Tidak Tahu Harus Senang Atau Sedih

"Dika, Kita tidak bisa sepenuhnya percaya kepada orang lain."

"Aku tidak ada alasan untuk tidak percaya dengan Elana. Aku tahu bagaimana dia. Kami sudah berteman sejak kecil."

"Keluarga sendiri saja bisa menipu, apalagi cuma orang luar!"

Dika menatap Aris penuh selidik. "Kenapa aku merasa kamu sengaja berbicara seperti ini untuk membela dia?"

Aris mengembuskan napas kasar. Sepertinya sangat sulit untuk menghadapi keras kepalanya Dika.

"Aku bukan membela Rani. Aku hanya tidak mau kamu salah mengambil keputusan."

“Jangan sebut namanya, Ris! Kamu tahu sekarang aku duduk di kursi roda dan tidak bisa melakukan apapun hanya karena dia!” 

“Jadi kamu menyesal sudah berkorban sebesar ini untuknya?” tanya Aris menantang. “Coba pikirkan kalau keadaannya terbalik. Misalnya saja, kamu tidak bisa menyelamatkan Rani dan akhirnya dia yang celaka. Apa kamu tidak akan menyesal?” 

Sebuah pertanyaan yang berhasil membuat Dika membisu. Aris lantas bergerak maju dan menepuk pundaknya. 

“Sudah, jangan dipikirkan lagi! Kamu bisa stres dan itu bisa mempengaruhi kesehatanmu.” Aris berusaha meredam amarah laki-laki itu. “Lebih baik sekarang fokus saja untuk menjalani fisioterapi. Aku yakin kamu bisa berjalan normal kembali seperti dulu.” 

Di luar sana, Rani merasakan getaran hebat yang tiba-tiba membekuk seluruh tubuhnya hingga terasa kaku. Otaknya berusaha membedah setiap kata yang diucapkan Dika dan Aris, dan membentuk sebuah kesimpulan di benaknya. 

“Dika adalah Daniel?” 

Entah Rani harus senang atau sedih, tidak tahu harus membenci atau menyambut dengan bahagia. Satu hal yang Rani tahu, pria yang ada di dalam sana sekarang terlihat penuh dengan amarah. 

Memang dia sudah berkorban apa untukku?

Rani menyandarkan punggungnya di balik pilar.  Kristal bening yang sedari tadi tertahan di bola matanya meleleh di pipi.

"Oh ya, ini sudah jam sembilan malam. Kamu tidak hubungi Rani? Dia belum pulang juga."

"Aku tidak peduli dengannya," jawaban datar itu membuat Aris menggelengkan kepala frustrasi.

"Bagaimana pun juga dia tetap istri kamu."

"Hanya settingan!" Ucapan Dika membuat Aris mendesah frustrasi.

"Kalau begitu biar aku saja yang hubungi."

Suara Aris yang masih terdengar dari tempat Rani berdiri sekarang membuat lamunannya membuyar. Ia mengintip dari balik tirai. Terlihat Dika sudah mulai tenang. Sementara Aris mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya.

Rani cepat-cepat mengusap air matanya. Bisa gawat jika sampai Aris atau Dika menemukannya di sana. Mungkin Dika akan memaki habis dirinya.

Tak ingin hal itu terjadi, Rani segera beranjak menuju pintu dengan sangat hati-hati agar tak sampai ketahuan.

...........

Rani duduk di sebuah kursi panjang yang menghadap langsung ke pantai. Memandangi deburan ombak yang saling berkejaran. Semilir angin meniup rambut panjangnya yang tergerai.

Tatapannya kosong, hanya ada cairan bening yang menggenangi bola matanya. Sesekali tangannya terangkat menyeka air mata.

Apakah hatinya akan cukup kuat setelah semua hal buruk yang dialaminya?

Gagal menikah, lalu ditinggalkan sang ibu untuk selamanya, video tak senonoh yang menyeretnya ke ambang kehancuran, dan kini ia harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa pria yang telah menikah dengannya tidak lain adalah pangeran impiannya, yang sayangnya kini berambisi untuk menghancurkannya.

“Tapi kenapa malah dia yang membenciku? Bukannya dia yang mengirimkan seseorang dan memberitahu agar membatalkan pernikahan begitu saja? Seharusnya aku kan yang marah.” 

...........

***Karya ini telah kontrak dengan NovelToon, dilarang membajak karya seperti mencetak ulang tanpa izin.***

***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***