Hanya sebuah luka kecil di diri Serena bisa membuat seorang Dave Charles kehilangan akal sehatnya. Seorang pria yang di kenal ramah dan baik, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang mengerikan hanya karena satu hal menimpa gadisnya.
Suasana rumah terasa sangat menakutkan, para asisten rumah tangga juga pekerja lainnya mulai merasa waswas. Perasaan kalut dan takut menggerogoti mereka, takut kalau bos mereka itu tiba-tiba memecat mereka semua.
Dave Charles adalah sebaik-baiknya orang yang pernah di kenal para pekerja, selalu memberi bonus dan tidak pelit. Hal ini membuat mereka-mereka yang bekerja dengan Dave merasa nyaman, enggan pekerjaan mereka hilang.
Tapi hari ini, sehari setelah pria itu bertambah umur, sifatnya berubah begitu jauh. Di tambah juga dengan sebuah kecelakaan yang menimpa Serena.
Itu memang mengejutkan, siapa saja pasti akan marah jika seseorang yang mereka lindungi tiba-tiba mengalami hal buruk. Tapi sungguh, kata di pecat benar-benar di luar pikiran mereka-mereka yang bekerja.
Serena yang melihat kesenyapan di rumah ini merasakan rasa sedih dan bersalah. Kala kakinya mulai melangkah keluar dari kamar, menuruni anak tangga, lalu berhenti di ruang tamu. Semua terasa kosong dan benar-benar senyap.
Sebenarnya Serena diam-diam keluar kamar saat Dave tertidur. Hari semakin siang, Serena merasa suntuk berada di kamar. Niat ingin menghilangkan rasa bosan, Serena malah mendapati rasa bersalah saat turun ke lantai bawah.
“Huff ... mereka semua pasti ketakutan,” gumam Serena dengan helaan nafas kasar.
“Aku mau minta maaf, tapi takut Uncle marah lagi.” Masih bergumam, Serena berjalan duduk di sofa lalu menyalakan televisi.
Serena menatap luka yang sudah di perban di kedua lututnya, sekarang sudah tidak terasa nyeri lagi karena sudah beberapa jam berlalu. Semenjak tinggal bersama Dave, kecerobohan Serena mulai sedikit berkurang, sifat lebay dan manjanya pun mulai berubah menjadi dewasa. Jika bersama kedua orang tuanya, mungkin Serena-lah yang merengek minta di bawa ke rumah sakit.
Sebuah siaran menayangkan berita mengenai kecelakaan yang menimpa seluruh keluarga, mereka semua meninggal. Merasa sedih, Serena turut berduka melihat itu. Terbesit dalam benaknya bila ia menjadi keluarga mereka yang kecelakaan itu, mungkin hatinya akan sangat hancur.
“Serena, what are you doing here?” suara berat dari seseorang di belakang Serena membuatnya menoleh. Presensi Dave Charles di belakang tubuhnya membuat Serena tersenyum.
“Bosan di dalam kamar, mau hirup udara di ruangan lain,” jelas Serena.
Dave sedikit tertawa mendengar jawaban itu. “Memangnya udara di kamar dengan di sini berbeda?”
“Iya. Di kamar dingin, di sini agak hangat. Serena jadi pengen berenang.” Ia menyengir kuda.
“Jika ingin lukamu terasa perih, tidak apa juga,” sindir Dave.
Serena tertawa, ia mengusap perbannya pelan. “Gak terlalu sakit lagi. Cuman luka kecil aja, kok. Paling besok sembuh.”
Dave menghela nafas, gadis itu lagi-lagi bersikap seakan semuanya baik-baik saja. Agar Dave tidak marah lagi dengan para pekerja. Namun, hal itu malah membuat Dave kian merasa marah pada dirinya karena lengah dalam menjaga gadisnya.
“Mau jalan-jalan? Saya gendong,” ajak Dave.
“Enggak. Nanti Uncle capek. Duduk sini aja sambil nonton berita.”
Dave menurut, ia enggan juga membuat gadisnya kenapa-napa jika jalan di luar rumah. Selalu ada hal mengerikan dalam kehidupan Dave, itu akan selalu ada.
“Nanti tanggal 24, mau lihat planet bareng saya?” ajak Dave dengan pandangan mata dalam, menyorot penuh misterius pada wajah gadisnya.
“Emangnya tanggal 24 ada apa?” tanya Serena benar-benar tidak tahu.
“Fenomena planet sejajar, pasti indah jika di lihat bersama-sama.”
“Seriussss?!!” pekik Serena heboh. “Beneran Uncle??”
Dave mengangguk. “Mau?”
