Serena tidak tahu Dave akan membawanya kemana, yang Serena lihat hanyalah jalanan sepi seperti jalan menuju mansionnya—tapi tidak Serena kenali. Asing, dingin, dan sepi. Serena takut, tapi Dave seakan tidak peduli sama sekali dengan tangan di genggaman Dave yang bergetar.
Diam pun adalah pilihan terbaik Serena, sebab berbicara tidak juga di gubris oleh Dave. Seakan-akan, Serena berbicara dan bertanya pada patung yang berjalan.
Serena ingin marah, tapi bagaimana cara ia marah sedangkan sekarang ini Dave tampak lebih marah darinya. Melawan hanya akan membuat hubungan mereka tidak nyaman, dan Serena enggan orang tuanya tahu akan hal ini.
Makanya, mengalah dan menunggu amarah Dave reda adalah pilihannya.
Sampai tiba mobil berhenti di sebuah vila berukuran sangat besar di tengah ladang teh. Villa berchat putih itu terlihat sangat cantik alih-alih menyeramkan saat hujan turun seperti ini di tengah hutan.
“Uncle,” panggil Serena, namun Dave langsung keluar dari mobil dan membuka pintu tepat di sampingnya.
Dave masih diam, membuat Serena menurut dengan turun dari mobil, lalu tangannya kembali di genggam dan membawanya menghampiri vila.
“Eh, Tuan Dave!” pekik seorang perempuan yang terlihat beberapa tahun lebih tua dari Serena, mungkin berumur 23 atau 24. Dia sangat cantik dengan pakaian sederhananya.
“Tuan, saya panggilkan bapak sama ibu dulu,” dia berlari meninggalkan kegiatannya dalam memetik bunga di sekitar vila, meninggalkan Dave yang menarik Serena untuk masuk.
“Uncle, ini villa siapa?” tanyanya kembali mulai berani, berharap Dave menjawab pertanyaannya.
“Ya ampun, Nak, kamu kok basah seperti ini?” seorang wanita setengah baya datang dari arah belakang sambil membawa handuk. Di sampingnya ada seorang laki-laki yang juga terlihat berumur.
Dave tersenyum menyambut kehadiran mereka, membuat dada Serena terasa sesak begitu saja.
“Aku kehujanan saat turun dari mobil tadi,” jawabnya sangat lembut, melebihi saat Dave mengobrol bersama kedua orang tuanya sendiri.
“Kamu ini.” Wanita itu menghampiri Dave dan mengusap rambutnya dengan handuk.
“Tuan Dave, ini teh hangatnya.” Perempuan yang tadi datang dengan mapan berisi beberapa gelas dan teko berukuran sedang. Dia menaruhnya di atas meja, kemudian duduk di sofa sebelah ayahnya.
“Kenapa tiba-tiba kesini? Hujan-hujan lagi,” tanya pria tua itu pada Dave.
“Hanya ingin kesini, aku juga butuh suasana tenang.”
“Tuan, saya memetik bunga di depan. Mau saya taruh di kamar tuan?” tawar perempuan itu antusias.
“Tidak perlu, Fey. Saya hanya sebentar di sini,” balas Dave.
“Oh begitu. Lain kali aja ya, tuan!”
Dave mengangguk, dia juga tersenyum.
Serena menundukkan kepalanya, mendengarkan semua obrolan mereka yang kian berlanjut. Dave sama sekali tidak mengenalkannya pada mereka, jangankan itu, menganggap kehadirannya saja seakan tidak.
“Tuan, kalau hujan reda, mau ikut saya metik pucuk teh?” ajak perempuan itu.
“Bol—“
“SERENA MAU PULANG!!” teriak Serena kasar dengan tubuh berdiri, tangan yang sedari tadi di genggam Dave, ia empaskan dengan kuat hingga terlepas.
Mata Serena memerah, bibirnya di gigit paksa menahan gejolak yang ia pun tidak tahu maknanya. Yang jelas, Serena merasa sangat marah sekarang.
“Serena mau pulang, Uncle,” getirnya menahan tangis.
“Eh ya ampun. Saya gak merhatiin kamu, Nak, saking fokusnya sama Tuan Dave. Kamu kenapa, Nak, ada apa?” wanita itu bertanya hangat, namun tidak sama sekali membuat Serena merasa baik.
“Duduk, Serena,” tekan Dave tidak ada lembut-lembutnya, malah terdengar seperti nada perintah di telinga Serena.
“Gak mau! Aku mau pulang!” dengan perasaan campur aduk, Serena memilih pergi keluar dari vila—tidak mendengarkan teriakan orang-orang di dalam.
Sungguh, hati Serena terasa sakit di perlakukan seperti itu. Ia terasa tidak di anggap, dan sifat Dave padanya benar-benar membuat dada Serena sesak.
“Uncle jahat! Serena gak mau temenin Uncle lagi!” makinya sembari langkah terus berjalan menembus hujan yang rintiknya sudah mulai mereda.
“Wow wow wow! Siapa yang gue temuin sekarang!”
Pekikan itu terasa sangat familier di telinga Serena, sehingga membuatnya menoleh ke sisi kanan dan mendapati Erlan duduk di bawah gazebo dengan rokok di selipan tangannya.
Erlan full senyum, ia melompat sembari membuang putung rokoknya. “Hei pretty girl! Kita jodoh kayaknya bisa ketemu di vila ini,” sapanya senang.
Serena sedang berada dalam mood buruk, maka ia tidak merespons dengan baik ucapan Erlan. “Minggir, aku mau pulang!”
“Eits!” Erlan menahannya. “Lo mau pulang kemana? Emang lo tau ini dimana? Mikir sebelum bertindak, cantik!” Erlan mengacak-acak rambut Serena gemas.
“Tau! Aku bisa jalan kaki lewat jalan sana!” tunjuk Serena ke arah jalan besar.
Erlan tergalak di tempat, kemudian mulutnya berdecap-decap. “Kalau lo mau ketemu danau, silakan aja,” ucap Erlan kelem.
Serena mengentakkan kakinya kesal, lalu memilih duduk di gazebo. “Aku mau pulang, Kak. Anterin,” pintanya memelas.
Erlan duduk di samping Serena, menatap wajah merah gadis ini sedikit bingung. “Lo sama Dave ke sini, ya? Terus di mana tuh orang? Pasti lagi asyik main sama Feyra!” Erlan ikut kesal juga.
Alis Serena mengerut, tapi langsung teringat dengan panggilan Dave pada perempuan tadi. ‘Fey’ begitu Dave memanggil namanya.
“Kamu kenal?” tanya Serena.
“Iyalah kenal! Dia suka main sama gue juga dulu waktu kecil. Anaknya penjaga villa tuh dia,” papar Erlan santai.
Serena terdiam, berani Dave sangat mengenal perempuan itu. Mereka pasti sudah sangat mengenal lama.
“Mereka tinggal di villa itu?” tanya Serena sambil menatap villa yang berjarak puluhan meter dari tempatnya berada saat ini.
“Enggak. Mereka tinggal di belakang, tapi di bolehin sama Dave tinggal di situ. Wong itu villa dia sekarang, kakek ngasih villa itu buat hadiah ulang tahun dia ke 20. Anjir kan emang?! Gue aja dulu waktu ultah ke 17, gak di kasih apa-apa. Yang ada di kasih sumpah serapah gue!”
Serena tertawa, moodnya sedikit membaik. “Emang kenapa bisa di marahin?”
Erlan menghela nafas, matanya berotasi. “Biasalah. Ketahuan balapan liar sama tawuran,” jawabnya membuat tawa Serena semakin merekah.
Diam-diam, Erlan mengulas senyum juga menatap Serena yang tertawa. Cantik sekali, selayaknya bidadari yang ia temui di saat pelangi hadir.
“Serena, ayo pulang.”
Suara itu langsung menghentikan tawa Serena dan Erlan. Keduanya menatap ke belakang, di mana sekarang Dave berdiri tatapan yang masih terlihat dingin.
“Gak mau!” tolak Serena masih marah.
“Ingin pulang ke rumah, atau menginap di sini? Tapi besok, kamu gak akan sekolah.”
“Ih, apasih!” bentak Serena dengan tatapan mata tidak terima. “Uncle kenapa, sih?! Hari ini nyebelin banget! Serena bingung sama Uncle! Serena marah!” moodnya kembali hancur.
“Ayo pulang.” Tidak ingin berdebat, Dave memilih menarik tangan Serena—tapi gadis itu langsung menghempaskan cekalan Dave dan memilih berlindung di punggung Erlan.
“Aku gak mau! Uncle aja sana!”
Helaan nafas Dave terdengar rendah, tanda bahwa itu bahaya. Dan Erlan menyadari itu, namun ia tetap akan menahan.
“Lo kenapa sih, Kak? Tadi aja waktu Serena pergi, lo gak nyariin cepat. Kalau gak ada gue, mungkin dia bakal lewat sana, ke danau!” hardik Erlan ikut kesal.
“Bukan urusanmu!” Dave mendorong pundak Erlan ke samping, menyuruhnya menyingkir dari gadisnya. “Serena, come here,” suruhnya dengan nada pelan.
Serena memasang wajah memelas. “Uncle, Serena gak mau ...” nyaris menangis, tapi Serena menahannya.
“Pulang atau menginap di sini?” lagi-lagi Dave memberi pilihan.
“Uncle ...” Serena menatapnya lesu, namun alhasil Serena menyerah. Ia memilih menerima uluran tangan Dave, lalu berjalan keluar mendekati Dave.
“Good girl.”
Erlan berdecak kesal, tapi juga tidak bisa ikut campur sebab Serenalah yang memutuskan menyerah dari ancaman Dave.
“Serena, nanti kita ketemu lagi, ya! Hati-hati sama nih orang, dia bahaya.” Sebuah usapan gemas namun lembut Erlan berikan pada pucuk kepala Serena, sebelum cowok berkalung itu berlari menghampiri motornya.
“Iya Kak Erlan! Makasi ya!” Serena melambai.
“Ayo pulang.” Dave menarik Serena untuk kembali naik ke villa.
Lagi-lagi Serena harus menatap wajah perempuan bernama Feyra itu. Serena tidak menyukainya.
“Aku pulang dulu. Terima kasih buat tehnya tadi.” Dave tersenyum ke arah Feyra juga dua orang tua di sana.
“Nak, kamu gak kenapa-napa, kan?” tanya wanita itu cemas.
Serena mendongak, memaksakan sebuah senyuman. “Iya,” jawabnya pelan.
“Syukur kalau gitu, Nak.”
“Kalau gitu kami pamit.”
Serena tidak mengangkat kepalanya lagi setelah Dave menariknya pergi dari hadapan mereka bertiga. Sungguh rasanya tidak nyaman, Serena tidak menyukai tatapan perempuan itu.
“Uncle, Serena mau pulang ke rumah,” ucap Serena tiba-tiba.
“Iya, kita memang akan pulang ke rumah.”
Serena menggeleng. Tangan yang berada di genggaman Dave kini ia lepaskan. “Bukan rumah, Uncle. Tapi rumah Serena.”
...💗💗💗...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Mak.lind
haduduhh .. main apa ma Freya nih si uncle Dave
2022-07-01
1
Anonymous
makin seru ajah thor fighting ya nulisnya
2022-06-30
1
Anonymous
like it😊😍😘
2022-06-30
2