Ayrisa mengikuti lomba pidato bahasa Inggris Kamis pekan lalu dengan lancar. Ya, walaupun ia juga tidak terlalu berharap akan menang. Ia sangat berterima kasih pada Aspen yang sudah mau membantunya mempersiapkan diri dan naskah pidatonya. Karena itu, sekarang ia sedang menuruni tangga bersama Mia di sampingnya untuk menuju lapangan samping. Ia akan menonton pertandingan basket hari ini seperti janjinya pada Aspen.
Aspen akan bermain bersama teman-temannya. Itu yang Ayrisa ketahui dari Mia saat ia bertanya mengenai tim basket SMA Gisnandi.
Sampai di lapangan keadaan sudah ramai sesak dengan para siswa yang ingin menonton pertandingan.
Kebanyakan adalah siswa perempuan yang sepertinya tertarik pada pemain di tim basket SMA Gisnandi karena mereka memiliki paras wajah yang tidak dapat ditolak. Ayrisa dan Mia sampai kesulitan mencari tempat duduk di jejeran bangku tribun.
"Ayrisa!"
Terdengar seseorang memanggil namanya, membuat Ayrisa menoleh ke belakang—arah sumber suara. Mia pun ikut-ikutan menoleh. Ternyata Ilham yang memanggil Ayrisa, ada juga Farzi yang berdiri di samping laki-laki itu seperti biasanya. Mereka berdua memang tidak akan pernah terpisahkan sepertinya.
"Lo nyari tempat duduk, 'kan? Bareng kita aja, yang lain udah siapin tempat," ujar Ilham. Ayrisa berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
Ternyata memang benar, teman-teman Ilham dan Farzi sudah menyisakan tempat. Ayrisa dan Mia tadi tidak terlalu memperhatikan bagian di tribun itu. Akhirnya mereka berdua bergabung di antara para siswa laki-laki itu. Sebenarnya bukan hanya mereka siswa perempuan di sana, ada beberapa juga, tetapi sibuk melakukan siaran langsung.
Walaupun teman-teman Ilham dan Farzi tentunya para siswa laki-laki dari jurusan IPS yang biasanya terkenal dengan kenakalannya, tetapi Ayrisa yang pernah beberapa kali sedikit berinteraksi dengan mereka, tahu kalau para siswa laki-laki dari jurusan IPS tidak selamanya harus dicap nakal ataupun bandel. Buktinya saja, mereka itu juga orang yang solid dan tentunya baik. Ayrisa saja pernah ikut tertawa saat salah satu dari mereka melemparkan lelucon.
Ya, dalam interaksi mereka yang terhitung sedikit, Ayrisa selalu merasa seperti diterima dan dipandang apa adanya. Mereka tidak memedulikan gendernya, tampangnya ataupun kemampuannya.
Masih Ayrisa ingat dengan jelas ketika Ilham dan Farzi menghampirinya yang sedang menunggu jemputan sendirian. Saat itu teman-temannya juga ikut, kemudian duduk tidak jauh darinya. Tidak lama setelah itu mereka saling melemparkan lelucon, dan mengajak Ayrisa untuk terlibat, walaupun hanya sebuah tawa dan respon singkat. Bersama mereka membuat Ayrisa merasakan kembali apa itu kesenangan saat berada di antara banyak orang. Tidak ada rasa takut.
Namun, Mia berbeda dengan Ayrisa yang sekarang santai saja duduk di dekat laki-laki. Hampir satu tahun berpacaran dengan Gana membuat Mia sangat tahu kalau pacarnya itu tidak suka ketika melihat atau mengetahui ia berada dalam jarak yang dekat dengan seorang laki-laki. Gana yang sedikit posesif ditambah seorang pengontrol emosi yang buruk adalah perpaduan yang sangat-sangat tidak baik.
Karena itu, sedari tadi Mia berusaha agar tidak terlalu dekat dengan Farzi—yang ia ketahui sebagai teman Ayrisa.
Tidak lama setelah itu pertandingan basket dimulai. Yang bermain untuk SMA Gisnandi memang Gana dan teman-temannya.
Ayrisa tidak terlalu memperhatikan jalannya pertandingan, ia hanya sesekali memperhatikan Aspen saat laki-laki itu yang menguasai bola.
Ketika laki-laki itu yang menguasai bola, bisa dipastikan skor untuk SMA Gisnandi akan bertambah.
Hingga akhirnya SMA Gisnandi menang dengan skor unggul lima angka. Selesainya pertandingan tidak membuat para siswa langsung membubarkan diri. Kebanyakan siswa perempuan masih setia duduk di sana untuk memuaskan diri melihat paras rupawan pemain dari SMA Gisnandi. Mia sendiri yang merupakan pacar Gana, menghampiri laki-laki yang sudah ada di pinggir lapangan itu. Ia menjalankan permintaan pacarnya untuk memberikan minum begitu pertandingan selesai.
Karena sudah tidak ada yang perlu ia lakukan di sana, Ayrisa langsung beranjak. Rencananya ia akan kembali ke kelas.
Keadaan koridor sekolah cukup sepi karena para siswa sedang ada di lapangan, baik siswa SMA Agnandis maupun SMA Gisnandi. Baru saja akan berbelok untuk menaiki tangga, Ayrisa disambut guyuran seember air dingin—bahkan masih ada es yang belum sepenuhnya mencair—yang langsung membasahinya.
"Anjing banget lo, sok polos buat deketin anak Askar."
Seorang siswa perempuan yang memakai seragam SMA Gisnandi berdiri angkuh di depan Ayrisa. Di belakangnya ada dua siswa perempuan lainnya yang kelihatannya bertugas mengawasi situasi sekitar.
Tubuh Ayrisa yang berdiri, mematung gemetaran di tempatnya. Rasa dingin dan takut menyelimuti dirinya.
"Kenapa diam? Takut? Halah, munafik banget lo!" Nisla, siswa perempuan itu, mendorong Ayrisa hingga jatuh terduduk di anak tangga.
"Lemah banget lo, baru digituin aja udah nangis." Nisla kembali melontarkan cemoohan, tidak menghiraukan keadaan Ayrisa yang memburuk. "Gak ada yang bakal datang buat nolongin lo. Jadi, gak usah banyak berharap lo bakal selamat," ujarnya seraya menjambak rambut Ayrisa hingga kepalanya mendongak.
"Udah muak banget gue berapa hari ini liat tingkah sok polos anjing lo di depan mereka."
Gadis yang terduduk di undakan itu terlihat kacau dengan air mata yang membasahi wajahnya, ketakutan pun kentara dengan tubuh yang gemetar.
"Ja—jangan ... sakit …." Ayrisa mengeluarkan suara pelan, kepalanya ikut menggeleng pelan. Semua bayangan itu berputar di pikirannya bagai kaset rusak, membuat tubuhnya semakin gemetaran.
"Ember yang satunya!" Nisla berujar pada kedua temannya. Salah satunya, yang bernama Jani, langsung menyerahkan seember air dingin lainnya. Kali ini jumlah es di ember itu lebih banyak, memenuhi hampir seperempat ember.
Dalam hitungan detik isi ember itu sudah mengguyur tubuh Ayrisa. Disusul gelak tawa dari ketiga siswa perempuan itu.
"Itu akibatnya kalau lo masih mau ngedeketin anak Askar. Sok polos banget lo, jal*ng!"
Sekarang semuanya menjadi buram di pandangan Ayrisa. Titik-titik hitam mulai berlomba-lomba memenuhi penglihatannya. Sesak di dadanya membuat ia kesulitan menghirup udara.
Ayrisa tidak ingin menjadi lemah seperti ini. Namun, pada akhirnya ia jatuh terkulai di undakan tangga.
Ia pingsan.
...·Ayrisa·...
Sayup-sayup rungunya mendengar suara. Tidak lama setelah itu ia merasakan sebuah tangan mengelus kepalanya dengan lembut. Perlahan ia memaksa kelopak matanya untuk terbuka. Yang pertama kali menyambutnya ketika membuka mata adalah langit-langit ruangan yang berwarna putih membosankan dan cahaya terang dari lampu.
"Ay, lo udah sadar?" Nefra berseru pelan kemudian menekan tombol yang ada di dekat kepala ranjang.
Beberapa saat kemudian seorang dokter dan suster masuk ke dalam ruangan itu. Dokter itu memeriksa keadaan Ayrisa sebentar sebelum menyatakan kalau gadis itu sudah baik-baik saja. Ayrisa hanya perlu beristirahat dan harus dipastikan suhu di sekitarnya hangat. Setelah itu sang dokter keluar bersama suster yang tadi ikut serta.
"K—hak ...." Ayrisa mencoba untuk memanggil Nefra, tetapi suaranya tidak keluar. Itu membuat rasa takut kembali menyelimutinya.
Nefra segera mendekat, kemudian mengambil gelas yang ada di nakas samping. Ia mendekatkan sedotan ke arah bibir Ayrisa yang langsung diterima dengan cepat. Gadis itu minum dengan cepat, kerongkongannya benar-benar kering, seperti tidak minum selama berhari-hari. Ya, walaupun nyatanya memang seperti itu.
Ayrisa tidak sadarkan diri hampir tiga hari di rumah sakit setelah Mia, Gana dan yang lainnya menemukan gadis itu tergeletak di undakan tangga. Ia langsung dilarikan ke rumah sakit setelah ditemukan, untungnya mereka tidak terlambat.
Dokter menyatakan Ayrisa mengalami hipotermia dan mendapat serangan panik sebelum akhirnya jatuh pingsan.
Tiga pelaku ditahan Oska, Kion, Alnan dan Viran saat hendak kabur begitu ketahuan dari CCTV. Mereka langsung dibawa ke pihak sekolah karena tindakan mereka yang sudah melukai dan membahayakan orang lain.
"Butuh apa lagi, Ay?" Ayrisa menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan itu.
Detik berikutnya terdengar dering ponsel dari saku Nefra. Saat Nefra mengeluarkan ponsel itu dari sakunya, Ayrisa sangat mengenali benda itu, karena itu memang miliknya.
"Siapa?" tanya Ayrisa seraya mengubah posisinya menjadi duduk dengan perlahan-lahan.
"Reylin."
"Biar aku aja, Kak Nef keluar." Nefra menurut, menyerahkan ponsel itu kemudian keluar dari ruangan.
Setelah pintu tertutup, Ayrisa langsung menerima panggilan dari Reylin.
"Ay ...."
"Re, mereka jahat!" ujarnya dengan suara lirih. Kemudian disusul munculnya isakan menyayat hati.
Di seberang sana, Reylin yang sudah mengetahui kondisi Ayrisa dari Nefra langsung merasa sedih. Matanya berkaca-kaca, tidak sanggup membayangkan bagaimana jahatnya orang-orang itu pada Ayrisa.
Dalam hati terus bertanya, apakah salah jika Ayrisa mencoba mendapatkan teman? Mereka bahkan tidak tahu secuil pun tentang kelam gadis itu. Tidak tahu bagaimana gadis itu yang sebenarnya. Keegoisan serakah mereka begitu memuakkan sampai membuat orang lain terluka. Benar-benar brengs*k, pikirnya.
Hal yang paling dirutukinya adalah ia yang tidak ada di sana untuk selalu menemani dan melindungi Ayrisa. Sahabat macam apa ia? Reylin mengumpat dalam hati.
"Gimana kalau nanti aku makin gak ada harapan? Aku gak bisa jadi kuat, Re. Aku ... selalu lemah." Ayrisa berucap di sela tangisnya.
Ia benar-benar takut. Takut jika semakin dijauhi karena lagi-lagi ia menjadi lemah seperti ini.
"Ay, dengerin gue. Selama ini lo udah kuat. Dengan lo yang masih bertahan sampai saat ini, itu bukti kalau lo kuat. Lo gak lemah, Ay. Lemahnya seseorang gak ngebuat itu jadi alasan untuk dijauhi. Jangan mikir gitu."
"Tapi aku takut, Re. Bahkan mereka bilang aku lemah."
"Jangan dengerin mereka, ngerti?! Mereka cuma orang-orang brengs*k yang gak tahu apa-apa. Just f*ck them off."
"Gimana aku gak dengerin kalau yang mereka bilang itu bener? Lemah. Selama ini aku senaif itu, Re ... hiks."
"Ay, apa perlu gue izin buat ke sana dan ngasih lo pelukan?"
"Ng–nggak usah, Re, aku gak mau ngerepotin kamu."
"Lo gak pernah ngerepotin sama sekali."
Terdengar embusan napas berat dari seberang sana. Ayrisa tahu kalau sekarang pasti Reylin sedang mengusap batang hidungnya karena khawatir, kebiasaan gadis itu.
"Lo tahu, kan, kalau masih banyak orang peduli di sisi lo. Jujur sama mereka, jangan cuma ke gue sama Bunda. Ada Kak Nefra yang juga sayang banget sama lo. Bisa-bisa dia mikir kalau lo gak nganggep dia."
"Tapi aku belum siap kalau Kak Nef tahu."
"Okay, take your time then. Lo masih punya banyak waktu buat siapin diri lo. Janji aja sama gue kalau hari itu bakal tiba."
Akhirnya Ayrisa mengangguk pelan. Karena sadar Reylin tidak bisa melihatnya, ia pun membalas. "Iya, Re."
"Bagus, kalau ada apa-apa lo langsung hubungin Kak Nefra, atau teriak aja sekencang-kencangnya. Lo harus berani, Ay." Lagi-lagi Ayrisa mengangguk patuh. "Lo harus bisa buat diri lo sendiri."
Setelah mengucapkan beberapa kata, sambungan telepon mereka diakhiri. Bersamaan dengan Nefra yang kembali masuk ke ruangan itu. Laki-laki itu mendekat ke arah ranjang di mana adiknya berada. Setelah berdiri di sampingnya, ia langsung memeluk Ayrisa dengan erat.
Nefra mendengar semuanya dari luar, dan lagi-lagi ia merasa seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Sama seperti bertahun-tahun lalu. Ia hanya bisa memeluk tubuh rapuh adiknya sambil membubuhkan kecupan-kecupan ringan di puncak kepala Ayrisa.
"I'll be here, okay? Kalau butuh apa pun langsung kasih tahu gue. Lo tahu gue sayang banget sama lo, 'kan?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Lembayung jingga🥀🍃
Thor aku boleh gasih geprek palanya Nisa? gemes banget pengen cubit ginjalnya
2023-09-15
0
Lembayung jingga🥀🍃
coba dong Nisa kalo berani 1 lawan 1 jgn keroyokan
2023-09-15
0
Lembayung jingga🥀🍃
yang ada kamu nisla yang pecundang bawa temen
2023-09-15
0