DENDAM (Aku Bukan Bayangan)
Sore hari, Rahmat yang berpakaian lusuh dengan tas gendong yang terbilang tak layak pakai itu baru saja tiba di Kota Jakarta, pertama tiba di kota itu sesuatu yang ia perhatikan adalah gedung-gedung raksasa pencakar langit. Sungguh ia terkagum-kagum melihatnya, karena ini adalah kali pertama ia datang ke kota Jakarta.
“Wah.. Inikah kota Jakarta? Kota besar yang di sebutkan ibu, sungguh indah,” ucapnya sambil merentangkan tangan. Hidungnya kempang kempis saat merasakan hembusan angin di kota metropolitan itu.
“Hari sudah sore, kemana aku harus bermalam malam ini?” tanyanya pada diri sendiri.
Ia pun berjalan menelusuri trotoar, detik berganti detik menit berganti menit. Waktu begitu cepat berlalu, langit terang kini telah berubah menjadi gelap namun Rahmat belum juga menemukan tempat yang cocok untuknya beristirahat. Bukan tak cocok untuknya, namun dengan keadaan kantongnya bahkan untuk mengisi perut pun uang yang ada padanya mungkin tak akan cukup hingga dua hari kedepan.
Karena merasa lelah dan letih, Rahmat pun duduk di depan emperan Toko yang sudah tutup. Ia pun memutuskan untuk tidur di emperan Toko tersebut.
“Hari sudah semakin larut, lebih baik aku tidur di sini saja.” Katanya sambil menarik kardus yang ada di tempat itu. Ia pun tidur beralaskan kardus pada malam itu.
Keesokkan paginya.
“Bangun.. Bangun! Gembel dari mana ini?!” Teriak seseorang sambil menyepaki kaki Rahmat.
Rahmat langsung terbangun setelah mendengar dan merasakan sepakan pada kakinya.
“Pergi dari sini, dasar gembel merusak pemandangan Toko ku saja!” maki Pria pemilik Toko tersebut.
“Maaf pak, saya tidak bermaksud merusak pemandangan Toko bapak. Saya juga bukan gembel,” kata Rahmat meminta maaf. Namun lagi-lagi ia malah di caci maki.
“Mana ada gembel mau di sebut gembel, dan juga siapa yang kamu sebut sebagai bapak? Saya bukan bapak kamu!” seru pemilik Toko sambil menunjuk-nunjuk wajah Rahmat. “Cepat pergi dari sini!” usir pemilik Toko kemudian, Rahmat pun segera pergi meninggalkan tempat itu.
Pagi hari itu, Rahmat memulai tujuannya datang ke Ibu kota Jakarta itu. Yaitu mencari keberadaan ayah dan juga saudaranya. Ia mencoba bertanya kepada orang-orang yang lalu lalang di pagi hari itu.
“Buk, apakah ibuk tau di mana alamat ini?” tanya Rahmat kepada seorang ibu-ibu sambil memperlihatkan secarik kertas yang berisikan alamat sang Ayah.
“Tidak,” jawab ibu itu sambil memandang rendah Rahmat yang berpenampilan lusuh.
Kesana kemari Rahmat membawa alamat, namun tidak satupun orang yang menjawab pertanyaan dengan benar. Bahkan kini pagi telah berganti dengan siang, terik matahari semakin menyengat. Rasa haus dan lapar mendominasi tenggorokan dan juga perutnya.
“Ahh.. Lapar sekali, tenggorokan ku juga terasa sangat kering,” ucap Rahmat sambil menyeka keringatnya dengan tangan.
Ia pun berjalan menuju warung makan. Namun ia melihat harga yang tertera di depan etalase warung makan tersebut.
“Mahal sekali makanan disini, nasi dan sambal saja sudah seharga 10000 ribu,” katanya sambil berjalan masuk kedalam warung.
“Hei.. Kalau mau ngemis jangan disini! Bisa sial nanti warung ku!” usir ibu pemilik warung, yang mengira Rahmat hendak mengemis.
“Buk, saya bukan pengemis. Saya kesini mau pesan nasi,” kata Rahmat cepat menjawab.
“Memang kamu punya uang?” tanya ibu itu.
“Ada buk, tunggu sebentar ,”jawab Rahmat sambil merogoh saku celananya. Ia pun mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan sepuluh ribu dan lima ribuan.
“Boleh pesen di sini, tapi kamu duduk di luar saja ya. Saya takut kalau kamu makan di dalam, nanti pelanggan saya pada kabur,” kata pemilik warung dan langsung di angguki oleh Rahmat.