“MAUUU!” Serena melompat-lompat senang, melupakan kakinya yang sakit. Itu membuat Dave meringis dan juga menyesal telah memberi kabar baik pada gadisnya yang tengah sakit.
“Kayaknya gak jadi deh.”
“IHH??!! KENAPAAA?!!”
...💗💗💗...
Matahari mulai terbenam di ufuk barat, cahayanya yang menyinari bumi seharian kini mulai menghilang. Serena yang berada di balkon kamarnya menatap terbenamnya matahari yang terlindung pohon-pohon besar. Namun hal itu tidak membuat Serena beranjak, ia malah menikmati cahaya matahari alih-alih bola raksasa yang tenggelam itu.
Sebenarnya, Serena lebih antusias menunggu planet sejajar daripada sunset. Sangat jarang Serena menatap matahari terbenam, hanya hari ini saja ia menatap sebab tak sabar menunggu planet-planet sejajar di atas langit. Sudah tanggal 23, yang artinya malam inilah planet itu akan terlihat.
“Jam berapa sih keliatannya?” tanyanya sembari mendongak ke langit yang mulai gelap.
“Uncle gak ngasih tau jamnya sih,” rutuk Serena dengan bibir manyun. Sebenarnya Dave mengatakan bahwa fenomena itu akan terlihat tanggal 24, tapi Serena tidak salah melihat di tanggal 23 saat malam, bukan?
Burung-burung di langit terbang untuk pulang, suara-suara hewan mulai terdengar membuat bulu kuduk Serena merinding. Ia belum terbiasa dengan suasana di tengah hutan seperti ini. Walau rumah Dave sangat mewah, tapi tetap saja Serena takut.
“Kapan, sih?” tanyanya sedikit jengkel kala tidak menemukan planet-planet itu di langit.
“Uncle bohong, nih!” tuding Serena yakin.
Lantas, saat merasa bahwa dirinya di bohongi, Serena keluar dari kamar lalu menuju ke kamar Dave yang berada di sampingnya. Tanpa mengetok terlebih dahulu Serena membuka pintu kamar bernuansa hitam itu.
“AAAA YA AMPUN MATA SERENA TERNODAI!!” secara refleks Serena memutar tubuh dengan kedua tangan menutup mata.
Kehadiran Dave yang baru saja keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit bagian bawahnya, membuat Serena merasa ternodai. Hell! Tubuh berotot Dave yang basah membuat jantung Serena berdebar, takut melihat tubuh itu secara jelas.
“Huee Uncle maaf! Serena gatau kalau Uncle habis mandi. Serena keluar deh ya ...” belum sempat Serena melangkah keluar, Dave sudah menahan tangannya agar tidak beranjak.
“Mau kemana? Di sini saja dulu.”
Serena menggeleng kuat. “Aku merasa ternoda banget, Uncle, huhuhu! Tapi jujur aja ya, aku suka cowok ada absnya!”
Dave tertawa mendengar itu. “Kalau gitu, mau pegang?” masih dengan posisi yang sama—Serena membelakanginya—Dave merasakan tubuh gadis ini menegang.
“ENGGAKKK!! AAAA SERENA MALU BANGET!” Serena menarik tangannya lalu berlari sekuat tenaga keluar dari kamar Dave, meninggalkan presensi laki-laki yang tertawa gemas itu.
“Ahh, he's so cute!” dengan tatapan yang tidak sama sekali teralih dari pintu yang menelan gadisnya di sana.
...💗💗💗...
“Serena, wake up ...” bisik Dave halus di telinga Serena, tangannya mengusap-usap pipi dingin gadis ini lembut.
“Sudah waktunya melihat planet,” masih berbisik halus di telinga Serena, Dave dengan sabar membangunkannya.
“Hnggg.” Serena bergerak tak nyaman, namun tetap melanjutkan tidurnya.
“Ingin melihat planet kan? Sekarang sudah waktunya.” Dave kian mendekatkan wajahnya, menerpa kulit halus Serena dengan nafasnya yang hangat. Harum vanila tercium di hidung Dave, baunya sangat enak.
“Hei, girl ...” entah keberanian dari mana Dave menempelkan bibirnya di pipi Serena—di saat posisi ia tengah membangunkan gadisnya.
“Jika menunggu tidurmu puas, maka gak akan sempat, sayang.” Dave menjauhkan wajahnya, masih memiliki sisa kesadaran untuk menahan diri agar tidak melakukan hal yang lebih intim.
“Hhhgggg!” Serena menggeliat kuat, kedua tangannya terentang ke atas. Pelan-pelan, mata dengan bulu mata lentik itu berkedip, mengumpulkan kesadaran yang semula hilang.
