Terpaksa Menikah (Menjadi Yang Kedua)
~Season_01~
Anniyah_PoV
*
Bruaakk..
Bruaakk..
" Niyah bangun! sudah jam berapa ini?!" suara gedoran pintu bersamaan dengan suara teriakan dari luar kamar seketika membangunkanku, aku pun langsung beringsut duduk di atas ranjang sempit yang sudah hampir satu tahun ini aku tempati untuk mengistirahatkan tubuhku yang lelah di setiap malam dan itu tadi adalah suara Budheku. Memang siapa lagi yang berani membangunkanku di pagi buta seperti ini, karena memang aku tinggal di rumahnya.
Padahal aku baru saja tertidur beberapa jam, kedua mata ini rasanya masih terasa lengket sekali dan mau tidak mau aku harus cepat bangun jika tidak ingin mendengar suara teriakan yang lebih kencang lagi dari yang sebelumnya dan mungkin saja itu bisa mengganggu para tetangga di samping rumah.
Dan pasti itu bisa membuatku malu, seharusnya Budheku-lah yang malu dengan para tetangganya, tetapi mana mungkin Budheku mempunyai rasa malu lagi? Mungkin saja urat malunya sudah putus semenjak di tinggal pergi oleh suaminya.
Astagfirullah.. Ada apa denganku??
Aku langsung turun dari atas ranjang segera berjalan menuju pintu kamar yang terlihat sempit ini, yang terlihat seperti gudang, tetapi memanglah dulunya gudang sebelum aku tinggal disini.
Ceklek!!
" Kamu itu tidur udah kaya kebo tau! Di panggil panggil dari tadi juga!!" Omel Budhe lagi sambil menggendong Johan putranya.
Aku hanya bisa diam tidak ingin menjawab perkataan dari Budhe Indhun yang sudah seperti Ibuku sendiri, beliau adalah Kakak kandung dari Ibuku, walau sifatnya jauh berbeda. Budhe Indhun orang yang keras sama seperti Ibuku namun sifatnya jauh lebih bar-bar menurutku.
" Malah melamun! Sudah sana bantuin di dapur terus nanti lanjut cuci baju ya, Budhe mau ke pasar beli bahan-bahan warung dulu." Ucapnya seraya akan melangkah pergi keluar rumah.
Di depan seberang jalan sana memang adalah pasar di daerah sini, maka dari itu sebelum subuh bahkan dini hari suasana sudah sangat ramai sekali disana. Para pedagang aneka ragam, seperti sayur-mayur, daging, ikan dan sebagainya sudah membuka lapak dagangannya juga para pembeli pasti sudah berkumpul disana, maklum pasar besar di kota ini.
" Kenapa masih diam saja?! Tidak mau bantu Budhe lagi? Mau Budhe bilang pada Ibumu jika putrinya ini bermalas-malasan disini!" Ucapnya yang mulai mengancam lagi.
Setiap aku belum bergerak untuk mengerjakan sesuatu yang Budheku perintahkan, ia selalu saja mengancam seperti itu padaku, bawa-bawa Ibuku segala, Aahh,, aku hanya bisa bersabar demi membantu Ibuku.
Ya tepatnya beberapa bulan yang lalu Budheku berkunjung ke kampung halamanku, lalu setelah melihatku yang sudah tumbuh besar Budhe meminta ijin pada Ibuku untuk mengajakku ke kota sekedar untuk membantunya nanti sebab saat itu beliau sedang hamil besar yang sebentar lagi akan segera melahirkan.
Budheku sudah bertahun-tahun membuka warung makan nasi di kota besar sini, alasannya yang lain juga karena suaminya jarang pulang sehingga aku di suruh membantu menjaga anaknya kelak jika ia sedang sibuk dengan warungnya. Aku yang memang berhati hello kittie ini menjadi tidak tega dan rela merantau ke ibukota untuk ikut serta bersamanya, dan juga demi membantu perekonomian keluargaku.
Bukankah benar, jika aku pergi maka Ibuku tidak harus memberiku jatah makan lagi, hanya tinggal Adik dan Kakak laki-lakiku saja yang harus mereka beri makan. Sedangkan aku pasti mendapat jatah makan dari Budhe secara beliau memang membuka warung makan, yang pasti aku tidak akan kelaparan, begitulah pikiranku dulu.
Namun harapan tinggallah harapan, bayangan aku akan mendapatkan jatah makanan yang enak justru mendapat sisa makanan dari Budheku jika makanan di piringnya tidak habis. Dan itu selalu terjadi, seperti di sengaja agar aku memakan makanan sisanya, sungguh miris sekali hidupku, tetapi aku anggap ini adalah ujian.
Mau protespun rasanya percuma, setiap ingin protes suaraku seakan tertahan di tenggorokan hingga aku pun mengurungkan niatku, dan inilah sifatku yang selalu mengalah, selalu di remehkan orang, juga banyak yang menindasku termasuk keluargaku sendiri.
