya. Map yang berisi surat tanah peninggalan dari almarhum suaminya.
Ia berniat menggadaikan surat tanah tersebut kepada lintah darat yang ada di desa. Ia terpaksa menggadaikan surat tanah peninggalan suaminya tercinta untuk biaya Dilla selama Dilla kuliah di Jakarta.
Meski hatinya merasa tidak yakin akan sanggup membayar semua pinjaman pokok beserta bunganya setiap bulan tetapi membayangkan wajah Dilla yang tersenyum meraih mimpinya membuat hatinya mantap untuk melanjutkan niatnya tersebut.
----------------
Jakarta
Terlihat seorang pria sedang duduk di kursi merapatkan kakinya dan menundukkan wajahnya dalam.
“Kamu ini gimana sih, Za. Masa udah setahun tapi kamu masih belum juga menulis satu buah novelpun. Kalau begini terus, kamu berhenti saja jadi penulis!” bentak pria bertubuh tinggi didepannya.
Pria bernama Riza Rifky itu pun, hanya terduduk diam membisu dan memasang wajah datar saat mendengar pria didepannya membentak dan memakinya.
“Saya sedang berusaha. Beri saya waktu. Saya pasti akan merilis novel yang spektakuler. Saya harap mas bisa bersabar!” jawabnya tenang.
Pria bertubuh tinggi itu pun mendengus kesal, “Baik, saya kasih kamu waktu.”
Pria itu melunak dan menepuk pelan bahu Riza.
“Baik, terima kasih!” jawab Riza singkat.
Pria bertubuh tinggi itupun pergi meninggalkan Riza.
Riza menghembuskan nafas lega, sesaat setelah kepergian Irfan.
Riza merupakan seorang penulis berusia 27 tahun yang introvert, pendiam dan senang menyendiri. Ia memiliki wajah dan IQ di atas rata-rata.
Riza tidak suka berbicara banyak, tidak suka berkumpul dengan banyak orang, tidak suka mencampuri urusan orang lain dan tidak memiliki banyak teman. Orang-orang yang baru mengenalnya akan menyebutnya sombong dan jutek karena gaya bicaranya yang terkesan ketus dan tajam.
Bahkan setiap tingkah dan tindakan Riza selalu terkesan aneh bagi orang lain. Riza seperti hidup di dunianya sendiri.
Baginya berada di tempat ramai dan berkumpul dengan banyak orang sangat menguras energi. Jika berkumpul dengan banyak orang ia hanya diam, diam dan diam.
Sudah hampir setahun Riza tidak kunjung merilis novel barunya. Entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia mengalami kebuntuan ide dan inspirasi setiap kali mulai menulis novel.
Alhasil, ia hanya berdiam dan menyendiri di rumah berharap ide-idenya muncul. Untuk keluar rumah mencari inspirasi merupakan hal yang mustahil ia lakukan.
-------
Seminggu kemudian, hari yang ditunggu-tunggu Dilla pun tiba.
Hari ini ia akan berangkat ke Jakarta.
Dilla pun berpamitan kepada ibunya.
Dengan perasaan bahagia bercampur haru, ia memeluk ibunya yang sudah paruh baya itu dengan erat. Air mata mengalir deras dari kedua pipinya.
“Ibu baik-baik ya. Jangan lupa makan, istirahat dan minum obat.” Dilla menggenggam tangan ibunya.
“Kamu juga ya nak, baik-baik disana. Jangan lupa makan walaupun nantinya kamu sibuk sempatkanlah beristirahat dan makan yang teratur ya.” Ibu mengusap lembut pipi Dilla yang telah basah karena air mata.
“Insya Allah bu. Dilla berangkat ya bu. Assalamu’alaikum.” Dilla mencium lembut punggung tangan ibunya yang sudah mengeriput itu.
Dilla melangkahkan kakinya menuju seorang tukang ojek yang akan mengantarkannya menuju terminal bus.
Dilla melambaikan tangan kearah ibunya.
“Hati-hati ya nak. Ya Allah jaga dan selamatkanlah putri ku dari segala mara bahaya,” batin ibu melepas keberangkatan Dilla.
Tiga puluh menit kemudian, Dilla telah tiba di terminal bus yang akan mengantarkannya ke Jakarta.
Dilla menaiki bus kemudian duduk di kursi yang berada didekat jendela.
Sepanjang perjalanan, Dilla memikirkan bagaimana nanti kehidupan kampus saat ia menempuh kuliah di Jakarta, sedangkan ia tidak kenal siapapun disana.
Didalam hati, ia berharap menemukan seseorang yang akan menemaninya melewati suka dan dukanya nanti selama kuliah di sana.
Setelah kurang lebih sepuluh jam menempuh perjalanan, akhirnya Dilla tiba di Jakarta. Kota yang penuh sesak dengan hiruk pikuk kehidupan glamour dan yang pasti tempat sarangnya kejahatan.
Benar saja, saat Dilla baru saja turun dari bus, tas Dilla dijambret. Semua uang dan barang-barang miliknya amblas di bawa kabur si penjambret.
Dilla meminta tolong kesana kemari sambil berteriak, namun tidak ada satupun orang yang peduli.
Ditengah jalan Dilla terengah-engah karena mengejar penjambret yang membawa kabur tas miliknya.
Dilla menangis sesegukan di jalan. Ia tidak tahu harus pergi kemana dan apa yang harus ia lakukan di kota asing itu.
Dilla melihat sebuah Pos Polisi diseberang jalan, ia bermaksud melaporkan peristiwa tadi kepada pihak yang berwajib.
Namun, saat ia hendak menyeberang, tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang ke arahnya.
Dilla membelalakkan matanya. Sepersekian detik, tubuh Dilla pun terpental ke tanah. Darah mengalir dari pelipis matanya. Tak lama ia pun pingsan tak sadarkan diri.
Dilla tergeletak bersimbah darah di tengah jalan.
Seorang pria yang tak lain sang pengendara mobil pun keluar dengan raut wajah panik. Ternyata itu Riza, si penulis novel yang introvert.
Riza kemudian membawa Dilla ke rumah sakit. Jelas terlihat dari gerak geriknya, Riza memang seorang yang sangat pendiam dan tidak banyak bicara.
Riza hanya duduk diam membisu di kursi. Memandang ke arah ruang operasi yang ada di depannya dengan tatapan cemas.
Saat perawat bertanya kepadanya mengenai identitas gadis yang ia tabrak, Riza hanya menggeleng tanpa berkata apapun.
Dokter akhirnya keluar dari ruangan operasi.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” Riza terlihat cemas dan khawatir.
“Dia sudah melewati masa kritisnya, kepalanya mengalami geger otak ringan. Untung saja anda cepat membawanya kesini, kalau tidak entah apa yang akan terjadi padanya!” ucap dokter memberikan penjelasan panjang lebar.
Riza menghela nafas lega kemudian mengucapkan terima kasih kepada dokter.
“Syukurlah gadis itu baik-baik saja!” batin Riza.
Dua hari kemudian.
Riza menemani Dilla yang masih tertidur pulas di ranjang pasien. Tak lama Riza pun akhirnya ikut tertidur.
Terlihat Dilla menggerak-gerakkan matanya pelan.
Perlahan Dilla membuka mata. Ia menyapu seluruh ruangan bercat putih itu. Merasa asing dengan tempat dimana ia berada saat ini.
Dilla memegangi kepalanya yang terbalut perban putih. Terdengar ia mengaduh menahan rasa sakit dikepalanya.
Ranjang Dilla terdengar berdecit, Riza pun terbangun dari tidurnya.
“Bagaimana keadaan kamu?” Riza mengucek-ngucek matanya.
“Aku kenapa?. Kenapa aku ada disini?” gumam Dilla bingung.
“Dua hari yang lalu kamu kecelakaan. Aku yang membawamu kesini!” jawab Riza datar.
“Terima kasih sudah membawa saya kesini!" sahut Dilla.
Riza berinisiatif mengambil air minum untuk Dilla, karena sejak kemarin Dilla belum meminum seteguk air pun.
Riza mengulurkan tangannya memberikan gelas berisi air kepada Dilla. Dilla mengulurkan tangannya meraih gelas dari tangan Riza.
Tanpa sengaja jari-jari mereka bersentuhan singkat. Riza merasakan sesuatu yang aneh.
Namun, ia tidak tahu apa itu.
Dilla mencoba bangkit dari tidurnya. Dengan sigap Riza membantu Dilla untuk duduk. Dilla meminum gelas yang ada ditangannya dengan sangat terburu-buru karena ia memang sudah sangat haus.
“Ahh... Alhamdulillah. Terima kasih ya mas, sudah mau menolong saya.”
Riza mengangguk mengiyakan.
“Ngomong-ngomong mas namanya siapa?”
Saat Dilla menyodorkan gelas yang telah kosong kepada Riza, tanpa sengaja jari-jari mereka bersentuhan kembali untuk kedua kalinya. Hal aneh yang tadi dirasakan Riza pun muncul kembali.
“Aku Riza. Riza Rifky,” jawabnya singkat.
“Kenalkan mas, nama saya Syafadilla Aini. Panggil saja saya Dilla. Saya asal Semarang,” Dilla mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Riza melihat ke arah tangan Dilla sejenak. Ia terlihat ragu untuk menjabat tangan Dilla.
Dengan cepat Dilla menarik tangan Riza untuk menjabat tangannya.
Saat jemari mereka berjabatan erat, Riza melihat benda-benda aneh mengelilingi kepalanya dan visual-visual berisi ide pun bermunculan. Otaknya bekerja.
Karena terkejut, Riza langsung menyudahi acara perkenalan mereka.
Riza langsung bergegas pergi meninggalkan Dilla tanpa berkata sepatah katapun. Dilla menatap kepergian Riza dengan tatapan aneh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments
nuellubis
mirip seperti Aji di novel saya PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN
😆
2021-11-25
0
Ummu Sakha Khalifatul Ulum
itu saking cerdasnya si Riza ya thor, ada ide bermunculan dia sebagai penulis, sehingga pergipun tanpa pamit 😄😄😄
2020-10-11
0
Wafiq Rostika
ko gada Poto²nyah gituh
2020-08-15
0