Ayrisa⁰⁹ - Aspen

Bulan sudah menggantikan tugas matahari untuk menduduki singgasana dan membagi cahayanya pada bumi. Bintang-bintang juga mulai bermunculan untuk memenuhi cakrawala. Para hewan diurnal pun sudah kembali ke sarang, berganti giliran dengan hewan nokturnal yang mulai aktif mencari makanan.

Waktu menjelang makan malam di rumah besar keluarga Pradiepta memang selalu sedikit ramai. Itu karena Sagita. Ibu dari dua putra itu harus meneriakkan nama kedua anaknya agar keluar dari kamar mereka. Tidak selesai di situ saja setelah kedua anaknya keluar, Sagita akan lanjut memberi ceramah singkat—yang sebenarnya sangat panjang—agar mereka tidak terlalu mengurung diri di kamar bersama buku-buku. Sagita sehari-harinya harus mengelus dada karena kedua anaknya itu sangat mewarisi sifat ayah mereka yang sangat mencintai buku.

Mereka sampai di ruang makan bersamaan dengan Jeremian, sang kepala keluarga, yang baru pulang dari kantor. Pria itu langsung menuju ruang makan karena tahu pasti istri dan anak-anaknya berada di sana sekarang.

Begitu sampai, Jeremian mengecup singkat pipi istrinya sebelum duduk. Hal itu membuat Sagita terkejut, sedang kedua anaknya memutar mata mereka dengan malas karena kelakuan sang ayah yang tidak mengingat usia.

Hei, bukankah cinta memang tidak mengenal usia?

Makan malam pun dimulai. Mereka makan dalam diam, hanya suara benturan antara peralatan makan yang mengisi atmosfer di sana.

Begitu selesai makan, Jeremian kembali ke kamar terlebih dulu untuk segera membersihkan tubuh lelahnya. Kemudian disusul oleh Aspen yang juga sudah menyelesaikan makan malamnya. Ia sudah akan kembali ke kamarnya ketika ucapan Gala, sang kakak, membuat langkahnya terhenti.

"Ma, Aspen lagi suka sama cewek."

Aspen langsung bergegas mengubah haluan, berjalan kembali ke meja makan sebelum kakaknya itu membeberkan lebih banyak. Namun, sepertinya itu sia-sia karena Gala dengan cepat melanjutkan.

"Aspen suka sama adiknya Nefra."

Lenyapin kakak sendiri gak dosa 'kan, ya? batin Aspen dengan geram.

Sagita langsung menoleh pada putra bungsunya. "Mama kira kamu perlu dijodohin juga kayak Gala," ujarnya dengan senyum penuh arti.

"Namanya siapa? Mama kok gak pernah tahu, ya, kalau Nefra punya adik. Ketemu kembarannya aja cuma sekali dua kali." Sagita melanjutkan. Sepertinya Nefra menyembunyikan keberadaan Ayrisa dengan baik dari orang-orang di sekitarnya.

"Namanya Ayrisa, Ma," jawab Gala.

"Lain kali bawa ke sini ya, As."

Karena sudah sangat kesal, Aspen memutuskan untuk beranjak dari sana dengan cepat. Ia masih bisa mendengar kakaknya melontarkan ledekan sembari tertawa. Aspen mendengkus, sepertinya ia perlu menyusun rencana pembalasan, begitu pikirnya.

Sampai di kamar, Aspen mendudukkan dirinya di kursi depan meja belajar dengan kasar. Perasaan kesal masih menyelimuti karena kakaknya yang bermulut besar itu. Ah, iya, jangan lupakan Viran yang sangat Aspen yakini sebagai dalang yang memberitahu Gala mengenai Ayrisa.

Aspen tersenyum miring. Akan menyenangkan membalas kelakuan kedua orang itu.

Baiklah, sekarang lebih baik dirinya melanjutkan kegiatan belajar yang tertunda. Hum, ini waktunya berganti mata pelajaran. Berpikir sejenak, akhirnya pilihan Aspen jatuh pada pelajaran biologi.

Tok! Tok!

Aspen mengalihkan pandangannya dari buku, melihat jam yang menempel di dinding kamarnya. Ternyata sudah pukul setengah sembilan malam lebih tiga menit.

"Aspen? Mama boleh masuk?" Terdengar suara Sagita dari balik pintu.

"Boleh, Ma." Aspen membalas.

Setelah itu terdengar decitan engsel pintu yang terbuka, disusul dengan munculnya seorang wanita yang masih terlihat cantik di usianya tidak lagi dapat dibilang muda.

"Ada apa, Ma?"

