Suasana taman hotel benar-benar sepi. Hanya ada Dave dan Serena di sini, duduk bersisian di depan sebuah pancuran air. Lampu taman yang banyak membuat suasana taman kian terasa nyaman.
Sesaat embusan angin menerpa dua anak manusia ini, Dave langsung melepas jasnya lalu menaruhnya di pundak Serena.
“Dingin?” tanyanya.
Serena menggeleng pelan, namun tidak juga melepas jas milik Dave di tubuhnya. “Gak terlalu dingin. Tapi jasnya nyaman hehehe.”
Dave ikut tersenyum, mengacak-acak rambut gadis ini gemas. Hamparan bintang di langit membuat hati Dave terasa damai, yang semula termat resah saat mendapati gadisnya datang menggunakan gaun yang pendek.
Bukan apa-apa. Hanya saja bagi Dave itu sangat mengganggu. Tatapan banyak pria membuat Dave cemburu, ia ingin hanya dirinya yang melihat satu-satunya, ia enggan berbagi. Namun, Dave pikir lagi, Serena bukanlah miliknya—ia hanya mengklaim Serena adalah gadisnya.
“Eh ini hadiahnya.” Serena mengambil paper bag di bawah kakinya lalu memberikannya kepada Dave dengan senyum penuh arti. Ia menepuk paper bag itu beberapa kali.
“Uncle pasti kaget sama isinya,” kekehnya misterius.
Dave tersenyum tipis, menampik semua pikiran buruknya. Lantas segera mengambil hadiah dari tangan Serena itu, melihat penampilan dan ukuran yang besarnya seperti kotak sepatu, namun berbentuk dadu.
“Saya bukak, ya?” izin Dave dibalas anggukan semangat oleh Serena.
Dave merobek kertas kado itu cepat, tak sabar menemui hadiah yang gadisnya berikan padanya. Namun, dahinya langsung mengernyit saat mendapati kado itu masih terbungkus dengan kertas lainnya. Dave menatap Serena yang cengengesan, paham dengan itu, Dave hanya tersenyum geli.
“Semangat Uncle!” kata Serena sambil tertawa.
Gemas sekali. Dave menatap netra Serena sesaat, lalu kembali melanjutkan aksi membuka kado yang tak kunjung menemukan isinya. Ukuran yang awalnya besar, kini berubah menjadi ukuran seperti kotak cincin.
“Serena, are you serious?” Dave menatap Serena tak percaya juga speechless dengan kado pemberiannya.
“Dua rius, Uncle.” Serena memberikan dua jarinya dengan senyum lebar hingga giginya terlihat.
Sungguh, jantung Dave berdetak kencang saat melihat senyum menawan itu. Selalu cantik dan membuat siapa saja betah melihatnya—bahkan enggan mengalihkan pandang.
“Berapa banyak kertas yang kamu habiskan untuk kado berukuran seperti ini, Serena?” Dave bertanya dengan tatapannya yang dalam.
Serena tampak menghitung, namun dia langsung menggidik bahu. “Gatau. Angel yang bantu bungkus, dia juga yang beli kertasnya. Aku cuman bantuin,” jelasnya jujur.
“Jadi, kado ini dari Angel, bukan dari kamu?” Dave mengangkat alis, memasang wajah kecewa.
“Ih! Enggak! Itu aku yang kasih, Uncle! Aku yang beli kadonya tau!” Serena mencebik.
Dave tertawa geli, dia mengangguk-anggukan kepala mengerti. “Yes, from you,” bisiknya halus.
Melanjutkan aksi membuka kado yang sempat terhenti, Dave dengan sabar menunggu hadiah yang sesungguhnya muncul. Tumpukan kertas kado berserakan di bawah, tentu saja Dave harus membersihkannya nanti. Gadis ini benar-benar luar biasa.
“Dikit lagi tuh, Uncle,” beritahu Serena—seakan sangat hafal dengan bungkusnya.
“Berapa kertas lagi?”
“Pokoknya hampir deh itu.”
Dave menghela nafas dengan sabar, ia melanjutkan kembali. Saat bungkus kado itu menipis nyaris habis, Dave menemukan sebuah kotak kecil di dalamnya. Pikiran Dave langsung bekerja, menebak-nebak apa isinya.
“Yeyy udah ketemu kado aslinya. Buka-buka!” Serena bertepuk tangan tak sabar.
Dave memilih membuka kado itu dari pada harus berperang dalam pikirannya mengenai isinya. Kertas di balik kotak itu ia robek, lalu membukanya cepat. Terdiam sesaat melihat isinya, Dave menatap Serena dengan alis terangkat.
