Setelah mengantar istrinya ke kantor, Arya pergi ke kantor keluarganya. Sesampainya di sana, ia ke ruangan Papa Gunadi untuk menagih janji.
"Pagi, Pa!" sapa Arya tersenyum.
"Arya, kenapa kau di sini?"
"Aku ke sini mau menagih janji Papa," jawab Arya.
"Tidak sekarang," ucap Gunadi.
"Kenapa? Papa menjanjikan jabatan itu jika aku berhasil membuatnya jatuh cinta, bahkan kami sudah menikah," ungkap Arya.
"Mereka belum mempercayai, HK Grup kepadamu," ucap Gunadi.
"Ini tidak sesuai dengan perjanjian," Arya protes.
"Kau harus membuat Reno hancur begitu juga dengan putrinya, baru jabatan Presdir akan jadi milikmu!"
"Papa ternyata licik juga, menjadikan aku untuk melampiaskan dendam," ucap Arya.
"Hanya kau harapan Papa!"
"Aku tidak bisa pastikan itu, Pa. Kalau begitu aku mau ke rumah Mama," Arya pun berlalu.
"Aku tidak akan menyerahkan perusahaan ini kepadamu," batin Gunadi tersenyum licik.
-
Arya pergi ke rumah orang tuanya, karena tidak ada lagi pekerjaannya. Istrinya menolak untuk ditemani, jadi ia memutuskan bertemu mamanya.
"Arya, kamu sendirian. Mana istrimu?" tanya Rita.
"Dia lagi kerja, Ma."
"Kamu seharusnya yang kerja bukan istrimu," ucap Rita.
"Papa tidak memberikan pekerjaan untukku di perusahaan, tidak mungkin aku bekerja di perusahaan mertua. Baru juga jadi menantunya."
"Kenapa Papa tidak memberikan kamu pekerjaan?"
"Tidak tahu, Ma. Aku mau menjadi Presdir, Papa tidak pernah memberikan ku kesempatan itu," jawab Arya.
"Nanti Mama akan bicara pada Papa, kamu itu anak kami masa sampai harus jadi pengangguran."
"Semoga saja berhasil!" batin Arya tersenyum.
-
Tepat pukul 5 sore, Arya tiba di gedung perkantoran istrinya. Ia berjalan menaiki lift menuju ruangan istrinya, namun di tengah jalan ia berpapasan dengan pria yang ia temui di luar kota bersama Rania.
"Ada Nona Rania di ruangannya?" tanyanya pada sekretaris istrinya itu.
"Ada, Tuan!" jawabnya.
Arya masuk ke ruangan kerja Rania tanpa mengetuk pintu dan melihat istrinya sedang membaca beberapa berkas. Ia pun duduk berhadapan dengan Rania.
"Kenapa tidak mengetuk pintu?"
"Sepertinya tidak perlu, aku kan suamimu." Arya melihat kancing atas baju istrinya terbuka. "Kau habis menggoda siapa?" tanyanya.
"Menggoda apa? Aku sedang bekerja," jawab Rania.
"Kenapa kancingnya terbuka?"
"Hah!" Rania melihat bagian depan tubuhnya dengan cepat menutupinya dengan tangan.
"Kau sengaja memancing pria tadi, kan?" tuduh Arya.
"Pria yang mana?"
"Pria yang baru saja keluar dari ruangan ini," jawab Arya.
"Oh, maksud kamu Rangga?"
"Aku tidak peduli siapa namanya."
"Kenapa kau jadi pria yang pencemburu? Bukankah kita tidak saling mencintai?"
"Memang, iya. Tapi kita sudah menikah, jaga kelakuanmu dengan pria lain!" Arya menjawab gugup.
"Aku tidak melakukan apa-apa," Rania menyangkal.
"Ku harap kau tahu batasan," seru Arya.
"Sepertinya kata itu pantasnya untuk kau," ucap Rania.
"Kenapa jadi aku?"
"Apa kau tidak ingat perlakuanmu di lift? Ada berapa banyak wanita yang kau ancam dengan cara begitu," tuding Rania.
"Aku tidak pernah melakukan hal itu dengan siapapun," Arya memberikan pembelaan. "Kecuali kau!" lanjutnya.
"Aku lelah," Rania menutup berkas-berkas tersebut lalu mengambil tasnya.
Keduanya keluar dari ruangan menuju lift, mereka berjalan sejajar. Rania membalas sapaan para karyawan yang berpapasan dengannya.
Sesampainya di parkiran, Arya membukakan pintu untuk istrinya lalu ia duduk di kursi pengemudi.
"Antar aku ke rental dekat kafe yang kemarin kita datang," pinta Rania.
"Baiklah!"
Sesampainya di sana, ia pergi ke atas. Seorang karyawan pria memberikan laporan kepadanya.
Rania membaca laporan tersebut, lalu mengembalikannya. "Apa Tuan Rayyan sering ke sini?"
"Sering, Nona!"
"Ya, sudah kalau begitu saya pamit pulang!"
"Iya, Nona."
-
-
"Apa tiap hari kau ke rental?" tanya Arya saat di dalam mobil.
"Tidak, biasanya Papa yang menanganinya."
"Oh, foto yang terpajang di ruang tamu. Itu foto Mama Mischa?"
"Ya."
"Pantas mirip!"
"Kata orang-orang sih' mirip," ucap Rania.
"Pasti Ayahmu orang yang setia, sampai sekarang tidak menikah lagi," ujar Arya.
"Ayah tidak menikah lagi karena ingin menebus kesalahannya pada Ibu," Rania menceritakannya dengan mata-mata berkaca.
"Kesalahan?"
"Ya."
"Kesalahan apa?"
"Aku juga tidak tahu, dia hanya mengatakan dari aku lahir Ibuku sudah meninggal," jawab Rania.
"Pasti kau merindukan sosok seorang Ibu?"
"Ya, pastinya. Tapi orang-orang sekeliling aku sangat menyayangiku," jawabnya bangga.
Arya memberikan tisu kepada istrinya," Menangislah!"
"Aku tidak boleh menangis, nanti Ayah akan semakin tambah bersalah," ucap Rania. "Aku sangat menyayangi Ayah, dia tak pernah memarahiku atau membentak ku!" lanjutnya lagi.
"Begitu sayangnya mereka dengan Rania," gumamnya.
"Kenapa aku jadi curhat?" Rania menghapus air matanya sambil tertawa kecil.
"Tidak apa, asal buatmu lega," ujar Arya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments