Ayrisa⁰⁷ - O-ow!

Matahari tertutupi kumpulan awan pagi ini, membuat suasana kota tidak terlalu panas seperti biasanya. Burung-burung yang sudah terbangun dari tidurnya mulai berkicau ria di dahan-dahan pohon, seakan menyambut hari baru ini.

Dara terlihat sibuk dengan peralatan memasaknya ketika Ayrisa sampai di dapur, pun Antra masih menikmati sarapannya dengan tenang di meja makan. Hari ini si bungsu memang bersiap lebih awal. Sekarang saja ia sudah rapi dengan seragam olahraganya.

Duduk di kursi meja makan, tas miliknya beserta paper bag berisi seragam ditaruh di dekat kaki kursi yang ia duduki. Segelas susu cokelat yang sudah tersaji di depannya langsung diminum oleh Ayrisa dalam beberapa tegukan. Setelah itu ia mengelap noda susu di sudut bibirnya menggunakan tisu.

"Kamu gak sarapan dulu, Ay?" Sang ayah bertanya setelah meminum habis kopinya yang tersisa seperempat gelas.

"Nggak, Yah." Ayrisa memang selama ini tidak terbiasa untuk sarapan. Karena itulah Dara membuat alternatifnya dengan susu agar gadis itu masih tetap mendapat asupan sebelum berangkat sekolah.

"Kalau gitu kita berangkat sekarang." Ayrisa mengangguk, ikut berdiri dari duduknya. Ia ikut saja kalau sang ayah yang ingin mengantarnya. Kalau berangkat dengan sang ayah ia tidak perlu ribet menggunakan masker.

Kemudian ia menyalimi tangan sang bunda sebelum menyusul sang ayah yang sudah jalan terlebih dulu.

Di luar, Antra sudah menunggu putri bungsunya di dalam mobil. Setelah Ayrisa masuk dan duduk dengan nyaman di kursi penumpang samping pengemudi, mobil langsung melaju membelah jalanan kota.

Jalanan kota yang tidak terlalu ramai di pagi ini membuat mobil dengan cepat sampai sekolah Ayrisa.

Sebelum keluar dari mobil, Antra menyodorkan selembar uang berwarna biru. Katanya sebagai uang jajan tambahan, tentu Ayrisa menerimanya. Lagipula tidak baik menolak rezeki yang menghampiri di depan mata, begitu ajaran dari bundanya.

Keadaan sekolah masih sepi ketika Ayrisa memasuki lobi. Baru ada beberapa siswa yang tiba di kelas mereka dan memilih memainkan ponsel sambil menunggu teman sekelas. Sama pula dengan kelas Ayrisa begitu ia tiba di sana. Ada Melia yang sedang berada di bangkunya di deretan kedua sambil menonton entah apa di ponselnya. Sesekali ia menyuapkan potongan roti bakar—yang Ayrisa yakini dibeli di kantin sekolah—ke mulutnya.

Ada juga Vyana dan Putri yang sama-sama sibuk dengan ponsel masing-masing.

"Selamat pagi." Ayrisa mengucapkan salam saat masuk ke dalam kelas. Ketiga teman sekelasnya itu menjawab singkat kemudian kembali fokus pada layar ponsel mereka.

Baru saja Ayrisa menempatkan dirinya dengan nyaman di atas bangku miliknya, Melia sudah berada di sampingnya—lebih tepatnya duduk di bangku yang berada di sebelahnya.

"Ayrisa, cerita yang lo rekomendasiin baru gue selesain semalam. Dan gue suka banget, ceritanya bagus parah! Apalagi di bab yang mendekati ending, itu gue sampe gak sadar kalau udah nangis. Gila, parah banget itu cerita." Melia langsung berujar dengan nada antusias dan menggebu-gebu. Ayrisa membalasnya dengan sebuah senyuman, ia ikut senang Melia lagi-lagi puas dengan cerita yang direkomendasikan oleh dirinya.

Kelas semakin ramai ketika satu per satu siswanya mulai berdatangan. Lima menit setelah siswa terakhir datang, bel pun berbunyi.

Pelajaran pertama untuk hari ini tidak memerlukan buku, mereka akan belajar di lapangan. Ya, olahraga.

Para siswa laki-laki sudah sangat antusias, tidak sabar untuk turun ke lapangan sekolah. Berbeda dengan mereka, Ayrisa tidak begitu menyukai pelajaran olahraga karena memang tidak berbakat dalam bidang itu. Sebut saja Ayrisa ini terlalu mager dan merupakan kaum rebahan yang menjauhi aktivitas yang bisa mengeluarkan keringat. Ia juga tidak apa-apa jika nantinya nilai pelajaran olahraga miliknya hanya melewati KKM sedikit, itu sudah cukup untuknya.

Karena baru hampir sebulan setelah mereka bersekolah kembali, materi yang mereka pelajari baru sampai pada 'Permainan Bola Besar'. Untuk itulah empat buah bola sepak sudah berada di tepi lapangan.

Sebelum memulai pelajaran mereka melakukan pemanasan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Pemanasan itu dipimpin oleh dua siswa laki-laki, Angga dan Jay.

Pelajaran olahraga kali ini tidak banyak mengharuskan bergerak, kebanyakan para siswa laki-laki yang melakukan prakteknya. Para siswa perempuan lebih memilih duduk di pinggir lapangan sambil sesekali bercerita.

Di akhir pembelajaran, Pak Yohan memberi tugas untuk meringkas materi bagian pertama.

Setelah itu mereka kembali ke kelas untuk mengambil seragam. Ayrisa berjalan bersama Mia dan Melia menuju toilet. Sampai di toilet, teman sekelas mereka yang lain sudah lebih dulu di sana. Sambil mengganti seragam, mereka saling bercerita atau membicarakan sesuatu.

Toilet itu seperti memiliki fungsi lain dari yang seharusnya, yaitu menjadi tempat menggosip.

Sebelum keluar dari toilet, para siswa perempuan itu tidak akan melewatkan sesi rebutan parfum yang dibawa oleh salah satu dari mereka.

Pelajaran selanjutnya adalah sastra Inggris di kelas Ayrisa. Jadi, mereka harus bergegas kembali ke kelas karena guru mereka itu—Ma'am Fiya—termasuk tipe guru yang tegas.

...· Ayrisa ·...

Pelajaran terakhir di hari ini, sejarah, selesai tanpa ada tugas yang diberikan. Pak Ferdi, sang guru, hanya memberikan petuah agar mereka tidak lupa untuk belajar, setidaknya mengulang materi yang sudah mereka pelajari sekali. Lalu, setelah sang guru keluar dari kelas, para siswa langsung menyimpan barang-barang mereka kembali ke dalam tas.

"Ayrisa, lo bisa gak tungguin gue? Biar nanti barengan turunnya." Mia bertanya pada Ayrisa yang masih dengan santai memasukkan buku-bukunya.

Hari ini adalah jadwal piketnya, tiga teman yang juga memiliki jadwal piket tidak terlalu dekat dengan dirinya. Karena itu Mia berharap Ayrisa mau menunggu dirinya selesai mengerjakan tugas piketnya. Baru kali ini ia merasa kesulitan mendapatkan teman di kelas sendiri, untungnya ada Ayrisa.

Ayrisa mengangguk. "Iya, bisa. Aku tunggu di luar kalau gitu." Lagipula saat waktu makan siang tadi sang bunda sudah mengabari kalau akan sedikit telat menjemput dirinya. Jadi, tidak masalah menunggu Mia sampai selesai piket.

Selang beberapa menit, Mia akhirnya menyelesaikan tugas piketnya. Ia langsung menghampiri Ayrisa yang sudah menunggu di luar kelas setelah mengambil tas miliknya.

"Makasih ya, udah tungguin gue." Ayrisa mengangguk dengan senyuman kecil.

"Eh, kita ke kantin dulu, yuk! Gue pengen beli minum, nih," ajak Mia saat mereka menuruni tangga.

"Iya." Ayrisa membalas singkat. Ia juga sedang kehausan karena isi tumbler yang dibawanya pun sudah habis.

Untungnya hari ini kantin samping masih buka, jadi mereka tidak perlu ke kantin belakang yang dipastikan masih terdapat beberapa siswa laki-laki yang memilih nongkrong di sana daripada pulang.

Sampai di kantin samping, Mia langsung menarik pelan tangan Ayrisa menuju tempat milik Bik Dami yang masih buka.

Mia memesan minuman dingin rasa melon, kemudian ia menoleh pada Ayrisa. "Lo mau juga gak, Ay?"

"Boleh, samain aja." Mia mengacungkan ibu jarinya kemudian memberitahukan Bik Dami pesanan Ayrisa.

Tidak memerlukan waktu lama, minuman mereka sudah jadi. Setelah membayar, mereka langsung beranjak dari sana. Sambil berjalan Mia mengajak Ayrisa berbincang. Ayrisa menimpalinya dengan singkat, ia tidak bermaksud begitu, hanya saja ia tidak tahu ingin berbicara dan merespon seperti apa lagi.