“Uncle ...?” gumamnya tak yakin.
“Yes, baby girl. It’s me,” jawab Dave dengan senyum hangat.
“Kenapa bangunin aku? Jam berapa sekarang?” Serena bangkit, mengucek -ucek matanya lalu menguap.
“Pukul setengah lima pagi di tanggal 24 Juni. Waktu yang pas untuk melihat planet.”
Sontak saja mata Serena membalak. “Serius sekarang?! Kok gak bilang sih, Uncle?! Ayo, kita pergi buruan!” nyawa Serena langsung terkumpul mendengar ucapan Dave, ia langsung beranjak dari atas ranjang.
“Pelan-pelan,” Dave memasangkan sendal ke kaki Serena saat gadis itu sulit memasukkan kakinya sendiri.
“Lihat dulu yang bener, jangan langsung bangkit gitu,” omel Dave melihat keteledoran gadisnya ini.
“Gak sempet, Uncle. Nanti keburu ilang,” kata Serena sambil berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Dave yang ikut bangkit lalu mengekor.
“Eh mau kemana?” tahan Dave saat Serena hendak menuruni anak tangga.
“Lihat planet, kan? Di luar, kan?” balas Serena dengan tampang polos.
Dave tertawa gemas, ia menggeleng. “Di lantai tiga, ada ruangan yang bisa buat kamu lihat bintang atau apa pun di langit dengan mudah.”
“Wah! Kenapa gak bilang dari tadi!” Serena berdecak kemudian berjalan ke arah lift.
Dave menahan kegemasannya, memilih mengekor gadis manja ini.
“Aku lupa gegara liat Uncle handukan tadi. Untung aja Uncle ingat!” tutur Serena super heboh.
“Yang lebih utama, untung kamu bangun.” Dave menarik pipi Serena gemas.
“Yoo Serena kan nggak tau,” balasnya medok.
Dentingan lift menghentikan percakapan mereka. Serena yang tidak tahu di mana lokasi yang Dave bilang tadi, memilih mengekor langkah Dave.
Sebuah ruangan dengan pintu kaca—namun tidak tembus hingga ke dalam—menyapa mata Serena saat langkah mereka terhenti. Pintu yang menggunakan kode khusus itu Dave buka dengan cepat, lalu pintu terbuka.
“Woah!” decakan kagum langsung keluar dari mulut Serena saat melihat ruangan ini.
Ruangan besar dengan atap melingkar terang, teleskop beragam bentuk berjejer di depan dinding yang penuh kaca bening. Ruangannya terang walau di atapnya tidak di beri lampu, interior dan aksesoris di dalam sini juga sangat membuat Serena terkagum-kagum.
“Let’s go!” ajak Dave ke arah teleskop. Sebuah remote yang Dave pegang di pencet, membuat suara bunyi halus di atap.
Serena mendongak, matanya melotot melihat atap bening itu terbuka. Ah, Serena jadi udik saat berada di rumah Dave.
“Keren banget!” pujinya benar-benar speechless.
“Jika kamu mau ke sini, datanglah kapan pun kamu mau,” ucap Dave dengan lembut.
“Beneran?” tanya Serena tak percaya. Ia pikir akses ruangan ini hanya di miliki oleh Dave seorang, tapi ternyata dirinya pun boleh mengetahui sandinya.
“Tentu. Sekarang, ayo lihat planetnya.” Dave menggenggam tangan Serena dan membawanya ke teleskop.
Pertama, Dave mencari menyetel jarak teleskopnya juga mencari letak di mana planet itu. Saat menemukannya, Dave menarik diri lalu memberikannya pada Serena.
“Coba lihat, cantik sekali.”
Serena dengan antusias mendekati teleskop, menatap di dalam sana agar melihat planet dengan jelas. Matanya berkaca-kaca, merinding melihat betapa indahnya planet yang ia lihat sekarang.
“Saturnus cantik banget, Uncle! Cincinnya besar!” beritahu Serena dengan suara yang benar-benar terdengar senang.
“Iya, sangat cantik.” Dave menatap Serena dalam, memandangi wajah cantik itu dari samping. Menikmati tiap pahatan sempurna yang Tuhan berikan pada gadis kecil ini. Kalau ada yang lebih cantik dari Saturnus, maka jawabannya adalah Serena.
“Yang mana yang sangat cantik, Uncle? Saturnus, Jupiter, Mars, Venus, atau Merkurius?” tanya Serena sambil menoleh menatap Dave.
“Kamu. Kamu satu-satunya yang paling cantik, Serena,” balas Dave dengan tatapan dalam dan hangat, tenggelam dalam netra coklat gadisnya.
...💗💗💗...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments