Ibu Ana, Ayah Luan, juga Derel kini berlari mencari keberadaan Mire di sebuah bandara. Mereka terus berteriak memanggil nama Mire, berharap masih sempat bertemu dengannya. Masih tak menemukan Mire, mereka berlari ke tiga arah yang berbeda, hingga akhirnya Ibu Ana melihat Mire, dia ingin langsung menghampiri putrinya, tapi langkah kakinya terhenti saat Ibu Tini, atau Ibunya Lusi memeluk Mire, dan Mire juga nampak sangat dekat, bahkan terlihat seperti sudah terbiasa bermanja-manja dengannya. Tak sampai disitu saja, Ayahnya Lusi juga memeluk Mire, mengusap punggungnya, lalu kepala, dan mencium kepala Mire seolah Mire juga dekat dengannya.
" Dengar ya, kalian berdua harus selalu akur, tidak boleh bertengkar, dan saling membantu dan menguatkan. Kami disini akan mendoakan mu, dan menunggu kalian kembali dengan sukses yang sudah kalian raih. " Ucap kakaknya Lusi mengusap wajah Mire dan Lusi bersamaan dengan kedua tangannya. Mire dan Lusi mengangguk setuju, lalu tak lama Mire mencium pipi kakaknya Lusi, Ibu Tini, dan juga suaminya.
" Mire.... " Panggil Ibu Ana yang tak lagi berdaya karena rasa sakit melihat putrinya ternyata malah diperlakukan dengan begitu baik, dan dia juga terlihat sangat bahagia hingga sama sekali seperti tidak mengingat keluarganya lagi.
" Ayah, Ibu, kakak, kami berangkat dulu! " Ucap Mire dan Lusi bersamaan, Lalu mereka berdua melambaikan tangan sembari menjalankan kaki mereka.
" Mire... " Panggil Ibu Ana pelan, mungkin juga hanya dia yang bisa mendengar suara itu. Kakinya lemas, begitu juga dengan tubuhnya hingga tak kuasa menahan tubuhnya, lalu jatuh terduduk di lantai bersamaan dengan air matanya.
" Ibu? " Derel yang baru saja sampai terkejut melihat Ibunya terduduk sembari menangis tersedu-sedu.
" Ada apa Ibu? " Tanya Derel seraya memeluk Ibunya agar menjadi lebih tenang.
Masih tak bicara hingga waktu yang lumayan lama, tapi untunglah Derel masih setia menenangkan Ibunya.
" Derel? Ibu? Ada apa? " Ayah buru-buru dia mendekat, lalu membenahi posisi sang istri agar berdiri, dan dia memegangi agar tak jatuh duduk lagi di lantai.
" Apa yang terjadi, Derel? Apa kalian sudah bertemu Mire? " Tanya Ayah Luan.
" Belum, tapi aku tidak tahu dengan Ibu. Saat aku datang Ibu sudah duduk di lantai sembari menangis. " Ujar Derel lalu mengusap lagi punggung Ibunya yang masih belum hilang wajah syok dan sedihnya.
" Pak Luan, Ibu Ana? Kalian apa kabar? " Sapa Ayahnya Lusi dan keluarganya yang tak sengaja melintas.
Bukannya menjawab sapaan itu dengan ramah, Ayah Luan justru mendelik marah seolah keluarga Lusi memilki kesalahan besar padanya.
" Ibu Ana, baik-baik saja? " Ibu Tini mencoba mendekat karena merasa kasihan, tapi dengan sinis Ayah Luan mengucapkan kata-kata yang membuat Ibu Tini tak mau lagi melangkahkan kaki lebih dekat.
" Kalau bukan didikan dari seorang kriminal, putri kalian pasti tidak akan mempengaruhi putriku untuk membantah. "
Ibu Tini mengeryit menatap bola mata Ayah Luan yang nampak jelas sekali menunjukkan dendam dan kemarahan yang amat luar biasa.
" Kata-katamu barusan sungguh tidak berperasaan, Luan. " Ucap Ibu Tini yang terlihat tidak takut, malah dia juga terlihat terpancing emosi nya.
" Kau lihat sendiri buktinya kan? Karena berteman dengan putri kalian, dia terus menentang ku, dan pada akhirnya dia meninggalkan kami semua! "
Ayahnya Lusi diam, bukannya tidak marah, tapi melayani kemarahan Ayah Luan sama saja membuktikan bahwa ucapannya benar.
" Ibu, kita pulang saja ya? " Ajak Ayahnya Lusi seraya meraih tangan Ibu Tini untuk dia bawa pulang.
" Tunggu, yah! " Ibu Tini menatap bola mata Ayah Luan tidak kalah tatapan marahnya.
" Mire pergi memang karena semangat yang diberikan oleh putriku, disaat dia ingin sekali membuktikan kepada keluarganya bahwa dia bisa membanggakan, kalian justru menjatuhkannya, mematahkan sayapnya yang baru saja akan mengembang, perlahan-lahan mencoba menghapus senyum indah putri kalian, dan memaksanya hidup di kurungan hampa tanpa kalian perduli, dia, Mirelia putri kalian. Dia anak yang baik, polos, ceria, manja, pengertian, dia tahu bagiamana membuat dirinya bahagia dan membuat orang lain bahagia. Kalian ingin membuatnya hidup tapi terasa mati huh?! Kalian lupa kalau Mire itu punya hati?! Kalian ini orag tuanya, tugas kalian membahagiakan anak, menyemangati, bukan memaksanya untuk memuaskan keinginan kalian yang egois itu. "
" Ibu, berhentilah bicara, ayo kita pulang. " Ayahnya Lusi menarik paksa tangan istrinya untuk menjauh dari keluarga Luan agar tak semakin membuat ribut, dan orang-orang berhenti memperhatikannya. Sekarang tinggallah kakaknya Lusi disana.
" Mire menderita beberapa bulan terakhir ini, meskipun dia tidak menceritakan apapun pada kami, tapi kami bisa melihat dia sering melamun, dan menangis diam-diam. Aku mengatakan ini bukan untuk menyalahkan kalian, hanya saja Mire seolah sangat tersiksa hingga kadang tidak fokus saat di ajak bicara. Ibu, dan bapak Luan, saya berdoa agar semuanya akan baik-baik saja, dan semoga Lusi juga Mire kembali dengan sehat, dengan ilmu yang lebih banyak, dan sukses di masa depan. " Kakaknya Lusi tersenyum, lalu berjalan pergi.
Sekembalinya dari bandara, Ibu Ana terdiam sama sekali tak mengeluarkan satu kata pun lewat bibirnya. Dia mengingat kembali senyum indah Mire saat berpamitan dengan keluarga Lusi, saling memeluk dan manja seperti Mire sebelumnya.
Tangannya gemetar, air matanya luruh tak tertahankan. Ibu Ana kini menatap kedua tangannya yang dulu sering ia gunakan untuk mengelus kepada Mire, menepuk punggungnya saat malam Mire datang dengan alasan mimpi buruk, dan tidur di tengah-tengah orang tuanya dengan tubuh gemetaran. Sekarang dia mulai berpikir, saat Mire mimpi buruk tapi dilarang datang ke kamar orang tuanya, bagaimana Mire menenangkan dirinya? Apakah menangis sendirian di dalam kamar? Apakah dia akan tidur di bawah meja seperti yang Derel pernah ceritakan?
" Mire.... "
Entah akan sejuta kali memanggil nama itu, tapi sayangnya si pemilik nama tidak akan muncul hingga waktu yang lumayan lama. Belum jelas kapan Mire kembali, tapi hatinya terus berharap bahwa sesegera mungkin Mire akan datang padanya, dan dia janji tidak akan sekalipun meminta Mire untuk mengikuti apa keinginan Ayahnya.
Ayah Luan dan Derel juga merasakan hal yang sama. Mereka mengingat setiap kata yang keluar dari Ibu Tini, jiga kakaknya Lusi. Tida tahu apa pentingnya Mire bagi keluarga Lusi, mungkin saja mereka sengaja membujuk Mire agar Lusi memiliki teman disana, batin keduanya setelah lelah memikirkan hal itu.
***
Drago mengeryit terus menatap ponselnya yang masih belum mendapatkan pesan dari Mire. Aneh, padahal setiap pagi Mire akan mengirimnya pesan, Selamat pagi? Apakah dia lupa? Batin Drago.
Tak ingin memikirkan hal itu, Drago dengan segera memakai setelah baju rapih untuk melihat restauran yang akan mulai digunakan Minggu depan.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Shyfa Andira Rahmi
seperti lagu pak h.rhoma irama...kalo sudah tiada baru terasa🤣🤣🤣
2025-01-11
0
ALNAZTRA ILMU
kesian mire.. permata indah yang diabaikan🥺🥺🥺
2025-01-30
0
ALNAZTRA ILMU
the novel
2025-01-30
0