Keesokan harinya. Hawa sudah berjalan berdua bersama Adam. Hawa mau pergi ke kelasnya sementara Adam mau mengajar. Mereka memang dilahirkan di hari yang sama, namun jalan hidup mereka berbeda. Adam sudah berkeluarga dan memiliki tiga orang anak namun Hawa masih saja sendiri.
"Wa, nanti sore kau ada acara kemana?." tanya Adam.
"Gak ada acara apa-apa, cuma bantuin umi masak seperti biasa." jawab Hawa.
"Nanti temani kakak iparmu ke pasar ya."
"Bukannya kak Cahaya kemarin habis dari pasar ya. Waah rupanya kak Adam lagi banyak rejeki ya hingga kak Aya pergi belanja terus." ujar Hawa. Mereka masih jalan bersama.
"Bukan mau belanja, tapi kemarin beli baju kekecilan, jadi mau dituker lagi."
"Waah ko masalahnya sama kaya Tante Ira kemarin ya. Tante Ira kemarin beli baju di butiknya Tante Anisa kekecilan. Tapi sebenarnya bukan bajunya yang kekecilan, tapi badannya Tante Ira yang kegedean. Siapa tau kak Cahaya sekarang gemukan makanya bajunya gak muat." ucap Hawa. Adam yang mendengar malah tersenyum.
"Aku pun berpikir seperti itu Wa. Mau tau kenapa istriku itu badannya sekarang gemukan?"
Hawa menggeleng.
"Itu karena dia bahagia banget hidup bersamaku." ucap Adam sambil tersenyum-senyum.
"Iya iya, kak Cahaya hidup bahagia bersama kak Adam." ucap Hawa pasrah. Adam malah tertawa kecil, ia tau kalau adik perempuannya itu sedang bersedih karena belum mendapatkan jodoh di usia yang menurutnya sudah ideal untuk menikah.
"Apa kau sudah mulai membuka hatimu untuk laki-laki yang nanti akan menjadi jodohmu?" tanya Adam.
"Jangan ngomongin jodoh dulu, aku mendadak minder kak. Sejak usiaku menginjak 26 tahun, aku sudah membuka hati jika ada laki-laki yang mendekatiku, tapi tentunya harus yang bisa membuat hati, jiwa dan ragaku bergetar. Jangan hanya mendekati ku lalu pergi begitu saja." tutur Hawa.
"Nanti kak Adam kenalkan seseorang. Dia lelaki baik, pokoknya idaman banget deh. Kau pasti suka."
Hawa terdiam, selama ini kembarannya itu tidak pernah terlihat dengan lelaki yang dikatakan baik dan bertanggung jawab itu.
"Siapa dia kak, aku jadi penasaran."
Adam malah tersenyum.
"Mau mengenalnya?" tanya Adam. Hawa pun mengangguk hingga Adam senyumnya semakin lebar.
"Hmmm, boleh. Tapi emangnya dia siapa sampai kak Adam merekomendasikan dia untukku." tanya Hawa. Lagi-lagi Adam tersenyum apalagi melihat saudaranya terus penasaran.
"Yakin mau mengenalnya?"
Hawa mengangguk-angguk hingga Adam membisikan sesuatu ditelinga nya Hawa.
"Dia itu putranya ustadz Ibrahim. Si Akmal Malik Ibrahim." ujar Adam. Hawa langsung mengernyit bahkan bibirnya sudah cemberut.
"Aku tidak suka Berondong. Ingat ya tidak suka Berondong." ujar Hawa mengingatkan. Adam malah tersenyum.
"Kau tidak lupa kan Wa, Abi menikah dengan Umi yang usianya 5 tahun lebih tua darinya. Kak Adam sendiri menikah dengan wanita yang dua tahun lebih tua dari usiaku. Itu artinya Abi dan kakakmu ini adalah seorang berondong." tutur Adam sambil menahan tawanya. Hawa malah semakin cemberut.
"Karena sudah terwakili oleh kalian, jadi aku ingin berbeda, biarkan aku mendapatkan lelaki yang lebih dewasa yang baik dan bertanggung jawab."
"Kalau begitu carilah om om yang sudah beruban." goda Adam. Lagi-lagi Hawa cemberut.
"Ikh kak Adam malah mengejek sih." gerutu Hawa hingga Adam tertawa.
***
Sore pun tiba. Kini Hawa dan Cahaya berjalan bersama menuju gerbang utama. Mereka akan pergi ke pasar. Berniat untuk menukar baju Cahaya yang kekecilan. Tidak sengaja mereka bertemu dengan Anum.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
"Kalian mau kemana sudah rapih begitu?" tanya Anum.
"Mau ke pasar Num, kau mau ikut tidak?" ujar Hawa. Anum menggeleng, sebenarnya ia mau ikut, namun ia belum izin pada suaminya, sementara Athar sendiri belum pulang mengajar, akhirnya Anum mengeluarkan ilmu ajian pasrah untuk tidak ikut karena suaminya itu tidak memegang hape, jadi sulit untuk minta izin.
"Lain kali saja ikutnya. Kalian hati-hati ya di jalan nya."
"Ya sudah kita berangkat dulu ya, Assalamualaikum." pamit Hawa.
"Waalaikumussalam."
Hawa dan Cahaya pun melanjutkan perjalanan menuju jalan raya. Sesampainya di jalan raya, tepatnya di dekat toko bukunya Ibra. Saat hendak menyebrang, lagi-lagi Hawa melihat si bapak pengemis yang jalannya pincang itu. Sebenarnya Hawa kasihan dan ingin memberikan sedikit uang, namun ia urungkan karena beberapa hari yang lalu ia pernah memberikan uang jajannya tapi ditolak oleh pengemis itu.
Terlihat Cahaya pun merasa kasihan melihat bapak pengemis itu. Cahaya mengambil uang dari dalam tas kecilnya untuk diberikan kepada pengemis itu.
"Sebentar ya Wa."
"Mau kemana kak?" tanya Hawa.
Cahaya menunjuk pada pengemis itu.
"Percuma kak, pasti ditolak. Pengemis itu tidak mau menerima uang pemberian ku kemarin, ia hanya mau menerima pemberian dari Khaira saja." ujar Hawa. Cahaya terdiam dan merasa aneh.
"Masa sih??"
"Benar kak. Aku sendiri merasa aneh."
Tapi Cahaya merasa penasaran. Bukannya ia tak mempercayai Hawa, namun karena ia begitu kasihan melihat pengemis yang hanya duduk dipinggir jalan dengan baju sedikit terkoyak, Cahaya pun mendekatinya dan berjongkok mensejajarkan posisinya. Cahaya tersenyum lalu memberikan uang pada pengemis itu. Si bapak pengemis itu malah menatap Cahaya hingga Cahaya kembali tersenyum. Hawa terus memperhatikan.
"Ini untuk bapak, ambilah, insyaallah aku ikhlas." Cahaya kembali menyodorkan uang itu. Terlihat pengemis itu tersenyum lalu menerima uang pemberian dari Cahaya.
"Terimakasih Nak." ujar pengemis itu hingga Cahaya tersenyum. Hawa yang melihat pun langsung mengernyit heran. Ia merasa aneh karena pengemis itu mau menerima uang pemberian dari kakak iparnya, sementara pemberiannya ditolak, padahal ia sama-sama ikhlas memberi uang itu.
Cahaya kembali menghampiri Hawa.
"Dia mau ko menerima pemberian dari kak Aya." ujar Cahaya.
"Aneh ya, kenapa punyaku ditolak, padahal aku ikhlas memberinya."
Cahaya hanya tersenyum dan mengajak Hawa untuk menyebrang jalan.
"Ayo kita nyebrang. Jangan memikirkan terus si bapak pengemis itu, mungkin dia punya alasan sendiri untuk tidak menerima pemberian mu."
"Mungkin bapak pengemis itu tau kalau aku masih minta uang pada orang tua." ujar Hawa.
Akhirnya mereka pun menyebrang jalan. Dan kini berdiri didepan butik Anisa untuk menunggu angkot. Angkot terasa tak kunjung kunjung datang. Hawa sudah merasa pegal berdiri terus, mau naik taxi rasanya sedikit berlebihan, mau ke pasar saja masa harus naik taxi. Namun lebih tepatnya ingin berhemat karena naik angkot itu harganya murah.
Hawa terdiam, sepertinya ada yang aneh dengan perasaannya (hati), ia merasa ada yang memperhatikan nya di dalam butik Anisa.
"Perasaanku kenapa ya, ko kaya ada seseorang di dalam butik yang memperhatikan ku. Tapi kulihat Tante Anisa sedang ada di toko bukunya ustadz Ibrahim, lalu siapa yang memperhatikan ku di butik?. Apa dia Tante Elina atau Bu Erni?" batin Hawa.
Karena penasaran akhirnya Hawa membalikan badannya menatap butik yang nampak sepi itu. Terlihat dari pintu kaca hanya ada Elina yang sedang mencatat sesuatu di meja kasir. Tidak terlihat orang lain disana. Hawa kembali menatap jalanan namun hatinya masih yakin jika ada yang memperhatikan dia didalam butik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
bunda syifa
kayak nya si bapak" ini si syabil
2023-04-19
1
Neulis Saja
Akmal who look at you
2022-12-26
1
Siti Rohaemy
apa itu si Al lagi nyamar??!!😂😂😁😁🙏🙏
2022-07-01
1