Dengan langkah gontai aku pun melangkah menuju dapur untuk segera menanak nasi di dua megicom, lalu mengupas bawang putih, bawang merah, cabe dan juga bumbu lainnya yang akan di masak oleh Budhe nanti setelah pulang dari pasar. Setelah selesai aku segera berjalan ke arah kamar mandi untuk mencuci semua pakaian termasuk pakaian Budhe dan kedua anaknya.
Budhe Indhun mempunyai dua putra, putra sulungnya bernama Farhan usinya dua tahun lebih tua dariku, lalu putra bungsunya Johan yang masih balita berusia tujuh bulan yang selalu aku jaga.
" Niyah, ini ajak Johan, langsung mandiin." Titah Budheku yang baru saja pulang sambil membawa barang belanjaannya di tangan kanan dan kirinya, hari memang sudah pagi dan sudah hampir terang benderang di luar sana.
Dan seperti biasa aku langsung menggendong Johan lalu memandikannya terlebih dahulu, setelahnya aku mengajaknya bermain di area belakang rumah, sebab di depan pasti ramai orang pembeli untuk makan.
" An, punya uang nggak? Aku pinjam dulu ya?" Ujar Mas Farhan padaku yang tiba-tiba saja sudah duduk di kursi bambu, sedangkan aku duduk di bawah karpet bersama Johan adiknya.
" Uang?" Beoku, aku berpikir untuk apa dia meminjam." Emm, aku tidak punya Mas, coba minta sama Budhe." Saranku padanya, bukannya pelit atau apa sama saudara sendiri, tetapi memang aku tidak memiliki uang pegangan sepersenpun saat ini.
Biasanya Budhe akan memberiku uang satu bulan sekali itupun hanya lima puluh ribu, lalu aku langsung belikan kebutuhanku seperti pembalut, obat jika aku sedang tidak enak badan atau yang lainnya, dan pasti uang itu otomatis langsung sudah habis, tetapi aku selalu menyisakan entah sepuluh ribu atau lima ribu untuk aku tabung tanpa ada yang tau, dan itu semua semata-mata untuk berjaga-jaga saja jika nanti aku sudah pergi dari sini.
" Aahh, kamu ini pelit sekali jadi orang, kalau tidak mau di hutangi ya bilang saja dari tadi!" Bentaknya yang langsung beranjak bangun lalu pergi keluar tidak lupa menendang pintu jika ia sedang marah pada siapapun termasuk pada Ibunya sendiri.
Aku sudah tidak heran lagi jika sikapnya yang pemarah, Ibunya saja begitu pasti putranya pun juga sama, sama-sama mempunyai sifat pemarah, entah harus berapa lama lagi aku bisa bertahan di rumah ini, yang sudah seperti neraka saja bagiku.
" Huaa,, huaa,, hikss hikss,." Johan tiba-tiba menangis kencang di bawah kolong meja. Mungkin kepalanya kepantuk meja saat aku dan Mas Farhan sedang bicara tadi.
Aku langsung menggendongnya dan menenangkannya tetapi tangisannya justru bertambah kencang, membuatku bingung, aku pun berjalan ke depan untuk memanggil Budhe, siapa tau Johan juga sedang haus memang sedari tadi belum di minumin asi oleh Ibunya.
" Budhe, Budhe Johan nangis ini." Panggilku sambil menggendong Johan yang masih saja menangis, aku melihat Budhe yang sedang mengobrol dengan salah satu pembeli di depan sana.
Ternyata banyak sekali pembeli yang sedang makan di beberapa meja, lantaran hari memang sudah hampir siang, namun ada yang sudah makan siang, Budhe yang melihatku langsung berjalan menghampiriku.
" Kenapa dia?! Kenapa jidatnya merah gitu?" Tanyanya mengerutkan dahinya menyelidik, yang seketika membuatku ikut melihat jidat Johan yang memang berwarna merah, entah sejak kapan aku juga baru menyadarinya.
" I-itu tadi dia kepantuk meja Budhe." Jawabku sedikit takut beliau akan marah padaku, karena tidak becus menjaga putranya yang bandel dan nakal itu, memang benar bukan? Jika tidak bagaimana bisa itu bocah berakhir di kolong meja jika bukan bocah nakal yang tidak bisa diam!
.tbc
Ini cerita baruku yang lain, bukan sequel. Tidak ada hubungan dari cerita sebelumnya..
Minta dukungan dari semuanya ya, tekan like dan favoritenya,, dan juga hadiahnya jangan lupa..🌷🌷🌷
Terima kasih sudah mampir membaca, maaf kalau masih banyak typo dimana-mana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 201 Episodes
Comments
Eika
Seperti itulah rasanya menjadi orang yg tak mampu,
Ikut keluarga lain
2022-07-15
4