“Gelang?”
Serena mengangguk. Gadis itu mengambil alih satu gelang di dalam kotak itu, lalu memasukkannya ke dalam pergelangan tangan Dave. Serena tersenyum lebar.
“Lucu banget!” pekiknya gemas.
Dave mengangkat tangannya dan melihat gelang berwarna hitam melingkar di sana. Sebuah benda yang tidak pernah terlintas dalam pikiran Dave sebelumnya. Tentu Dave memikirkan cincin saat melihat kotak kecil itu.
Merasa sedikit tertipu sebenarnya. Tapi saat melihat gadisnya tersenyum bahagia melihat ia menggunakan gelang ini, Dave ikut senang. Mungkin gelang juga bagian dari kepemilikan—yah, Dave berharap begitu.
“Hanya satu?” Dave membongkar kotaknya namun nihil, benda yang sama dengannya tidak ada di sana.
Serena menatap Dave bingung. “Emangnya mau berapa? Ini kan ultah Uncle, masa aku harus punya juga?” tanyanya polos.
“Not couple?”
“Hahaha, enggaklah Uncle!” tawa Serena meledak. “Kan yang ultah Uncle, bukan aku juga. Jadi yang harus dapat hadiah ya Uncle-lah.”
AH, begitu ya? Dave kecewa, ia berharap Serena memberinya sebuah hal yang istimewa dan bersifat sama dengannya. Namun sekali lagi, Dave harus senang.
“Lain kali, mau couple sama saya?” tanya Dave penuh keseriusan.
...💗💗💗...
Minggu yang menyenangkan untuk Serena. Lepas berpesta hingga tengah malam, kini ia bangun siang. Entah pukul berapa sekarang, yang jelas cahaya matahari sudah sangat terang dan terasa panas.
Saat Serena bangun, pandangannya langsung jatuh pada mapan berisi susu dan makanan. Serena mengernyit heran, siapa yang menaruh makanan di sini?
Serena saja ia bangkit sembari membawa mapan itu bersamanya. Melihat kamar Dave tertutup, Serena memilih pergi ke lantai bawah saja. Ternyata di ruang tengah kosong, tidak ada siapa-siapa di sana.
“Uncle! Hello!” ia berlari hendak ke dapur bersama mapannya, namun tiba-tiba saja sendal yang ia gunakan terasa licin.
“HUAAAAA!!”
PRANGGGG!!
Suara teriakan lalu di akhiri sebuah pecahan kaca yang terdengar nyaring mengundang suara ribut dari beberapa arah. Serena yang jatuh terpeleset dengan posisi tengkurap itu melotot melihat mapan yang ia bawa tadi sudah hancur berantakan di depan matanya.
“Astagaaa pecah!” buru-buru Serena bangkit, tidak peduli rasa sakit di tubuhnya akibat terjatuh secara tiba-tiba dan juga keras.
“Non, ya ampun! Saya minta maaf!” seorang asisten berlari menghampiri Serena yang hendak menggapai pecahan itu. “Non gak papa? Biar saya aja, Non.”
“Enggak. Salahnya Serena, Bibi.” Ia hampir menangis melihat kekacauan yang ia buat, pecahan kaca berserakan dimana-mana.
“WHAT THE HELL!” teriakan kencang itu mengejutkan mereka semua yang berada di sekitar kejadian.
“Serena apa yang kamu lakukan?!” nyaris membentak dengan suara teramat keras, Dave menarik tangan Serena saat gadis itu hendak memungut pecahan kaca dengan tangan kosong.
“Apa yang kamu pikirkan?!” sungguh, Dave marah besar sekarang. Tatapannya menghunus tajam orang-orang di sana.
“Uncle, maaf ... Serena pecahin itu tadi, Serena minta maaf, sungguh.” Air mata Serena mulai jatuh, isakannya sekuat tenaga ditahan.
“Bukan itu!” Dave menarik nafas panjang, menghilang semua kemarahannya.
“Serena gak sengaja, beneran! Tadi Serena lari bawa mapannya, tapi kaki Serena kepeleset. Serena benar-benar minta maaf, Uncle. Serena salah.”
“Astaga, Serena. Bukan itu yang buat saya marah!” Dave berujar tegas. Lalu tanpa aba-aba, ia mengendong Serena, menghiraukan pekikan kagetnya.
“Bersihkan kekacauan ini! Yang buat lantai ini licin, temui saya nanti!” tegas Dave dengan amarah yang ditujukan pada mereka.
“Uncle enggak! Ini salah aku, bukan mereka,” rengek Serena panik.
Dave tidak mengindahkan perkataan Serena. Segera ia membawa Serena ke sofa, menundukkannya di sana dengan kaki yang Dave paksa naik ke atas meja.
“Uncle ...”
Dave menggertakkan giginya saat melihat luka lecet di kedua lutut gadisnya, juga bercak darah kecil yang mengundang amarahnya
“BRENGSEK!” umpat Dave keras. Dia lantas bangkit dan berjalan kembali ke arah dapur dengan tatapan tajam serta tangan terkepal.
“Uncle, no ...” Serena menahan Dave dengan memeluknya dari belakang, isakannya terdengar nyaring memenuhi ruangan yang senyap.
“Uncle, udah ... Serena takut, Serena takut, sungguh ...” kedua tangan Serena memeluk erat tubuh besar Dave, menahan sekuat tenaga amarah Dave—walau kini tubuhnya bergetar hebat.
“Serena takut, Uncle. Serena minta maaf, Serena salah, Uncle ... maafin Serena ...” nyaris saja Serena kehabisan nafas karena tangisnya yang terus di tahan. Dadanya terasa sesak.
Sungguh, demi apa pun Serena benar-benar ketakutan. Ini pertama kali Dave marah, dan ini sungguh mengerikan.
Dave merasakan punggungnya basah, juga sebuah getaran yang hebat. Dave marah, sangat marah saat melihat gadisnya terluka akibat pekerjaan tidak becus pembantunya. Apalagi melihat mereka semua tidak cepat datang sehingga ia harus melihat gadisnya hendak memungut pecahan kaca itu.
Luka di kedua lutut Serena saja sudah membuatnya semarah ini, apalagi jika melihat tetesan darah akibat pecahan kaca. Sungguh, Dave bersumpah memberikan hal yang jauh lebih menyakitkan pada mereka.
“Jangan marah ke mereka, Uncle ... marah ke Serena aja, hiks! Serena yang salah udah lari-lari, Serena yang jatuh, Serena yang ceroboh, Uncle. Please ... stop angry. Serena takut ...”
Dave menarik nafas dalam, lalu menghembuskan perlahan-lahan. Matanya yang tajam itu kini mulai melunak, nafasnya yang terdengar berat itu kembali normal. Mendengar Serena masih menangis, Dave memutar tubuhnya lalu balik mendekap gadisnya dengan erat.
“Maaf,” bisiknya pelan.
Serena mengangguk berulang kali. “Serena maafin.” Ia menarik ingusnya, membuat Dave tersenyum tipis.
“Yang mana yang sakit?” Dave mengurai pelukan mereka, lalu menggenggam kedua tangan Serena.
“Uncle jangan marah lagi, Serena takut.” Ia mengusap air matanya juga ingusnya.
“Iyaaa,” jawab Dave lembut.
“Janji?” Serena mengacukan kelingkingnya.
Dave melilitkan kelingkingnya dengan kelingking Serena. “Iya, sayang ... janji.”
“Jangan pecat mereka. Serena yang salah, beneran!”
Dave menghela nafas panjang. “Iya, Serena. Iya, gak bakal di pecat.”
“Beneran?” Serena masih memasang wajah tak percaya.
Dave tersenyum lelah, dia diam beberapa detik. “Mau saya cium biar percaya?”
Serena langsung cemberut, ia lantas mengangguk. “Iya, percaya.”
“Jadi, yang mana yang sakit?” Dave mengecek kedua tangan Serena, takut ada pecahan kaca yang melukai tangan gadisnya.
Serena menunjuk dada dan lututnya. “Jatuh tengkurap tadi, jadi dadanya terbentur,” beritahunya.
“Kita ke rumah sakit, ya?” ajak Dave segera.
“Enggak.” Serena menggeleng enggan, ia memasang wajah manja. “Mau peluk aja.” Tanpa menunggu izin dari Dave, Serena melingkarkan tangannya di pinggang Dave—memeluknya dengan nyaman.
Dave merasakan jantungnya berdesir mendapati pelukan yang terasa sangat hangat di tubuhnya itu. Pelukan dari gadisnya, yang lagi-lagi Dave dapatkan.
“Hup!” Dave mengangkat tubuh Serena yang masih memeluknya, mengendong seperti anak kecil lalu membawanya ke kamar untuk beristirahat.
...💗💗💗...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Eva Karmita
adoohh menang banyak ni si dave
2022-07-03
0
Mak.lind
mau dong kalo dobel up nya .. nagih si ini mas Dave nya
2022-06-23
0