Saat keluar dari lobi, Gana dan gengnya sudah menunggu Mia di tempat parkir yang biasanya.

Tunggu ... ada seseorang lagi yang bersama mereka. Nefra.

"O-ow!" Ayrisa berucap pelan. Ia memundurkan langkahnya, membuat Mia juga melakukan hal yang sama.

"Lo ngomong apa, Ay? Gue gak denger." Mia bertanya.

"U-um itu, temenin ke toilet dulu, yuk!"

Tanpa menunggu jawaban dari Mia, Ayrisa langsung menarik tangan gadis itu untuk masuk kembali ke sekolah. Namun, baru beberapa langkah, Ayrisa bisa merasakan seseorang menarik tas miliknya. Ia memejamkan matanya sesaat, degupan jantungnya bertambah cepat saat ini. Batinnya ingin menangis sekarang. Hiks.

"Damn!" Ayrisa mengumpat tanpa sadar.

"Ayrisa Gladerin Edwinata ... satu kata umpatan. Belajar dari mana?" Nefra berucap pelan di dekat telinga Ayrisa.

Mengumpulkan keberaniannya, Ayrisa membalik tubuhnya perlahan. Tangannya pun dengan sigap menyembunyikan minumannya di balik tubuhnya.

"K-kak Nef? Kok, Kakak yang jemput? Bunda gak ngasih tahu tadi," ucapnya dengan sedikit gugup. Ia berusaha mengalihkan perhatian Nefra. Netranya pun tidak berani menatap sang kakak, menatap objek lain yang ditangkap penglihatannya.

"Udah minum berapa banyak, Ay?" Nefra bertanya. Ia tidak akan semudah itu teralihkan, apalagi oleh adiknya ini.

Jika Ayrisa adalah tokoh kartun, pasti akan terlihat butiran-butiran keringat dingin yang muncul di pelipisnya. Ia benar-benar mati kutu sekarang. Kenapa juga sang bunda tidak memberitahu dirinya kalau Nefra yang akan menjemput? Kalau diberitahu, kan, ia tidak akan terjebak seperti ini.

Mia yang dari tadi berada di antara dua saudara itu akhirnya paham dengan situasinya.

"Kak—"

Belum selesai berbicara, Nefra sudah lebih dulu berujar. "Mending lo pulang sana. Pacar lo udah nunggu dari tadi."

"Tapi—"

Lagi-lagi Nefra memotongnya. "Gana, bawa cewek lo pulang!"

Gana mendekati mereka. Menuruti perkataan seniornya untuk membawa Mia menjauh dari sana. Namun, Mia menolak dan bersikukuh membantu Ayrisa. Mia sudah pernah melihat bagaimana Nefra saat hilang kendali, jadi ia tidak mau Ayrisa kenapa-kenapa. Lagipula ia yang mengajak Ayrisa untuk membeli minuman. Dalam hati ia sedikit menyesal karena tidak tahu kalau gadis itu tidak boleh minum minuman yang dingin.

"Jangan gitu, nanti aku gak punya temen lagi." Akhirnya setelah sekian lama terdiam, Ayrisa mengeluarkan suaranya. Ini adalah cara terakhir untuk membuat Nefra tidak melaporkannya pada sang ayah. Ughh, hari ini ia benar-benar sial karena bisa ketahuan seperti ini.

Nefra akhirnya menghela napas pelan. "Cepet buang sisanya, terus kita pulang."

Ayrisa bersorak riang dalam hati. Selamat. Ia sekarang bisa bernapas lega. Kemudian dengan segera ia membuang sisa minumannya ke tempat sampah terdekat. Sebenarnya sayang sekali, tetapi ia tidak punya pilihan lain.

"Siniin tangan lo!" titah Nefra. Ayrisa menurut dan mengulurkan kedua tangannya. Kemudian Nefra meraih sapu tangan dari saku jaketnya dan mengelap tangan Ayrisa yang basah oleh embun dari permukaan wadah minuman tadi.

"Anjir, gue kirain tadi bakal ada adegan bentak-bentakan. Ternyata berakhir uwu juga." Semuanya langsung menoleh ke arah sumber suara itu.

Oska.

Laki-laki itu memang tidak pernah tahu tempat dan suasana. Mungkin Oska itu definisi nyata dari bobrok sebobrok-bobroknya. Dan setelah begitu, pasti Viran akan dengan senang hati menampar manja kepala temannya itu.

...·o0o·...

Jangan lupa untuk tinggalkan jejak sebagai dukungan untuk penulis!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!