Satu bulan kemudian suamiku memaksa untuk pindah ke rumah baru kami, meski rumah tersebut jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah orang tuaku namun aku tetap tidak tega meninggalkan ibuku dalam kondisi seperti saat itu.
Aku tetap bersi keras tidak mau pindah karena tidak tega dengan kondisi ibuku, namun suami mengancam jika aku tidak ikut dengannya tidak masalah, tapi dia akan tetap mengajak putra kami bersama dengannya.
Lagi lagi saat itu aku di tempatkan dalam posisi sulit untuk memilih di satu sisi aku tidak tega meninggalkan ibuku hanya berdua dengan ayahku, namun di sisi lain aku juga tidak sanggup berpisah jauh dari putraku.
Semalaman aku tidak bisa memejamkan mata sedetikpun wajah ibu serta putraku silih berganti di pikiranku, aku benar benar tidak menyangka pria yang dulu mengatakan sangat mencintaiku kini malah menempatkan aku dalam posisi sesulit ini, bahkan orang pertama yang menyetujui suamiku meminangku dulu adalah ibuku. dalam hati aku bertanya tanya, apa Setega inikah pria yang selama ini hidup bersamaku.
Saat aku duduk menyendiri di sebuah bangku yang terletak halaman depan rumah, tiba tiba ayah datang menghampiriku, beliau kemudian duduk di sebelahku.
"Ayah tahu saat ini kamu di tempatkan pada posisi yang begitu sulit. namun jika ayah bisa menyarankan, sebaiknya ikuti keinginan suami kamu karena bagaimanapun dia adalah suami kamu, kamu wajib berbakti padanya. biarkan ayah yang akan mengurus ibumu, karena ibumu sudah menjadi tanggung jawab ayah." dengan linangan air mata aku menoleh menatap ayahku.
"Tapi aku tidak tega meninggalkan ibu dalam kondisi seperti ini ayah, aku tidak ingin menjadi anak durhaka yang tega meninggalkan ibunya dalam kondisi seperti ini." tangisku semakin pecah lalu ayah mengelus lembut punggungku seraya berkata.
"Tuhan maha segala galanya, dia pasti mengerti kenapa kamu melakukan itu, lagi pula selama ini kamu sudah mengurus ibumu dengan baik. lagi pula rumah baru kalian tidak jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah ayah, kamu bisa datang setiap hari untuk melihat kondisi ibumu nak!!." ucapan ayahku ketika itu membuatku merasa sangat beruntung di titipkan kepada kedua orang tua yang begitu penyayang dan pengertian.
Setelah mendengar nasehat ayahku, aku pun memutuskan untuk ikut pindah bersama suamiku.
Saat hendak pindah aku bahkan tidak tega ketika ingin berpamitan pada ibuku, sampai akhirnya ayahku berkata kamu tidak perlu pamit pada ibumu, biar ayah nanti yang akan mengatakannya pada ibumu. sebaiknya kamu pergi sekarang, tidak baik membuat suami kamu kelamaan menunggu!!." titah ayahku, meski terlihat tegar namun aku tahu jika saat itu ayahku juga sedih melihatku harus pergi meninggalkan mereka berdua di rumah itu.
Sungguh berat rasanya ku langkahkan kakiku, namun karena suamiku terus memanggil manggilku akhirnya ku paksakan kakiku melangkah keluar dari rumah di mana selama ini aku di besarkan penuh dengan kasih sayang, meski tak hidup mewah tapi kami tidak kekurangan kasih sayang dari orang tua.
Saat mobil yang di kendarai suamiku mulia keluar dari pekarangan rumah ayahku, tanpa sadar air mataku mengalir deras membasahi pipiku, aku bahkan menangis sampai sesenggukan. suamiku yang kini fokus menyetir pun terkesan tidak peduli dengan apa yang aku rasakan saat ini.
Setelah tinggal di rumah baru kami, hampir setiap hari aku datang menjenguk ibuku, sampai ibuku hampir tidak menyadari jika aku tak lagi tinggal di rumah itu, sebab ibuku tak bisa lagi berjalan. ibuku lebih banyak menghabiskan waktunya di atas tempat tidur, hal itulah yang membuatku begitu berat meninggalkannya.
Semenjak tinggal di rumah baru kami aku akan selalu mengunjungi ibuku di saat suamiku telah berangkat bekerja, meski harus kena omel atau semacamnya lebih dulu namun aku tetap meminta izin dari suamiku untuk mengunjungi ibuku. karena kata ayahku tidak baik jika keluar rumah tanpa izin dari suami.
