...Demi apapun yang aku miliki di dunia tak akan mampu menggantikan mereka yang telah tiada....
...~Humaira Khema Shireen...
...🌴🌴🌴...
Setelah acara pemakaman selesai. Humaira segera kembali ke rumahnya. Disana masih ada beberapa tetangga yang membantunya membersihkan rumah. Bahkan para ibu-ibu yang rumahnya tepat di samping kanan dan kiri rumah Humai saling bergotong royong dan membantu gadis itu menemui para tamu.
Tak ada satu katapun yang keluar dari bibir Humai kecuali kata terima kasih. Dia tak tahu harus mengatakan apa. Mungkin jika tak ada tetangga. Maka dia benar-benar sendirian sekarang.
"Bagaimana kabar Rein sekarang, Nak Humai?" tanya salah satu tetangga Humai yang rumahnya tepat di belakang rumahnya.
"Rein harus melakukan operasi, Bu. Kakinya terjepit dan kepalanya terdapat pembekuan darah karena benturan yang keras," sahut Humai dengan menarik nafasnya begitu dalam.
Mengingat keadaan sang adik, membuat Kara benar-benar merasa takut. Harapannya hanya tinggal Rein. Dia hanya memiliki adiknya itu di dunia ini.
"Lalu Rein bersama siapa sekarang?" tanya Ibu yang rumahnya di samping kiri Humai.
"Aku meminta bantuan temanku untuk menjaga Rein, Bu."
Ibu-ibu disana menatap Humai kasihan. Mereka tak menyangka gadis muda di hadapannya ini harus kuat menjalani hidup. Tak memiliki kedua orang tua lalu sekarang harus berusaha dan berdoa untuk keselamatan adiknya sendiri.
"Lebih baik kamu istirahat dulu sebelum ke rumah sakit, Mai. Biar kami yang membereskan semua ini," ujar ibu-ibu itu dengan tulus.
Humai menghela nafas berat. Dirinya memang merasa lelah. Tubuhnya lemah dan dia butuh istirahat. Namun, mengingat apa yang terjadi padanya, Humai tak kuasa untuk tidur.
Pikirannya ada di rumah sakit. Dia ingin segera menjenguk adiknya tanpa memikirkan keadaannya.
"Humai langsung ke rumah sakit saja, Bu. Kasihan teman Humai."
"Jangan memaksakan keadaan, Nak. Kamu capek, tidurlah sebentar. Nanti kami bangunkan."
Akhirnya Humai menurut. Dia tak menolak kebaikan ibu-ibu yang ada di samping kanan kirinya.
"Humai akan tidur di kamar Ibu," ucapnya dengan menunjuk kamar yang ada di dekat ruang tamu. "Satu jam lagi Ibu bangunkan Humai yah."
"Iya, Nak."
Akhirnya Humaira mulai berjalan menuju kamar Shadiva. Sebelum masuk, dia menarik nafasnya begitu dalam. Jujur sudah lama sekali Humai tak pernah memasuki kamar orang tuanya. Terakhir kali, bisa gadis itu ingat ketika ayahnya masih hidup.
Setelah itu, sikap ibunya terus berubah. Jarak di antara keduanya membentang dan membuat Humai tak pernah berani menjejakkan kakinya disana.
Perlahan, dia mulai mendorong pintu kamar ibunya lalu dia masuk ke dalam. Hal pertama yang bisa dia lihat dari sana adalah foto keluarga.
Tubuh gadis itu mematung dengan air mata menumpuk ketika melihat foto dirinya, Rein, ibu dan ayahnya terpajang disana.
Gadis itu tak menyangka jika pigura besar itu dipindahkan ke kamar ini. Dia dulu berfikir ibunya membuang foto ini. Namun, ternyata pikirannya salah.
"Aku merindukan kalian," ucap Humai dengan air mata mengalir.
Gadis itu berjalan ke arah jendela kamar. Dia membuka gorden dan membuat ruangan itu mulai terang. Jika begini, Humaira bisa melihat tata letak dan apa saja yang ada di kamar orang tuanya.
"Ternyata ibu tak seburuk apa yang aku pikirkan," ucapnya saat melihat foto dirinya dan Rein berdua tertata rapi di atas nakas.
Humai mengingat jika dulu tak ada foto itu ketika ayahnya masih hidup. Maka bisa dibilang jika foto itu diletakkan disana ketika almarhum ayahnya telah tiada.
Semakin semuanya diingat, bayangan wajah ayah, ibu dan adiknya semakin jelas dalam pikiran Humaira. Gadis itu akhirnya memilih naik ke atas ranjang.
Namun, sebelum itu, dia mengambil sebuah pigura yang merupakan potret ayah dan ibunya sedang berpegangan tangan.
"Selamat tidur, Ayah, Ibu. Semoga ketika Humai bangun. Semua yang terjadi adalah mimpi," ucapnya dengan wajah penuh harap.
...🌴🌴🌴...
Entah berapa lama Humaira tertidur. Suara deringan ponselnya yang kencang membangunkan gadis itu dari mimpi indahnya. Humaira segera meraih ponselnya yang ia letakkan di dekatnya lalu segera mengangkat panggilan itu saat melihat nama sahabatnya yang tertera disana.
"Halo, Fir," kata Humai dengan wajah panik.
Gadis itu takut terjadi sesuatu pada adiknya. Dirinya trauma mendapatkan panggilan dadakan yang isinya adalah berita buruk.
"Halo, Mai. Alhamdulillah operasi Rein sudah selesai dan semua berjalan lancar," kata Sefira yang membuat mata Humaira berkaca-kaca.
"Serius, Fir? Kamu gak bercanda, 'kan?" tanya Humai dengan perasaan yang tak bisa dijabarkan.
Meski belum mengetahui bagaimana keadaan adiknya nanti. Namun, mendengar operasinya berjalan dengan lancar saja, Humaira sudah merasa bersyukur.
Allah ternyata masih baik kepadanya. Memberikan kelancaran proses operasi adiknya dan membuat Rein masih bisa menghirup udara di dunia yang fana ini.
"Iya. Beneran, Mai," kata Sefira dengan nada yang sama bahagianya.
"Baiklah. Aku akan kesana sekarang!"
Akhirnya panggilan itu berakhir. Humaira segera keluar dari kamar setelah mencuci wajahnya. Gadis itu bahkan baru menyadari jika hampir 3 jam dirinya terlelap.
Rasa lelah tubuh dan batinnya ternyata mampu membuat Humaira tertidur dengan nyaman. Ditambah mimpi bertemu dengan ayah dan ibunya semakin membuatnya jatuh ke dalam indahnya alam yang tak nyata.
"Humai pamit ke rumah sakit dulu ya, Bu. Barusan dapet kabar kalau operasi Rein sudah selesai." Pamit Humai pada tetangga yang sangat dekat dengan ibunya.
"Alhamdulillah," sahut tiga orang ibu-ibu yang berdiam diri disana.
"Pergilah ke rumah sakit. Biar rumah ini, kami yang bantu jaga, Nak," kata tetangga Humai samping rumah.
"Tapi Humai bener-bener ngerepotin, Bu. Humai…"
"Jangan sungkan, Nak. Sudah berangkatlah. Nanti kunci rumah. Kamu ambil ke rumah Ibu yah," sela ibu itu dengan tatapan tulusnya.
Akhirnya Humai segera mencium punggung tangan wanita yang usianya hampir sama dengan ibunya. Kemudian gadis itu segera berjalan keluar rumah menggunakan motornya.
Motor butut matik yang dibeli oleh ayahnya dulu masih bisa ia gunakan. Humai segera ke rumah sakit dengan kendaraan itu. Namun, sebelum itu, ia mampir ke atm untuk mengambil uang dan mengecek saldo rekeningnya.
Entah apa yang harus dilakukan Humaira sekarang. Dirinya harus rajin bekerja untuk mencari biaya kesehatan adiknya. Dirinya juga hari ini sudah izin libur pada pemilik cafe karena kecelakaan ibu dan adiknya.
"Ya Tuhan. Apa uang segini cukup untuk beberapa bulan ke depan?" gumam Humai pada dirinya sendiri.
Kepalanya menunduk. Dia menepis air mata yang turun saat membayangkan jika hari ini pundaknya semakin berat. Bukan hanya dirinya saja yang harus ia pikirkan tapi adiknya juga.
"Aku harus semangat bekerja demi biaya rumah sakit Rein. Aku harus bersiap merelakan kuliahku jika sewaktu-waktu aku tak sanggup melanjutkannya."
~Bersambung
Detik-detik ketemu sama suami dakjal entar lagi geng. Sabar yah sabar. Inget puasaan.
Jangan lupa like, komen dan vote yah. Biar author semangat ngetiknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 287 Episodes
Comments
Pia Palinrungi
sabar humai tdknada ujian melebihi dr kemampuan manusia, dgn musibah ini kamu akan dinaikkan derajatmu, insyaAllah kamu bs melewatinya
2023-03-31
0
andi hastutty
kasian Humairah smoga slalu kuat dan sehat menjalani hidup
2023-02-07
0
Raffa Iskandar
semangat humai allah bersama hambanya yg sabar dan tawaqak
2023-01-26
0