"Kalau nggak mau makan, aku cium ya?" ujar pria itu sungguh-sungguh.
Tak ada sahutan membuat Aka gemas sendiri, terpacu untuk memulai mendekat.
"Beneran ni, bibir ini boleh bersilaturahmi? Kalau khilaf, jangan salahkan aku meminta lebih," godanya mengikis jarak. Seketika Shalin langsung membuka matanya seraya bangkit dan sedikit mendorong dad@ suaminya.
"Mesum banget sih," kesal Shalin menggerutu. Akan bukanya kesal malah tersenyum melihat istrinya yang sewot, tetapi menurut.
Gadis itu berjalan cepat meninggalkan Aka yang masih senyum-senyum di ruangannya.
"Dek, tungguin dong, jangan cepet-cepet juga." Pria itu sedikit berlari menyamai langkah Shalin.
Shalin menurut, memperlambat langkahnya, hingga memasuki rumah utama dan melewati ruangan tengah, lalu duduk di sana, karena besar kecilnya menyambut pengantin baru, ruang tengah yang longgar disulap menjadi lesehan dengan banyak menu istimewa. Nampak para pengurus pesantren, dan keluarga besar duduk lesehan satu sama lain.
"Mau makan sama apa?" tanya Aka perhatian.
"Apa aja, nanti aku ambil sendiri, Mas," ujarnya sungkan.
"Nggak pa-pa aku ambilin, kamu pasti canggung 'kan?"
"Assalamu'alaikum semuanya, maaf Zayyan terlambat!" sapa pria yang baru saja masuk dengan seragam putih abunya.
"Waalaikumsalam, Zan, tumben pulang cepet?" tanya Mbak Aida kakak paling perhatian.
"Iya Mbak, gurunya tahu aja kalau Zayyan mau menyambut pengantin baru," ujarnya riang. Aka hanya tersenyum tipis mendengar banyolan adiknya. Sementara Shalin hanya menunduk .
"Azmi kok nggak kelihatan, ke mana?" tanya Aka pada siapapun yang ada di ruangan.
"Bang Azmi tadi di depan, bawa motor ada acara kampus katanya."
"Udah pamit kok tadi," sela Umi angkat bicara.
"Owh ... ya sudah dimulai saja makan siangnya."
Diam-diam Shalin bernapas lega mendengar Azmi tidak ikut bergabung makan siang bersama, setidaknya siang ini, ia tidak harus bertemu di ruang yang sama dengan orang yang masih memenuhi hatinya.
"Dek, coba punya aku, enak?" tawar pria itu menyendok punya dirinya, lalu menyodorkan pada istrinya. Perlakuan manis Aka tentu menyita perhatian orang di sana. Shalin menyorot sebal dalam hatinya, namun tak ingin membuatnya malu ia tak sampai hati menolak, malah membuka mulutnya dengan suka rela.
"Enak 'kan? Ini masakan umi tercinta, kapan-kapan kamu belajar ya dari beliau, aku pasti akan makan setiap hari di rumah."
"Iya, Mas, kapan-kapan belajar sama umi," pasrah Shali mengiyakan. Toh masih lama juga, jadi ambil simple-nya aja.
Usai makan siang, Shalin membantu Umi dan Mbak Aida membereskan sisa piring kotor dan menata kembali prasmanan di meja dapur. Semua perkakas yang kotor dihandle asisten rumah tangga Umi Salma. Beliau yang membantu masak untuk santri juga, beserta santri sepuh yang sudah lama tinggal di sana.
Shalin nampak berbincang akrab dengan Mbak Aida dan Umi Salma, membuat Aka yang melihat tersenyum senang.
"Umi, Shalin ke kamar dulu ya," ujarnya pamit.
Hingga menjelang malam, Shalin bersembunyi di kamarnya, menatap layar laptop dengan serius, menyelesaikan tugas kuliah yang menumpuk.
Aka sendiri langsung sibuk dengan kegiatannya di pesantren, dan juga di kampus. Bahkan sore tadi sempat menghadiri kajian bersama dosen Universitas Islam. Ia baru pulang selepas isya, mendapati istrinya sudah di bawah selimut hangatnya. Bahkan Aka masuk mengucap salam pun tak ada sahutan, pantas saja waktu Bu Darmi mengetuk pintu untuk dipanggil makan malam, beliau bilang tak ada sahutan. Ternyata istrinya sudah tertidur melewati makan malam.
Aka terbesit ingin membangunkan, namun merasa kasihan saat melihat istrinya tidur begitu nyenyaknya. Ia akan menunggu Shalin terjaga dan mengajaknya makan malam bersama. Tanpa di duga keduanya sama-sama melewati begitu saja, tidur hingga menjelang subuh.
Seperti biasa mereka melakukan aktivitas pagi bersama walaupun masih canggung. Baik Aka dan juga Shalin masih merasa asing namun mencoba dekat, lebih tepatnya Akan lebih aktif berinisiatif memulai.
"Mas, aku berangkat dulu ya?" Mau tidak mau , suka tidak suka, Shalin harus terbiasa pamit dan meninggalkan pesan jika ingin keluar rumah, wajib hukumnya. Perempuan itu meraih tangan suaminya dan berujar pamit. Aka kali ini cuma mampu mengusap lembut puncak kepalanya, ingin bertindak lebih takut tertolak lagi, memang harus perlahan tetapi pasti, biar Shalin beradaptasi dulu dengan keadaan ini.
"Bareng aja ya?" Shalin tidak menyahut, namun keluar begitu saja.
"Dek, tunggu bentar deh," ujar Aka menyeru. "Cincin kamu mana? Kok nggak dipakai?" Aka meneliti jari-jemari istrinya. Shalin langsung menarik tangannya bingung.
"Ada di kamar, takut hilang makanya aku lepas," ujarnya beralasan.
"Takut hilang, atau takut pernikahan kita terekspos banyak orang di kampus, atau masih mau ngaku single?" tanyanya cukup menohok.
"Beneran ada Mas, nggak percaya?" tantang Shalin kesal.
"Kalau memang ada di kamar, cepetan ambil terus pakai, aku nggak suka nantinya ada yang berasumsi lain tentang status kamu, dan terjadi seperti pada saat pertama kali kita bertemu, itu sesuatu yang buruk, untung Allah menjagamu, dan mempertemukan kita."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
gia nasgia
Yang sabar pal ustadz
2024-07-24
0
Nendah Wenda
Luh gak bisa berdamai sama takdir salin aka baik loh perhatian lagi
2024-01-09
1
Athifah S Rato
jangan nyesal salin cinta suami mu itu tulus Lo,,,,
2024-01-06
0