Hampir setiap hari rutinitasku seperti itu, Suamiku berangkat bekerja usai mengantar anakku ke sekolah aku segera mengunjungi rumah ibuku.
Hingga bertepatan satu setengah tahun ibuku usai di operasi, di hari itu duniaku seakan runtuh saat ibuku di ambil untuk selama lamanya oleh sang pencipta.
Aku menangis, bukannya aku tidak ikhlas saat Tuhan mengambil sesuatu yang merupakan hak mutlak baginya, namun semua kenangan bersama dengan ibu lah yang membuatku menangis.
Di saat ibuku meninggal, dari situlah aku berpikir jika musibah terbesar seorang manusia adalah saat ibu yang telah melahirkannya kedunia berpulang kepangkuan sang pencipta.
Meski hatiku hancur namun aku harus tetap semangat untuk menjalani kehidupanku, sebab masih banyak tanggung jawab yang harus ku pikul.
Apalagi semenjak ibuku meninggal ayahku juga sering sakit sakitan, bahkan hampir setiap hari pria yang merupakan cinta pertamaku tersebut mengatakan jika beliau sangat merindukan sosok istri yang puluhan tahun menemani dirinya dalam suka maupun duka.
Belum habis rasa kehilangan di dalam hati selang setahun setengah ibuku meninggal, ayahku pun meninggalkan kami untuk selamanya. ayahku meninggal akibat penyakit gagal ginjal yang di alaminya setahun terakhir.
Terkadang aku merasa takdir sedang mempermainkan hidupku, mengingat di saat yang sama dengan meninggalnya ayahku, putra semata wayangku tengah di rawat di rumah sakit akibat di serang virus demam berdarah.
Sehingga membuatku terpaksa meminta bantuan saudaraku untuk merawat ayah yang kini tinggal bersama denganku, dalam sehari aku bisa enam kali bolak balik rumah sakit. untuk memastikan kondisi keduanya, karena sebagai seorang anak aku berkewajiban merawat ayahku, begitu pun sebagai seorang ibu aku juga berkewajiban menjaga dan merawat buah hatiku.
Terlepas dari sikap suamiku yang kurang berkenan, namun beliau termasuk seorang ayah yang begitu bertanggung jawab dan sayang pada putranya.
Terbukti saat terakhir terakhir ayahku meninggal beliau mengizinkan aku untuk fokus merawat ayahku, sementara beliau dengan telaten merawat serta menjaga putra kami.
Meski suamiku sering kali marah marah, namun beliau tidak termasuk pria yang suka ringan tangan, terbukti selama menjadi istrinya tak sekalipun beliau melayangkan tangan padaku.
Ku pikir ujianku akan berakhir sampai di situ, tapi ternyata dugaanku salah. setahun setelah ayahku meninggal bahkan sikap suamiku semakin menjadi jadi, ia bahkan kadang tak pulang semalaman.
Jika aku bertanya, maka suamiku akan marah bahkan terkesan ribut, sementara aku yang merasa malu jika tetangga mendengar pertengkaran kami memutuskan lebih baik untuk diam.
Sampai suatu saat aku mendapatkan bukti perselingkuhan suamiku, aku yang merasa kecewa dan marah tersebut pun marah semarah marahnya, bahkan aku tak lagi memikirkan perkataan tetangga.
Hal yang paling membuatku kecewa adalah saat aku bertanya langsung pada suami, beliau malah mengelak bahkan terkesan marah untuk menutupi kesalahannya.bahkan sebelumnya tidak jarang beliau malah menuduhku yang bukan bukan, hanya untuk menutupi kesalahannya.
Puncaknya sampai aku memutuskan akhirnya aku menyerah, saat suamiku mengatakan lebih baik kita berpisah saja, jika aku masih terus mencari tahu tentang wanita selingkuhan tersebut.
Sampai dengan hari itu pun aku berpikir, percuma aku terus bertahan hidup bersama dengan seorang pria yang tidak lagi mencintaiku.
Apalagi karena sedang di bawah pengaruh emosi, suamiku sampai tak sadar menjatuhkan talak padaku. air mataku jatuh tak terhingga sampai sekujur tubuhku merasa lemas tak berdaya. bukan karena aku tidak sanggup berpisah darinya, namun aku berpikir akan nasib putraku ketika kami berpisah.
Namun semua pemikiran seperti itu segera ku tepis, tidak mungkin Tuhan akan mengujiku di luar batas kemampuan hambanya, mungkin saat ini Tuhan mengujiku karena Tuhan sedang jatuh cinta padaku.