“Ini lauknya pakek apa? Terus minum apa?” tanya pemilik warung.
“Nasi putih dan sambal tempe saja buk, minumnya air putih,” kata Rahmat dengan sopan.
“Kamu tunggu sebentar,” ibu pemilik warung langsung masuk ke dalam.
Rahmat duduk di depan warung makan itu. Tiba-tiba sepasang muda-mudi yang lewat memberinya uang.
“Mas, mbak, saya bukan pengemis!” kata Rahmat menolak uang 20000 ribu yang di lempar kepadanya.
“Ambil aja,” kata pasangan muda-mudi itu sambil berjalan pergi.
“Beginikah cara orang Kota memperlakukan orang Dusun seperti ku,” ucapnya sambil menggenggam uang pemberian muda-mudi itu.
“Ini nasi dan minum kamu, setelah makan cepat pergi ya dari sini! Saya takut warung saya kena sial karena kehadiran orang seperti kamu!” kata pemilik warung dengan ketus.
Rahmat tak mendengarkan ocehan ibu pemilik warung, ia langsung saja mengambil piring nasi dan juga segelas air putih yang ada di tangan pemilik warung, lalu segera menyantapnya.
Singkat cerita, sudah lebih seminggu ia mencari alamat sang ayah yang di tuliskan mendiang sang ibu sebelum meninggal. Namun alamat itu belum juga ia temukan, tiap malam pula ia harus mencari tempat tidur perpindah dari satu emperan ke emperan Toko yang lain. Sungguh nasip yang sangat menyedihkan.
“Aduh, badan ku sakit semua.” Keluh nya. “Di Dusun memang miskin dan susah, tapi gak pernah merasa sangat susah dan terhina seperti ini,” sambungnya.
“Lebih baik besok aku coba cari pekerjaan, siapa tahu ada yang mau nerima aku sebagai kuli atau buruh panggul pasar. Kan kemarin ku lihat, gak jauh dari sini ada pasar,” katanya, setelah itu ia langsung tidur di atas lantai emperan toko dengan beralaskan kardus.
***
“Kali ini kamu sudah sangat keterlaluan!” maki seseorang.
“Marco minta maaf, Pa. Marco khilaf,” ucap seseorang yang sepertinya anak dari orang yang memaki.
“Kalau sudah begini, kita harus bagaimana?” tanya sang Papa pada Putranya.
“Papa kan banyak uang, suap aja lagi. Pasti masalah langsung beres,” kata putranya menganggap enteng.
“Tidak sesederhana yang kamu fikirkan Marco! Kamu tahu, Anak gadis siapa yang telah kamu lecehkan? Dia adalah salah satu anak konglomerat di kota ini!” geram sang Papa. “Papa tidak masalah kamu mau minum-minum ataupun menghamburkan uang di meja judi. Tapi Papa tidak mengizinkan kamu bermain wanita, apalagi jika sampai harus memaksa! Kamu lihat kan, sekarang harus berakhir seperti ini?”
“Marco kan sudah minta maaf, lagian bukan salah Marco juga. Perempuan itu saja yang datang menggoda Marco,” kata putranya mencoba membela diri.
“Entah lah! Papa pusing mikirin kamu, punya anak satu tapi otaknya gak waras!” setelah berkata seperti itu, sang Papa pergi meninggalkan putranya.
“Pelayan.. Pelayan!” teriak Marco saat Papa nya sudah pergi.
“Iya Den, ada apa?” sang pelayan datang dengan terpogoh-pogoh.
“Saya lapar Mbok, tolong ambilkan makan!” perintahnya dan si pelayan yang di ketahui bernama Mbok Mumun itu langsung segera kembali ke dapur dengan tergesa-gesa.
Jika di dalam Rumah, Marco sedang memerintah pelayannya menyiapkan makan, lain lagi hal nya dengan sang Papa yang sudah siap berangkat ke kantor. Kini di dalam mobil ia sedang menelpon seseorang.
“Hallo!” sahut seseorang dari sebrang telpon.
“Cari cara untuk melepaskan Marco dari masalah ini!” perintahnya. Setelah itu ia langsung memutuskan sambungan telpon itu secara sepihak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
ZidniNeve IG : @irmayanti_816
duhh...
2022-11-16
0
ZidniNeve IG : @irmayanti_816
awas stroke marah" mulu
2022-11-16
0
⏤͟͟͞R Zio. J Mυɳҽҽყ☪️
Mampir kk
2022-06-10
2