Sagita yang baru saja duduk di tepi ranjang putra bungsunya itu tersenyum. Dalam hati meringis karena putranya yang satu ini sangatlah to the point. "Mama cuma mau tanya-tanya tentang Ayrisa," jawabnya dengan senyuman penuh makna.

Aspen menghela napasnya pelan. Seharusnya ia sudah mengetahui ini sejak awal. Setelah mengetahui dirinya yang menyukai seseorang, pasti mamanya itu tidak akan hanya berdiam diri. Mamanya itu pasti akan berubah menjadi seorang wartawan dengan kumpulan pertanyaan yang siap dilontarkan.

"Ma," Aspen mulai membuka suara, "aku baru kenal sama Ayrisa dan belum dekat. Jadi, mendingan Mama tanya aja sama Bang Nefra yang jelas-jelas kakak kandungnya," ucapnya panjang lebar.

Kali ini giliran Sagita yang menghela napasnya pelan. "Oke, Mama gak akan maksa kamu. Tapi ingat, Mama akan selalu siap bantu kamu buat bawa calon menantu Mama itu ke sini." Setelah mengatakan itu Sagita beranjak dari ranjang Aspen menuju pintu kamar. Sebelum keluar ia mengingatkan putranya agar tidak tidur terlalu malam.

Keheningan kembali menyelimuti kamar Aspen setelah mamanya pergi. Yang terdengar dalam keheningan itu hanyalah suara jarum detik yang terus bergerak berputar.

Hingga netranya terpaku pada buku persiapan ujian yang ia beli beberapa waktu lalu. Tiba-tiba Aspen teringat akan toko buku. Tempat ia pertama kali bertemu dengan Ayrisa.

Ekspresi Ayrisa saat itu sangat lucu di mata Aspen, membuatnya tidak bisa melupakan itu.

Takdir ternyata bisa seindah itu. Ia dipertemukan kembali dengan Ayrisa setelah untuk beberapa hari setelah dari toko buku itu, wajahnya terus membayang di benak Aspen.

...·Ayrisa·...

Ayrisa pulang lebih awal hari ini karena sekarang adalah hari Jumat. Selama menginap di rumah keluarga Carsion, Shera selalu antusias saat waktu pulang Ayrisa tiba. Setiap hari pastinya ia akan ikut untuk menjemput Ayrisa. Entah bersama sang suami, Elio, atau sendirian dengan mobilnya.

Karena Ayrisa pulang lebih awal, Shera mengajak gadis itu ke kafe miliknya, yang dulu diberikan oleh sang oma. Sekarang adalah jadwal bulanan pemeriksaan. Karena itulah Shera mengajak Ayrisa ke sana daripada nantinya gadis itu hanya sendirian dan bosan di rumah.

Sampai di sana, keadaan kafe sedang ramai. Mayoritas pengunjungnya adalah pemuda-pemudi yang mencari tempat nongkrong. Interior dan eksterior bangunan sederhana berlantai dua itu juga sangatlah mendukung untuk menarik perhatian khalayak yang awalnya mungkin hanya sekedar melewatinya.

Saat masuk Shera langsung disambut oleh manajer yang selama ini membantu mengurus usaha miliknya saat ia tidak ada di tempat. Annelis namanya. Seorang wanita yang berbeda tiga tahun lebih muda dari Shera. Bekerja untuk memenuhi kebutuhannya bersama sang putri yang berusia delapan tahun. Ya, ia adalah seorang single parent.

Mereka langsung menuju ruangan Shera yang berada di bagian dalam.

Ayrisa mengikuti langkah mamanya dalam diam. Netranya sibuk menjelajahi seluruh penjuru kafe. Hingga akhirnya mereka memasuki ruangan Shera.

"Ay, kamu mau lava cake atau chocolate cake?" Shera bertanya.

"Umm, chocolate cake aja, Ma."

Setelah Annelis menyerahkan buku yang merupakan duplikat fisik dari file berisi semua urusan kafe, Shera meminta wanita itu untuk membawakan chocolate cake untuk Ayrisa.

Sembari menunggu Shera, Ayrisa memainkan ponselnya. Kemarin ia habis mengunduh sebuah gim di ponselnya. Itu adalah gim yang direkomendasikan oleh Mia. Katanya agar mereka bisa bermain gim yang sama dan saling berlomba skor milik siapa yang paling tinggi.

Itu adalah sebuah gim sederhana dimana ia harus mengumpulkan zombie sebanyak-banyaknya. Ada juga misi yang harus ia selesaikan untuk mengisi cawan dengan cairan yang diberi nama sedikit nyeleneh. Setelah cawan itu penuh, ia akan mendapat reward, entah itu tambahan koin atau terbukanya bonus yang terkunci.

Ayrisa mengakui kalau dirinya cukup menikmati saat memainkan gim itu. Paling menyenangkan adalah saat ia mendapatkan bonus 'tsunami' yang membuatnya bisa mengumpulkan zombie lebih banyak. Namun, Ayrisa akan sedikit kesal saat mendapat bonus 'U.F.O' yang membuat ia kehilangan banyak zombie karena tidak bisa melompat dengan tinggi saat melewati jurang di antara jalan. Itu berakhir membuat kumpulan zombie-nya berkurang.

Annelis akhirnya kembali sambil membawa chocolate cake untuk Ayrisa.

Ayrisa menerimanya dengan senyuman yang terkembang di bibirnya. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih pada wanita itu.

"Bu, saya izin menjemput Audrey dulu di sekolahnya." Annelis meminta izin setelahnya.

"Iya, kamu boleh pergi."

"Terima kasih, Bu." Kemudian Annelis keluar dari ruangan.

Setelah itu giliran Ayrisa yang pamit ke toilet untuk mencuci tangannya. Itu sudah menjadi kebiasaannya untuk mencuci tangan sebelum makan, meskipun nantinya ia makan menggunakan sendok.

Saat akan kembali ke ruangan Shera, Ayrisa tidak sengaja bertemu pandang dengan seorang wanita yang ia taksir seumuran dengan sang bunda ataupun sang mama. Karena sudah terlanjur, Ayrisa memberikan senyuman hangat sebagai bentuk kesopanan. Setelah itu, barulah ia melanjutkan langkahnya kembali ke ruangan Shera.

Begitu duduk kembali di sofa, Ayrisa mulai menyantap chocolate cake miliknya. Ia juga lanjut memainkan gim yang sebelumnya dijeda.

Selesai menyantap chocolate cake miliknya, tiba-tiba ada sebuah panggilan masuk dari Nefra. Ayrisa menggerutu kesal. Karena panggilan masuk dari kakaknya, ia kalah dan semua zombie-nya masuk ke dalam jurang. Padahal ia baru memulai lagi setelah tadi kalah.

Dengan gerakan kesal, Ayrisa mengusap ikon hijau di layar ponsel. Kemudian membawa benda persegi panjang itu ke telinga.

"Kenapa, Kak?" tanyanya dengan nada kesal.

"Kapan lo pulang? Besok gue dateng, deh, buat jemput kalau lo belum pulang-pulang."

"Dih, apaan! Kak Nef seenaknya banget," sungut Ayrisa. "Kak Nef, tuh, nyebelinnya plus-plus banget, ya. Makin males aku pulang ke rumah, mending tinggal sama Mama aja. Ada Kak El sama Papa juga."

"Heh, pokoknya besok sore gue jemput! Kalau lo nolak, siap-siap gue seret pulang."

"Tuh! Kak Nef aja jahat gitu, mana mau aku pulang. Lagian baru seminggu aku di rumah Mama masa udah disuruh pulang."

Sepertinya Ayrisa cukup bersenang-senang memancing amarah kakaknya yang satu itu. Tidak tahu saja di seberang sana, Nefra yang berada di markas Askar untuk nongkrong dengan para juniornya sedang menguarkan aura kemarahan yang membuat para anggota junior Askar bergidik dan bergerak menjauh.

"Oh, oke kalau gitu mau lo. Gue jemput lo sekarang. Kalau perlu gue seret biar pulang." Setelah itu sambungan telepon mereka diakhiri.

Sekarang Ayrisa merasa tubuhnya bergidik setelah tadi mendengar nada bicara Nefra yang datar.

"Ma, nanti pulangnya agak maleman, ya. Jalan-jalan dulu gitu," ujar Ayrisa.

Shera mengangkat pandangannya, menatap lurus pada Ayrisa. "Kamu mau jalan-jalan?"

Ayrisa langsung mengangguk dengan cepat. "Iya, Ma."

"Oke, kalau kerjaan Mama udah selesai kita bisa langsung jalan-jalan."

Apakah sekarang Ayrisa sudah bisa bernapas lega?

Ya, seharusnya sekarang ia sudah bisa bernapas dengan lega tanpa memikirkan Nefra. Lagipula kakaknya itu tidak mengetahui tentang kafe milik Shera. Jadi, tidak mungkin juga Nefra mendatanginya saat masih di kafe Shera.

...·o0o·...

Jangan lupa untuk tinggalkan jejak! Segala bentuk dukungan sangat berarti bagi penulis.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!