Meski belum resmi bercerai, semenjak suamiku menjatuhkan talak padaku aku tak lagi bersikap manis seperti biasa padanya, aku memutuskan untuk tidur di kamar putraku.
Sampai suatu malam suamiku yang meminta hak sebagai seorang suami aku tolak, mengingat saat malam itu beliau telah menjatuhkan talak padaku.
Mungkin karena terbakar emosi, pagi harinya suamiku langsung mengajukan gugatan cerai di pengadilan, dengan alasan sebagai istri aku tak lagi memenuhi kebutuhan biologisnya.
Sangat egois, begitulah kata kata yang pantas untuk pria yang masih menuntut haknya pada seorang istri yang telah di jatuhkan talak olehnya. namun aku sama sekali tidak gentar, aku sudah siap menjalani hidup bersama dengan putraku. sudah cukup lama aku mencoba bertahan menjalani biduk rumah tangga yang sama sekali tidak membawa ketenangan dalam hidupku. awalnya suamiku berpikir jika aku akan memohon mohon padanya agar membatalkan gugatan cerai yang di layangkannya padaku. namun suamiku merasa menyesal memasukkan surat gugatan cerai tersebut, di saat aku sama sekali tidak melakukan sesuatu yang sesuai dengan harapan beliau.
Jangankan menolak di ceraikan, aku bahkan tidak mempersulit beliau saat di pengadilan, yang ada di pikiranku saat pertama kali menghadiri sidang perceraian kami adalah mungkin sudah saatnya aku keluar dari ikatan pernikahan dengan pria yang tak pernah mengajarkan aku menuju jalan yang diridhoi tuhan. mengingat selama pernikahan suami tak pernah sekalipun mengimami aku dalam shalat.
Aku sama sekali tidak mempersulit suami dalam proses perceraian, bahkan untuk nafkah anak pun sama sekali tak ku bahas di persidangan. bukan hanya hakim yang terheran ayah dari putraku tersebut pun heran, sebab menurut hakim kebanyakan pihak wanita pasti akan menuntut hak atas nafkah anak dari mantan suami.
Bukannya aku tidak ingin memberi kesempatan untuk suami menafkahi anaknya, namun aku tidak ingin beliau menafkahi anaknya karena terpaksa oleh keputusan pengadilan. yang aku inginkan adalah ayah dari putraku tersebut dengan ikhlas memberi nafkah yang sudah menjadi hak mutlak putranya, meski kami tak lagi berstatus pasangan suami istri.
Sampai dengan tiga bulan setelahnya, dengan langkah gamang ku yakinkan kakiku melangkah menuju kantor pengadilan agama, untuk menghadiri sidang putusan pengadilan atas perkara perceraian yang di layangkan suamiku beberapa bulan lalu.
Setelah beberapa saat dalam ruang sidang akhirnya kini aku resmi menyandang status janda atas pria bernama Suhardi bin Safar, setelah hakim mengabulkan gugatan cerai yang diajukan pria yang baru saja resmi menjadi mantan suamiku.
Aku resmi menyandang status janda di usia dua puluh sembilan tahun, usia yang terbilang dewasa. namun, meski usiaku sudah tak terlalu muda, namun wajahku masih nampak seperti masih belasan. bukannya aku memuji diri sendiri, namun itu terbukti saat aku ke sekolah adikku yang masih duduk di bangku kelas tiga SMA, tidak sedikit yang mengira aku merupakan salah satu siswi di sekolah tersebut. bahkan ada seorang guru yang mengira aku siswi yang sengaja datang ke sekolah tanpa mengenakan seragam sekolah, kemudian guru tersebut memintaku memunguti sampah di halaman sekolah.
Saat aku mengaku bukanlah siswi di sana, barulah guru tersebut meminta maaf atas perkataannya serta perintahnya tadi yang kurang berkenan, seperti biasa aku yang sama sekali tidak memiliki sifat pendendam tersebut segera memaafkan guru itu sebelum melangkah mencari keberadaan adikku di kantin sekolah.
Sebelum keluar dari ruang persidangan ku ulurkan tanganku untuk bersalaman dengannya, karena selama aku menjadi istrinya dulu pernah ada tutur kata ku yang menyinggung perasaannya atau selama menjadi istrinya dulu aku belum bisa menjadi yang sesuai dengan keinginannya. ku ucapkan permintaan maaf pada pria yang kini resmi menjadi mantan suamiku, berharap beliau mengikhlaskan semua nafkah yang pernah di berikan beliau padaku semasa kami terikat dalam ikatan pernikahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments