Gadis Jerawat Istri Sang Cassanova
...Hal yang paling menyakitkan dalam kehidupanku, ketika aku hanya menjadi aib untuk ibu kandungku sendiri. ...
...~Humaira Khema Shareen...
...🌴🌴🌴...
Terlihat seorang perempuan tengah berdiri di depan cermin besar. Dia sedang menatap penampilannya dari atas sampai bawah. Tangannya terulur menyentuh wajahnya yang selalu menjadi aib untuknya di mata teman-teman kampus.
Tangannya meraba kulitnya yang kasar. Jerawat yang timbul di wajahnya dan bekasnya yang sangat jelas, membuat dirinya selalu merasa malu. Bukannya dia menutup mata dan telinga selama ini. Namun, setiap kali dia sendirian. Maka menilai sosok dirinya sendiri adalah kebiasaannya.
Tak mau semakin tersiksa dan melupakan caranya bersyukur atas apa yang Tuhan kasih kepadanya sampai di titik ini. Dia segera meraih tas punggungnya dan segera keluar dari kamar.
"Pelan-pelan, Humaira!" kata seorang perempuan yang tengah menyiapkan makanan di atas meja makan.
"Bagaimana Ibu bisa tau kalau aku Humai?" tanya Humai sambil menarik kursi untuk ia duduki.
"Dari langkah kakimu saja. Ibu bisa mengenalinya," sahut Shadiva, ibu kandung Humai.
Humairah hanya bisa diam. Dia meletakkan tas miliknya di bawah dekat kursi sambil menunggu kedatangan adiknya.
"Bagaimana kuliahmu, Humai?" tanya Shadiva pada putrinya.
Humaira menarik nafasnya begitu dalam sebelum menjawab. "Semua baik-baik saja, Bu."
"Jangan bilang baik-baik terus. Contoh adikmu itu. Rein selalu juara kelas karena dia rajin belajar."
Jantung Humaira merasa mencelos. Dia menundukkan wajahnya seakan ingin menyembunyikan raut wajah yang selalu ia tampilkan ketika telinganya mendengar ibunya sendiri selalu memuji adiknya itu.
"Iya, Bu. Humaira selalu belajar setiap hari. Ibu tahu sendiri, 'bukan?"
"Ibu tau tapi kamu kurang rajin. Kalau kamu rajin pasti bisa seperti Rein," kata Shadiva tak mau kalah.
Humaira hanya bisa diam. Dia tak bisa balas mendebat ibunya. Hal seperti ini bukan sekali dua kali berseliweran di telinga dan otaknya. Namun, hampir 21 tahun dia hidup seperti ini.
Dituntut, disetir dan dipaksa menjadi apa yang diinginkan ibunya sendiri. Humaira seakan tak memiliki hak untuk menentukan kehidupannya sendiri. Semuanya berada dalam genggaman ibunya. Bahkan jurusan perkuliahannya saja, semua itu atas perintah ibunya.
Diam-diam, Humaira menghapus air matanya saat langkah kaki adiknya terdengar. Dia berusaha menetralkan emosi yang sejak tadi berkumpul dari dirinya.
Kamu kuat, Humai. Kamu pasti bisa, gumam Humai dalam hati sebelum mengangkat wajahnya.
"Selamat pagi," sapa Rein dengan senyuman begitu lebar.
"Pagi, Sayang. Bagaimana tidurmu semalam?" tanya Shadiva sambil mengusap kepala putra keduanya.
"Sangat nyenyak, Bu," balas Rein dengan cepat.
"Tugasmu sudah selesai?"
"Sudah. Semalam aku mengerjakannya sampai selesai," balas Rein dengan apa adanya.
"Anak pintar. Contoh adikmu, Humai!"
"Iya, Bu!" jawab Humaira dengan menahan sakit hatinya yang mendalam.
Tak lama, Shadiva datang dengan setoples kue kacang di tangannya. Wanita itu meletakkan kue kacang itu di atas meja yang membuat perhatian Humai dan Rein teralihkan.
"Kue kacang!" pekik keduanya bersamaan.
Dengan serentak Humaira dan Rein mengulurkan tangannya hendak meraih kue tersebut. Namun, tanpa diduga, sebuah tepukan di punggung tangan Humai membuat gadis itu mendongak.
"Ada apa, Bu?"
"Kamu berjerawat. Jangan makan kacang biar gak makin banyak," kata Shadiva dengan suara tegasnya.
"Tapi, Bu. Humai suka kue kacang," katanya dengan wajah lesu. "Biarkan Humai makan satu kue saja, Bu."
Wajah gadis itu penuh permohonan. Namun, bukannya iba, Shadiva malah menggeleng.
"Nurut sama Ibu biar jerawat kamu sembuh!" ujar Shadiva dengan menatap tajam putrinya.
"Bu…"
"Sekali tidak tetap tidak. Kamu itu perempuan, Humai. Harus pandai jaga diri dan merawat wajah dan tubuhmu," kata Shadiva pada putrinya.
"Iya, Bu." Akhirnya Humaira tak bisa melakukan apapun.
Dia segera mengambil satu lembar roti dan mulai mengoleskan selai coklat. Lalu sentuhan terakhir, dia hendak memberikan taburan kacang tapi langsung diambil oleh ibunya.
"Jangan makan yang manis, Humai! Kamu kenapa ceroboh sekali," kata Shadiva sambil menjauhkan roti yang sudah diolesi oleh putrinya.
"Kembalikan roti Humai, Bu!"
"Nggak!" kata ibunya dengan tegas. "Kamu makan ini saja."
Akhirnya Shadiva mengambilkan roti lain untuk anaknya. Lalu dia mengoleskan margarin dan memberikan sedikit selai coklat di atasnya.
Hal itu tentu membuat mata Humaira berkaca-kaca. Namun, ia tak bisa melakukan apapun. Akhirnya dirinya hanya bisa memakan roti tersebut dengan menahan air mata yang hendak mengalir dari ujung matanya.
"Setelah rotimu habis minum collagen ini, Humai. Biar kulitmu sedikit lebih cerah dan putih!" perintah ibunya sambil memberikan gelas yang berisi air berwarna sedikit kemerahan. "Ingat diminum dan jangan dibuang!"
Humaira mengangguk sambil kepalanya menunduk. Dia menghapus air matanya dengan kasar tanpa sepengetahuan ibu dan adiknya.
Apa standar kecantikan selalu menjadi yang utama untukmu, Bu? Dan kejelekan wajahku apakah menjadi aib bagimu? gumamnya dalam hati dengan hati yang amat terluka
...🌴🌴🌴...
Akhirnya setelah melewati drama yang panjang. Humaira sampai di kampusnya. Senyumannya langsung mengembang saat melihat sosok sahabatnya yang berdiri di dekat gerbang depan.
"Tumben kamu datang duluan?" tanya Humaira pada Sefira.
"Iya. Papaku ada meeting dan supir yang biasa anterin aku lagi sakit. Alhasil ya aku berangkat bareng Papa."
"Oh." Humaira membulatkan bibirnya. "Kamu sudah sarapan?"
"Sudah," balas Sefira sambil menggandeng tangan sahabatnya. "Kenapa? Kamu belum sarapan?"
"Aku hanya sarapan roti saja dan perutku masih lapar," jawab Humai dengan jujur. "Mau ikut ke kantin?'
"Mau…mau banget!"
Akhirnya keduanya berjalan menuju kantin kampus. Sefira adalah satu dari banyaknya mahasiswa yang mau menjadi teman dekat Humai di kampus ini. Persahabatan yang terjalin membuat Sefira tak memandang Humai dari harta atau wajah.
Pertemanan mereka murni arti persahabatan. Sefira selalu ada ketika Humaira sendirian dan begitupun sebaliknya.
"Kamu mau bakso?" tawar Humai pada Sefira.
"Iya, Mau. Tolong pesankan aku juga yah."
Keduanya segera mengambil tempat duduk untuk menunggu ibu kantin mengantar pesanannya. Suasana kantin lumayan ramai dan seperti biasanya, Humai selalu mendapatkan tatapan tak suka dari beberapa mahasiswa dan mahasiswi disana.
"Selamat makan, Mai!" kata Sefira dengan semangat.
"Selamat makan juga, Fir!"
Keduanya mulai makan dengan tenang. Terlalu fokus akan makanannya. Keduanya tak menyadari dengan kedatangan seorang perempuan yang merupakan sosok paling ditakuti karena menjadi primadona kampus.
Segerombolan wanita itu berjalan mendekati meja yang menjadi tempat Humai dan Sefira menikmati makanannya.
Brak!
Kedua wanita itu berjingkat kaget. Sefira dan Humai mendongak hingga pandangan mereka tertuju pada sosok yang menjadi biang masalah.
"Ada apa, Rachel?" tanya Humai dengan suaranya yang pelan.
"Kau masih tanya kenapa?" tanya Rachel menatap Humai dengan tajam. "Aku jijik melihat wajahmu disini. Kau menghancurkan selera makananku!"
Humai hanya mampu menunduk. Ini bukanlah kasus pertama kalinya yang dia hadapi. Sudah beberapa kali dia menjadi korban dari Rachel dan berakhir mengenaskan.
"Pergi kau dari sini!" usir Rachel menatap Humai dengan pandangan tanpa kasihan. "Dasar gadis jerawatan. Muka rusak lagi!"
Humai masih tak beranjak. Di menatap semangkuk baksonya yang masih tersisa banyak.
"Izinkan aku memakan bakso sebentar, Rachel. Aku sangat lapar!"
"Itu bukan urusanku!" seru Rachel dengan marah. "Cepat per…!"
"Nggak. Aku akan tetap disini dan…"
Byur!
"Aghh panas!" pekik Humai sambil beranjak berdiri.
Rachel benar-benar menyiram Humai dengan mangkuk berisi bakso itu. Tak ada rasa kasihan disana dan ditambah tawa semua mahasiswa terdengar begitu kencang yang membuat Rachel benar-benar puas.
"Sudah aku bilang tapi tak digubris. Jadi itu konsekuensi yang harus kau terima, Gadis Jerawat!"
~Bersambung
Selamat datang di novel baru sekuel HTS. Hai akhirnya aku kembali menyapa kalian lagi. Semoga kalian bisa banyakin stok sabar baca kisah ini.
Kisah yang mungkin menguras emosi dan jiwa. Hehehe.
Jangan lupa klik like, komen dan vote yah. Biar author semangat buat terus nulis kisah Humai Syakir. Dan bantu share dan promosiin karya ini yah.
Salam sayang, JBlack.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 287 Episodes
Comments
Rita Wati
iiii...semprul.....kenapa diam aja...
2023-07-17
0
Rahmah Hibah
yang sabar ya Humay
2023-07-03
0
Pia Palinrungi
koq bisa semena2 mahasiswa gitu yah
2023-03-31
0